Ilustrasi: http://www.macrumors.com
Sambil menunggu boarding ke kota Jogja, saya menyempatkan menulis artikel ini seusai membaca postingan yang dishare dari timeline teman di Facebook beberapa waktu lalu. Sebetulnya sudah kemarin saya ingin mengulasnya, tapi baru hari ini ada waktu luang jadi saya tuangkan, mumpung ada waktu sampai jam enam sore nanti.
Isi beritanya hanya cuplikan foto (hasil capture dari timeline di FB). Sekilas saya membaca bahwa ada pandangan kalau media massa sekarang mengikuti kepentingan pemilik atau pihak yang dikagumi. Dalam hal ini anda bisa melihat dengan mudah beda dari koran Kompas dan Sindo.
Kompas memuat berita dengan judul Perekonomian Mulai Membaik, sementara koran Sindo memuat berita sebaliknya yaitu Ekonomi Lesu, Penganggur Melonjak. Sekilas keduanya saling bertolak belakang dan menggambarkan dua kondisi yang berbeda. Dan segera saja banyak komentar yang bernada sinis serta langsung menuding bahwa media massa saat ini sudah disetir dan dikendalikan oleh kepentingan tertentu baik melalui pengaruh pemilik media maupun bentuk intervensi lainnya.
Seperti artikel saya lainnya, saya selalu membuat disclaimer sedikit diawal pembahasan. Untuk artikel ini, disclaimer saya adalah: walau saya seorang Kompasianer, saya tidak memihak media massa manapun dan berusaha netral. Adapun tanggapan saya adalah murni analisa pribadi saya semata tanpa memihak pihak manapun. Jika anda menganggap saya memihak satu pihak, maka sebenarnya anda sudah meletakkan persepsi anda ke salah satu pihak di benak anda sebelum membaca artikel ini.
Mari kita lanjutkan...
Saya sempatkan membaca beberapa komentar dari pengunjung postingan pesan tersebut dan menyadari bahwa saat ini kebanyakan orang sudah biasa bersikap sinis dan langsung bersikap menuding. Tidak ada lagi kesempatan untuk berpikir dari persepsi yang berbeda (kita hindarkan dulu istilah berpikir positif). Saya kira anda sudah paham maksud saya. Sepertinya semua orang sangat gemar dan berminat dengan berita yang negatif dan terkesan "to good to be true".
Optimis vs Pesimis
Sampai saat ini saya masih agak bingung mengapa orang lebih suka berita negatif? Karena saya bukan seorang psikolog, saya menghindari membahasnya terlalu dalam. Saya sengaja membaca semua komentar dan mulai berpikir sejenak. Saya tidak terlalu tertarik melihat isi komentar terlalu dalam karena saya pahami bahwa fakta dan data apapun selalu dilihat setidaknya dari dua kacamata persepsi yaitu: positif atau negatif. Bisa juga optimis lawan pesimis. Dua polar pendapat selalu menjadi acuan banyak pihak. Selalu pihak yang netral atau abstain jumlahnya akan sedikit dan tidak signifikan. Mungkin sudah dari sononya kita begitu? Entahlah...
Yang menarik perhatian saya adalah betapa cepatnya beberapa pengunjung yang langsung menuding bahwa konten tertentu pasti sudah ada yang "pesan". Sialnya, tudingan ini tidak hanya untuk media massa yang pro saja, tapi juga yang kontra/oposisi. Tudingan memihak pemerintah sama saja dengan tudingan oposisi terhadap pemerintah. Sampai tahap tertentu saya paham kenapa orang dengan mudah menuding bahwa media massa tertentu pasti sudah memihak karena kecenderungan konten yang diberikan sudah terbaca dengan jelas. Apalagi jika anda menjadi pelanggan media massa tersebut. Hanya saja, apakah sedemikian mudahnya kita menuding dan apakah tidak ada kemungkinan lain dari konten yang dimuat?
Yang menarik lagi, ada pengunjung yang segera membenarkan persepsi tersebut dengan mengupload foto dari media massa besar lainnya. Bisa anda lihat pada gambar dibawah ini. Dan isinya bisa anda tebak, bahwa 3 diantara 4 media massa memuat berita yang cenderung pesimis/negatif. Kalau demikian, berarti yang banyak benar dan yang sedikit salah?
Tapi betulkah media massa yang berbeda dengan Kompas itu memang berisikan konten yang bernada pesimis? Apakah pasti mereka oposisi? Mereka kritis karena pesanan? Lalu karena Kompas memuat berita berbeda maka bisa dituding mewakili kepentingan bisnis/pemilik tertentu?
Pola Pikir Praktis vs Analisa
Kalau anda menilai seperti itu juga, saya kira anda terlalu naif dan tidak mau mengkaji lebih dalam. Memang lebih enak langsung menuding dan ikut arus teman/lingkungan yang disekitar kita dan tergoda untuk menghujat pihak yang berbeda (entah itu pihak yang optimis atau pesimis sekalipun). Padahal menurut saya, kedua konten yang terkesan bertolak belakang itu memiliki kesamaan tertentu. Yaitu keadaan ekonomi yang belum stabil/baik sesuai yang diimpikan.
Namun ada yang mempunyai sudut pandang dari sisi kritis, ada pula yang memandang dari sisi keyakinan bahwa kondisi akan membaik. Menurut saya keduanya mempunya pesan positif masing-masing. Tidak perlu dikembangkan ke dimensi lain yang tidak ada korelasi langsung. Yaitu tudingan bahwa ada kepentingan yang menunggangi berita-berita itu. Terkesan merendahkan jabatan wartawan walau kita akui ada wartawan yang memang buruk dalam profesinya. Kembali lagi, apakah gara-gara nila setitik maka harus sebelanga yang rusak?
Budaya kritis dibangun bukan dengan tujuan untuk menghujat atau menyalahkan pihak tertentu. Kritis saya kira adalah gerakan mengungkap kekurangan dan membuat banyak pihak sadar bahwa masih ada yang perlu diperbaiki. Jadi jangan berpuas diri adalah kunci utamanya.
Sementara bila membaca berita perekonomian mulai membaik, kita memang harus mengakui ada perubahan yang sudah bisa kita rasakan. Soal belum puas? Semua pihak memang sudah tahu akan hal itu. Tapi mengakui bahwa kita bergerak maju adalah satu bentuk optimisme yang dibangun. Dan itu penting untuk bangsa ini disaat banyak negara lain yang terkena dampak perubahan ekonomi global yang silih berganti muncul.
Janganlah kita terlalu cepat terjebak ke pola pikir praktis. Jika ada media kritis maka kita tuding oposisi pemerintah dan tidak berniat mendukung pembangunan. Sebaliknya, bila ada media yang bernada optimis, maka semudah itu pula kita menuding bahwa media tersebut pro pemerintah dan menafikan masalah yang masih ada disekitar kita. Optimis dan pesimis hanyalah sudut pendekatan tidak kurang dan tidak lebih. Masing-masing ada manfaat tertentu bila digunakan dengan baik.
Masalahnya apakah kita sudah menggunakan analisa yang memadai untuk persepsi optimis maupun pesimis tadi?
Sekiranya anda adalah pembaca yang pesimis, apakah yang bisa anda lakukan untuk ikut membantu kondisi yang kurang menguntungkan ini? Atau bila anda optimis, apakah masih ada lagi yang bisa anda perbaiki untuk meningkatkannya?
Persepsi vs Aksi
Sebenarnya kita jangan hanya terpaku pada sudut pandang saja. Saya sengaja memilih ilustrasi gelas setengah berisi setengah kosong untuk menguji pembaca Kompasianer. Sebagian pasti sudah mengira maksud saya setelah membaca artikel ini? Saya kira belum juga sih.
Yang saya maksudkan adalah, mengapa hanya terpaku memandang gambar tersebut dan menyimpulkan. Kalau setengah berisi berarti anda optimis? Kalau setengah kosong berarti anda pesimis? Hehehe... yang saya maksud adalah: Apakah anda mau mengisinya sehingga penuh, atau anda menggantikannya dengan air yang lain? Terserah saya kira. Yang pasti anda tidak hanya berdiam diri dan sibuk berkomentar. Kebanyakan orang memilih demikian. Anda sebaiknya melakukan aksi, lepas dari persepsi anda pesimis atau optimis.
Saya kira demikian seharusnya sikap kita ketika membaca konten media massa. Bisa saja ada dua konten yang berbeda. Tapi apa pengaruhnya kepada keputusan dan aksi kita selanjutnya? Itu yang penting.
Oke, sampai jumpa di artikel lain. Masa boarding sudah dekat. Saya bersiap-siap dulu...
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H