Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dilema Penutupan Situs "Online Sharing" Ilegal

20 Agustus 2015   12:25 Diperbarui: 20 Agustus 2015   14:42 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya membaca artikel di Kompas pada tanggal 18 Agustus 2015 lalu yang berjudul Pemerintah Tutup 21 Situs "Online" Penyaji Konten Film Nasional secara Ilegal, dalam hati saya tertawa sekaligus miris.

Sumber gambar: pgpint.com

 

Dari sisi legal, tentu sah saja tindakan penutupan itu dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Namun sebenarnya tindakan itu menurut saya hanya sekedar formalitas dan bertujuan agar pemerintah "tampak" sudah melakukan kewajibannya. Secara kritis saya menulis artikel ini dengan tujuan agar kita bisa lebih paham bahwa penyebaran konten illegal jauh dari anggapan mudah bila ditangani dengan cara tersebut.

Bila secara hukum atau tetek bengek legal formal sudah dilaksanakan, bagaimana dengan hasilnya? Harapan kita tentunya ada dampak positif bukan? Sayangnya saya harus memberitahukan anda bahwa upaya ini lebih cenderung sia-sia dan hanya sekedar upaya tanpa hasil signifikan. Akan saya uraikan argumentasi disini.

Siapa yang Paling Dirugikan?

Sekilas kita mengira bahwa yang paling rugi adalah pemilik modal atau perusahaan yang tergabung dalam asosiasi tertentu bukan? Seperti Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) misalnya. Kita menganggap bahwa merekalah yang mendorong pemerintah mengambil tindakan penutupan tersebut sebagai tindakan nyata. Dari artikel Kompas tadi memang iya. Hanya saja kalau kita berhenti di sini maka terkesan bahwa penutupan situs illegal sharing tadi hanya lebih memenuhi keinginan sekelompok orang yang terganggu bisnisnya. Dan kebanyakan orang memang berpikirnya sampai disini.

Sekelompok orang tadi dianggap sebagai pengejawantahan kelompok kapitalis. Yang kita anggap akan tetap kaya walau kita mengambil keuntungan dengan mencuri gratis produk mereka. Namun pemikiran ini salah sama sekali!

Yang paling rugi adalah kelompok yang lebih besar yaitu para pelaku industri kreatif itu sendiri. Mulai dari artis, pemusik, kreator konten, dsb. Dan jumlah mereka itu sangat besar dibanding para pemodal/perusahaan tadi. Yang kita sering tidak sadari adalah bahwa pencurian "sangat kecil" yang kita lakukan ternyata dilakukan oleh sangat banyak orang di Indonesia dan juga di negara lain. Semuanya nyaris berpikiran yang sama. Jadi yang kita anggap tadi hanya ukuran mikro kini sudah membesar dan bahkan menggerogoti pertumbuhan industri tertentu pula. Ingat, pelaku industri kreatif tadi, seperti artis atau penyanyi, bisa jadi adalah panutan kita. Agak ironis bukan? Kita puja sekaligus kita rampok periuk nasinya...

Dalam jangka panjang, industri terkait (misalnya musik, animasi, film dan game serta perangkat lunak lainnya) terutama di lokal tidak akan memberi ruang yang cukup bagi banyak orang mencari nafkah dengan layak. Kompetisi yang berlangsung tidak akan adil dan cenderung sporadis. Yang melakukan perlawanan hukum untuk menjaga hak intelektualnya saja belum tentu menang, apalagi yang tidak melawan karena berbagai alasan. Bisa anda bayangkan bukan?

Mungkin bisa anda analisa sendiri, apakah kondisi perfilman nasional kita saat ini sudah terkena dampak dari pembajakan? Kalau industri musik lokal, sepertinya sudah nampak terpengaruh dengan pembajakan bukan?

Jadi, kalau anda merasa muak dengan mutu sinetron di televisi lokal kita, bisa jadi sektor itulah yang masih bisa digenjot (tetap menguntungkan) karena berdasarkan pola penayangan dan pasarnya, saya kira pembajakan tayangan sinetron tidaklah menguntungkan sama sekali. Lha wong disiarkan tiap hari/waktu ngalah-ngalahin jadwal bercinta dengan pasangan (ahaik!) dan cenderung mengesampingkan logika penonton sih... Wajar saja netizen yang cenderung lebih kritis berpikir akan emoh membajak.

Kenyataan di Lapangan

Seperti yang saya katakan, penutupan sebanyak 21 situs tidak ada artinya karena akses untuk membukanya kembali sangat mudah.

Saya beri disclaimer dulu, bahwa cara yang saya paparkan seminim mungkin disini bukanlah menganjurkan agar anda melakukan hal yang sama. Sebenarnya cara ini sudah banyak diketahui oleh netizen umum. Dan mayoritasnya adalah remaja serta mahasiswa. Sekiranya kalau anda belum tahu, bisa jadi anda adalah orang yang belum "terkontaminasi parah" dengan pembajakan online. Tapi saya percaya bahwa hanya tinggal waktu saja untuk anda mengetahui cara membuka blokir atau upaya penutupan situs ilegal tersebut.

Salah satu cara yang paling mudah dan sudah banyak dibuktikan oleh netizen adalah menginstall plugin proxy di browser yang digunakan. Ya, plugin itu tersedia gratis dan bisa anda download segera. Dengan plugin tersebut anda bisa mengubah asal negara tempat anda mengakses situs terlarang tadi. Bisa jadi anda sekarang mengaksesnya dari Malaysia, dan kalau disana diblokir, maka dengan hanya mengklik satu dua tombol anda sudah pindah negara ke Canada misalnya. Dari sana anda bebas mengakses situs yang sudah terbuka sekarang.

Cara yang lain adalah menggunakan fitur VPN yang kini bahkan sudah menjamur digunakan oleh remaja di handphone mereka. Saya tidak akan jelaskan lebih detail kepada anda karena saya khawatir anda sudah mengumpat dalam hati karena saya membeberkan cara yang lain lagi. VPN ini hampir sama dengan plugin di browser tadi. Nama berbeda tapi kegunaan nyaris sama. Sebenarnya tujuan VPN bukanlah untuk penggunaan konten negatif tapi lebih kepada perlindungan privasi dari pihak yang coba menembus jaringan komunikasi kita. Mirip dengan analogi pisau sebenarnya, niatnya memotong sayur tapi bisa digunakan untuk melukai.

Kalau dua cara diatas sudah banyak dilakukan oleh netizen umum, maka cara yang ketiga ini lebih disukai para pengguna komputer yang cenderung ke geek (pecandu teknologi). Jangan salah mengira, umur pelakunya sudah ada yang belasan tahun, malah banyak sekali. Cara yang dipilih adalah penggunaan aplikasi P2P (peer to peer) yang membuat jaringan komputer sendiri dan tidak ada yang bisa mengontrolnya. Penjelasan gampangnya:  file ilegal yang akan didownload ada di puluhan, ratusan bahkan bisa ribuan komputer di berbagai belahan negara didunia ini. Jadi, kalau anda mengunduhnya ke komputer anda, selama terkoneksi ke internet, anda juga bisa bertindak sebagai penyedia (karena file tadi sudah ada didalam komputer anda).

Penutupan server penyedia list file ilegal tadi, dalam artikel kompas seperti http://thepiratebay.se atau http://isohunt.to tidak akan berdampak apapun. Karena akan muncul situs penyedia list file yang lain lagi dalam waktu singkat bak sekejap mata.

Contoh tampilan dari Isohunt.to ketika saya menggunakan keyword "Indonesia"

Jika anda memang pengguna torrent, tahukah anda bahwa hanya 1 dari tiap 10.000 file disana yang tidak memiliki hak cipta? Saya mengutip dari infografik (sumber: go-globe.com). Dari infografik itu, bisa kita lihat bahwa 70% pengguna online tidak merasa ada yang salah dengan pembajakan online.

Jadi kalau kita tidak merasa ada yang salah dengan pembajakan online, lalu apakah ada gunanya menutup akses ke "hanya 21 situs ilegal" tadi? Menurut anda, berapa juta netizen muda (remaja, mahasiswa bahkan orang dewasa) yang merasakan hal yang sama: tidak merasa ada yang salah?

Dan berapa juta pula yang mencari tahu bagaimana agar tetap bisa mengakses?

Dilema Sesungguhnya

Ketika 21 situs tadi ditutup, menurut anda apa yang terjadi? Apakah sebagian besar dari pengaksesnya akan sadar? Hehehe... mimpi kali yee...

Yang terjadi adalah: mereka segera mencari situs baru. Dengan menggunakan google atau fitur pencari lainnya (bahkan bisa menggunakan aplikasi media sosial sekalipun) akan didapat banyak situs sejenis yang lain. Jumlahnya lebih dari ratusan tiap hari. Ingin mencari yang berkualitas dikit dan tidak akan mudah terblokir minggu depan? Masuklah ke forum tertentu. Bisa jadi dari pencarian sendiri atau tanya teman. Caranya bisa banyak. Yang saya beberkan disini hanya beberapa cara yang populer saja.

Fokus yang saya tekankan disini adalah dilema yang terjadi. Jika pemerintah tidak melarang dan tidak melakukan upaya apapun maka pembajakan akan tetap marak. Dan pemerintah tentu mendapat penilaian buruk dari publik. Tapi disisi lain, bila dilakukan upaya seperti penutupan situs ilegal, hanya akan memaksa secara halus para pengguna untuk mencari sumber baru. Yang sialnya adalah: mereka akan berpeluang mendapatkan informasi yang lebih up to date  tentang mengakses situs yang terblokir.

Jadi bagaimana dong? Ditutup atau dibiarin?

Lha, kan saya bilang dari awal sudah dilema. Ya sudah, silahkan berpikir sendiri duluan. Wong saya hanya menganalisa saja kok hehehe...

Sebenarnya sudah ada beberapa cara untuk menanggulangi dan meminimalkan dampaknya, tapi... Dilema juga kalau membeberkannya sekarang.

Itu untuk artikel di waktu yang lain saja ya... Salam.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun