Saya suka santai di sore hari. Biasanya saya memanfaatkan perjalanan pulang dari kantor ke rumah dengan lebih rileks. Kendaraan saya jalankan lebih perlahan tanpa terburu-buru. Kadang saya berhenti di tempat tertentu, sekedar ngopi atau mencari item tertentu untuk hobby. Kota Jogja memang masih asyik dinikmati di sore hari.
Namun kali ini ada yang terasa berbeda. Walaupun ada beberapa umbul-umbul warna-warni di beberapa sudut jalan, suasana persiapan untuk HUT Kemerdekaan RI yang ke-70 terasa sepi. Saya baru sadar kalau sekarang sudah tanggal 13 Agustus. Jadi tinggal 4 hari lagi kita akan memperingati hari bersejarah negeri tercinta ini untuk ke-70 kalinya.
Hmm... bendera yang dipasang juga tidak banyak. Bahkan nyaris tidak terasa menurut saya. Dibanding tahun-tahun lalu, sepertinya masyarakat sudah kurang antusias memasang simbol-simbol tersebut. Paling hanya ada beberapa kantor yang sudah memasang.
Kenangan Masa Kecil
Saya teringat ketika masa kecil, saat ORBA masih berkuasa, suasana sangat berbeda. Bahkan diawal bulan Agustus tiap tahun sudah terasa akan ada perayaan besar tersebut. Hari demi hari semakin banyak yang dipasang mulai dari bendera di depan rumah atau kantor. Juga di kendaraan. Tidak hanya mobil atau kendaraan roda empat lainnya, di kendaraan roda dua juga ikut diwajibkan. Dipaksa atau tidak, tapi di mata saya sewaktu usia belia, semua itu sangat berarti.
Berbagai momen dan aktivitas seperti: upacara di sekolah, lomba yang asyik di perumahan, acara kenegaraan di televisi tetap membekas di hati saya. Suka atau tidak, saya tetap mengenang masa-masa itu dengan penuh rasa bangga dan gembira. Bahkan ketika sudah SMA sekalipun saya masih merasa bangga ketika mengikuti upacara bendera untuk memperingati HUT kemerdekaan di sekolah. Menjadi penggemar Metallica dan Megadeth tidak mengurangi rasa cinta dengan negara Indonesia. Ada suatu harapan yang selalu muncul dan terasa membanggakan setiap kali melihat upacara seremonial ini dilakukan serentak di semua tempat. Sesaat saya menyadari bahwa saya adalah bagian dari sebuah negara besar.
Rasa itu sudah tidak ada lagi saat ini. Setidaknya, menurut saya, sebagian besar sudah hilang. Saya jadi semakin ingat lagi sewaktu terkenang dengan pembicaraan mahasiswa saya saat masa MOS tahun lalu. Mereka berpendapat bahwa anak muda masa sekarang sudah bosan dengan segala macam formalitas kenegaraan yang diminta. Bagi mereka, bersuara tentang segala sesuatu di media sosial lebih nyata dibanding hanya "mengenang" dan "merenung" gaya hening cipta saat upacara.
Banyak juga yang lebih memilih untuk berkomentar dengan gaya "ala nasionalisme" yang baru dan unik. Misalnya seperti soal negara Malaysia yang berani mengolok-ngolok pertahanan negara di Laut. Atau hegemoni ekonomi negara Singapura, padahal kedua negara itu lebih kecil dibanding Indonesia. Seperti biasa, banyak kalangan mahasiswa suka memaki-maki dan tentu diakhiri dengan menyalahkan pemerintah. Pola ini sudah sering saya lihat dan sudah menjadi budaya tahunan. Peristiwa serupa telah berlangsung di era Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan tentu di era Jokowi saat ini.
Betul-betul mahasiswa nasionalis unik! Semua pihak wajib disalahkan dan dituntut perhatiannya kecuali dirinya...
Budaya Gaduh
Kebetulan saya sebelum pulang kerja sempat membaca media online yang membahas persoalan pemogokan dan impor daging sapi. Kejadian ini juga sudah menjadi kebiasaan nyaris tiap tahun. Selalu ada gejolak dan tahun ini "kebetulan" menjelang HUT kemerdekaan yang ke-70. Sebuah ironi untuk negara besar seperti kita menurut saya.
Bagaimana tidak? Sejak saya berumur 20 tahunan sampai 40-an sekarang, masalah daging sapi ini selalu menjadi masalah nasional. Sudah banyak program dijalankan sejak dulu oleh rezim ORBA sampai pemerintahan demokratis ala sekarang. Tapi penyakit "sapi kronis" ini selalu muncul dengan berbagai "resep masalah tahunan" yang bervariasi. Bedanya tahun ini disertai pemogokan, entah itu memang alami oleh pelaku industri tersebut atau paket pesanan oleh para importir? Entahlah, semuanya kini jauh lebih mencurigakan. Apa lagi ya yang menjadi biang berita bulan depan? Banjir informasi bukan berarti keterbukaan jadi terang benderang, malah kecurigaan dan kabar konspirasi yang tumbuh subur.
Membaca media bukan menjadi lebih menyenangkan saat ini. Budaya gaduh sudah menjadi budaya kedua selain budaya gossip yang menjadi pertama. Sulit percaya ke media mainstream karena gossip di berbagai media sosial jauh lebih renyah dan tentu lebih enak buat bahan gossip. Tak disangka, setelah merdeka 70 tahun, ketika pengguna internet Indonesia telah mencapai 80-jutaan pengguna, budaya lisan (baca: budaya ngobrol) lebih dominan dibanding budaya baca (baca: budaya kritis/analitis). Bisa jadi saat ini kita memang jauh lebih maju dibanding jaman Pak Harto, tapi budaya gaduh kita bisa mengalahkan era Soekarno sekalipun saat baru merdeka.
Nasionalisme terasa menjadi asing saat ini. JUga terasa sempit. Upacara HUT untuk memperingati kemerdekaan terasa kering dan sekedar formalitas. Makna dari kemerdekaan hanya sekedar tanggal merah di kalender. Dan banyak orang yang kini malah memilih pergi liburan dibanding kegiatan positif lainnya yang berbau "kesadaran bernegara" walau hanya untuk sehari sekalipun.
Figur Panutan
Sebagai anggota masyarakat biasa, saya ingin kenangan peringatan HUT kemerdekaan dapat dirayakan dengan lebih baik. Lebih menggambarkan bahwa perjuangan para pahlawan dulu itu betul-betul kita hargai. Bukan dengan pemogokan, bukan dengan kegaduhan, konfrontasi apalagi dengan korupsi.
Tapi realita berkata lain. Kejahatan dalam bernegara tidak hanya dimanifestasikan lewat budaya korupsi yang sudah sangat meluas, atau permainan dan mafia hukum yang masuk ke berbagai sendi masyarakat, tapi sudah sangat jauh yaitu ke dunia pendidikan.
Yang saya maksudkan bukan dunia pendidikan kita dari sistem maupun institusinya. Tapi dari contoh yang diberikan oleh para pelaku bernegara disekitar kita (dan mungkin kita sendiri) kepada generasi muda bangsa ini. Keponakan saya yang masih berumur 13 tahun sudah bisa berkomentar tentang korupsi di berbagai kementerian. Kakaknya yang masih kelas 2 SMA sudah bisa memberi analisa sendiri tentang kacaunya partai yang berebut kekuasaan tiap pemilu. Tak saya sangka, remaja berusia muda seperti mereka sudah bisa mengenal dan menebak apa yang terjadi disekitar mereka. Semoga saja mereka tidak meniru contoh yang buruk tersebut!
Namun begitu, bagaimana kalau mereka malah menganggap itu adalah hal biasa?
Dan saya kira kecenderungan itulah yang sepertinya tampak saat ini. Inilah yang saya maksud dengan dunia pendidikan yang tidak langsung menjadi contoh buruk bagi mereka.
Lihatlah panutan anak muda saat ini. Saya tidak mengacu ke penyanyi atau grup musik. Tapi lebih kepada ideologi yang mereka idolakan. Mengidolakan tokoh radikal keras global hanya sebagian contoh kecil. Lebih banyak sekarang anak muda yang lebih menyukai negara lain baik dari tokoh negarawan, tokoh politik sampai partai politik di negara asing tersebut. Trend apakah ini? Apakah tidak ada lagi tokoh lokal yang bisa menjadi panutan dan sumber inspirasi bagi mereka?
Ngeri membayangkan anak muda Indonesia tidak memiliki figur panutan yang bisa menjadi inspirasi mereka dalam bertindak sebagai anak bangsa yang baik. Kalau yang mereka lihat hanya perbuatan buruk dan berbagai bentuk penyimpangan di negara sendiri, tentu lebih baik bagi mereka menanamkan diri dan sibuk bermain gadget bukan? Setidaknya sampai suatu saat nanti ketika mereka bisa mengambil peranan. Dan menurut anda peranan apa yang akan mereka ambil? Tut wuri handayani? Guru kencing berdiri dan murid kencing berlari? Contoh yang baik atau yang buruk yang menginspirasi?
Kenangan saya akan HUT kemerdekaan yang meriah jadi pudar seperti pudarnya langit sore hari. Saya harus bergegas pulang sekarang. Saya teringat belum pasang bendera di depan rumah... Aduuh!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H