Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pungli Di Sekolah: Kreatifitas Terselubung?

7 Agustus 2015   16:52 Diperbarui: 7 Agustus 2015   16:52 1656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak menjadi kapasitas saya untuk menilai karakter dan integritas pimpinan dari sekolah yang melakukan pungli. Selain masih harus dicek dengan lebih mendalam oleh departemen terkait untuk mengetahui seluas mana masalah ini dan dampaknya. Hanya saja,  liputan diatas sudah menjadi warning awal dari luasnya budaya buruk itu.

Ketika praktik pungli muncul diberbagai bidang kehidupan kita, masih terbersit harapan kalau saja dunia sekolah tidak dikotori praktik seperti ini. Selain beban ekonomi yang masih berat bagi sebagian orang tua murid, berbagai bantuan yang sudah digulirkan seharusnya sudah bisa meminimalkan munculnya praktik sejenis. Tapi melihat jumlah sekolah yang mencapai 50 sekolah sampai tulisan tadi dibuat, cukup membuat hati menjadi miris dan bertanya: bagaimana sebenarnya wajah dan perilaku dunia pendidikan kita?

Apakah pungutan liar adalah bentuk pragmatisme para pengelola sekolah? Atau hanya bentuk "copy paste" dari budaya sejenis dari bidang lain di negeri ini?

Kita mengetahui betapa biaya ekonomi tinggi menjadi satu masalah pelik di negeri ini. Budaya pungli masih banyak berjalan dan sulit untuk ditumpas. Sebagian masyarakat menerimanya sebagai bagian dari kegiatan biasa. Walau begitu, para korban pungli tetap tidak menyukai kondisi yang "sudah biasa itu" kok. Sebagian lagi menolak dan berupaya menghentikan kebiasaan buruk ini.

Tidak mungkin pihak guru tidak terlibat. Bagaimanapun mereka ikut dalam rapat penentuan. Apakah mayoritas guru memilih diam dengan alasan tidak berani melawan pimpinan? Atau sebenarnya mereka diam karena setuju dengan alasan pasti kebagian?

Seberapa besar dana yang terkumpul? Kemana semuanya dibuat? Siapa yang bisa memastikan dan melakukan audit? Sulit untuk menjelaskan semua ini bukan? Tapi satu hal yang pasti, bentuk pungutan liar yang biasa sampai yang aneh ini adalah bentuk solusi yang keliru.

Apa yang ditunjukkan oleh mereka? Kreatifitas dalam menyikapi aturan dan sistem? Serta berharap tidak akan ada yang menggubris? Atau mereka menganggap bahwa pungli adalah hal biasa? Bisakah kita anggap bahwa ini adalah budaya yang sulit ditumpas karena pembiaran yang cukup lama diwaktu dulu?

Atau yang lebih parah yang terbersit di pikiran saya: Apakah perilaku ini menular ke sekolah lain seperti penyakit?

Sungguh sering kita mendengar berbagai jeritan sekolah untuk bisa menjalankan roda kegiatan dengan baik. Hal ini tentu menyakitkan kepada kita sebagai orang tua yang berharap agar anak-anak kita mendapatkan yang terbaik dalam hal pendidikan. Tapi bukankah pemerintah sudah menggulirkan bantuan dan berbagai program pendukung? Menurut keterangan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Edy Hery Suasana, tiap-tiap sekolah sebenarnya sudah memiliki tiga sumber dana pokok. Yakni Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari APBN, BOS dari Pemprov dan BOS dari Kabupaten/Kota.

Apakah belum cukup? Harus seberapa banyak dana yang dibutuhkan yang dianggap cukup? Siapa yang paling berkompeten dalam penentuan hal itu? Dan jika tidak bisa dicapai, lalu pungli adalah jawaban praktis untuk masalah itu?

Kejadian Berulang

Bisa jadi sebenarnya ada kesalahan yang tidak transparan didalam pengelolaan kegiatan sekolah sehingga menimbulkan masalah ini. Atau keputusan untuk pungutan ini hanya ditentukan oleh segelintir pengelola saja dan tidak menggubris keberatan guru lain dan orang tua murid?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun