Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tutup Mulutmu!

7 Agustus 2015   13:04 Diperbarui: 7 Agustus 2015   13:12 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

** Update: Tadinya judul artikel ini adalah: Tutup Mulutmu Bang**t! Tapi diedit oleh admin Kompasiana. Tentu sebagai warga yang baik saya manut saja. Kritikan "halus" dari admin adalah bantuan yang tidak diminta tapi bermanfaat. Salam!

Ehh.. perkataan saya itu menghina ngga ya? Sepertinya sih enggak deh! Kan tidak jelas ditujukan kepada siapapun? Kalau situ merasa saya mengarahkan kepada dirimu ya terserah hehehe... Itu kan persepsimu toh?

Tidak ada yang suka menerima ucapan seperti itu. Biarpun tidak jelas ditujukan kepada siapa. Tidak di dunia nyata atau di dunia maya sekalipun. Tidak harus didengar seluruh bangsa atau hanya segelintir teman. Belakangan ini kembali marak soal pasal penghinaan presiden. Woalah... argumentasi pro dan kontra bejibun banyaknya. Puyeng kepala barbie deh..

Kok bisa ya sekarang kita mudah njeplak asal bunyi? Kadang terkekeh membaca berbagai kritik kasar yang diberikan para anak bangsa ini kepada pemimpinnya yang "kerempeng" itu (ini maksud penghinaan bukan? Kan memang Pak Jokowi kurus toh). Yang paling bikin saya terpingkel-pingkel bin sakit perut adalah si empunya cangkem malah ngga ada bobot yang seimbang buat menghina.. eh salah.. mengkritik katanya. Sejak kapan kritik semakin afdol bila digabungkan dengan kata kasar dan kotor ya? Ahaik!

Ngaca Dong Bro!

Gara-gara bahasa Inggris yang dianggap kurang fasih layaknya natipe spikere asli dari negara bule sono, kembali lagi si mantan walikota ndeso tadi diledek. Woalah... kok bisa? Ya pasti bisaaa... Biarpun yang kritik belum tentu fasih berbahasa Inggris dan hanya hapal mati kalimat ohh yess ohh no saja alias bokep style , melampiaskan emosi ke pemimpin tertinggi negeri ini lebih asyik. Malah menurut mbah Wardi, tetangga di padukuhan saya tinggal, kalau ada ayam dimaling pasti terkait dengan kesalahan Jokowi. Wong dia ngga becus mimpin negara katanya.... Katanya? Kata siapa? Siapa yang berhak memutuskan begitu? Dirimu atau MPR? Asyik diriku dongg... Ahaik!

Gimana nggak asyik bro? Kritik itu adalah seni. Seni merendahkan diri sendiri secara aktif via media sosial dan teknologi lainnya. Kan keren tuh... Kapan lagi kita bisa mengkritisi seperti sekarang? Kalau jaman orba bakal masuk bui lahh... Jadi, mumpung bebas ya manfaatin aja. Kalo ada yang protes, masih banyak kok alasan bisa digunakan, yang penting tenar dulu coy!

Tak pikir-pikir bro: Ciri-ciri orang yang kritis adalah orang yang rada labil alias tidak aman. Kata pakar dari sononya, orang yang percaya diri alias cuek beibeh bin konfiden itu biasanya kalem dan tidak suka grasa-grusu. Hmm.. berarti yang teriak-teriak muncungnya saat ini mungkin sedang labil ya? Bisa jadi deh. Biaya hidup yang makin mahal, mata pencaharian yang makin sulit salah satu alasan yang biasa kita dengar. Bener juga sih...

Tapi anehnya, kok di warung-warung nggak seperti itu ya nuansanya? Saya itu suka nongkrong juga sesekali di angkringan atau warung kecil. Sejenak menikmati sore hari sambil mendengar celoteh kerumunan penikmat kopi dan jajanan kecil. Tukang becak sekalipun tidak kasar dan mengucapkan kata kotor. Malah, biarpun mereka rakyat jelata, sibuk memberikan argumentasi bak pengamat ekonomi dan analis politik tingkat nasional. Wuihh.. rame balas-balasan dan debat argumentasi. Tapi asyik dan suka dibumbui humor walaupun rasanya nyelekit. Lebih mirip pukulan smash waktu bermain badminton lho... keras tapi menohok, lawanpun ngaku kalah deh dengan jentel!

Sekarang memang jaman unik! Sarjana baru lulus sudah ngomentarin ekonomi layaknya dia yang paling rugi kalau anggaran negara itu dialokasikan ke departement lain. Ada lagi yang sekilas mirip orang alim tapi ngetik di halaman fb-nya ngalah-ngalahin gaya debt collector ngancam.. hehehe... Ngakunya beragama, tapi hobby sebar fitnah.. wuihh. Kita jadi bangsa munaknik sekarang (munaknik itu satu level diatas munafik).

Trus apa ya efeknya? Si "petugas partai" jadi denger tuh? Jadi berubah tuh? Ahaik!

Kadang saya pikir, budaya caci  maki ini lebih mirip kayak kentut. Bisa nyaring bunyinya, tapi korbannya kita kebanyakan kita sendiri... menghirup aroma pribadi sendiri... hehehe

Kritis atau Krisis?

Kalau kita mengkritisi sesuatu, biasanya orang juga akan melihat siapa kita dulu sebelum menilai bobot kritikan kita. Kalau kita rakyat maka jeritan rakyatlah yang masuk akal. Kalau sebagai pelaku bidang politik, maka argumen topik politik jadi dasar kita bicara. Bukan kepercayaan dan keberpihakan yang kita dapatkan kalau kita tidak punya sesuatu untuk dibuktikan bukan? Istilah kerennya: Nyombong dulu deh baru ngeledek, punya sesuatu dulu baru ngomong...

Nah, wajar tidak kalau kita bukan siapa-siapa lalu melampiaskan kekesalan dan emosi tanpa dasar? Gendhengnya lagi, banyak orang yang memakai ilmu cocokologi (asal cocok sajalah). Comot komentar sana-sini, ulas seenak udel sendiri, kalau ada yang protes maka dijawab: ini demokrasi! Demokrasi ndasmu! Ada stigma yang aneh saat ini beredar di tengah masyarakat. Semakin kita keras dan lantang bersuara maka kita dicap sebagai orang yang kritis.

Betulkah kita kritis? Kalau betul, seharusnya kita memberikan alasan pendukung dong.. bukan hanya kondisi ideal yang kita karang-karang sendiri. Buat argumen yang terbukti valid. Hubungkan dengan berbagai data lainnya. Berikan analisa lengkap baru nggak dituduh ngarang. Gimana nggak ngarang sendiri? Emang bisa kita bicara tentang sesuatu yang ideal dan kita anggap benar dan bisa terjadi kalau kita tidak pernah menjadi pelaku atau berada di posisi tersebut? Mikirr....

Jadi manajer di kantor aja enggak, gaya ngomong ngalahin menteri! Gaji sebulan hanya 4 juta sok bicara alokasi anggaran puluhan milyar? Woalahh... Coba deh ente bertarung jadi lurah, kalo menang baru ente ngomong soal kebijakan publik hehehe... minimal di wilayah kelurahanmu dulu baru ngomong republik ini.

Cukuplah para wakil kita di DPR sana menjadi penyambung ludah.... eh lidah rakyat. Tiap orang ada posisi dan kedudukan sendiri di dunia ini toh? Tukang sapu jalan pun nggak kalah sumbangsihnya untuk kita para pengguna jalan. Nurani mereka pun menjerit kok melihat ekonomi yang makin sulit. Lha kita yang berpendidikan dan ngaku inTELEKtual ini kan bisa berbuat sesuatu yang penting selain maki-hina-caci-narsis segala!

Orang jepang pun kacau berbahasa inggris, tapi penguasaan teknologi mereka maju. Amerika ngga akan peduli sama sumpah serapah kita kok. Rezim di Rohingya ngga akan berubah biarpun ente sebarin semua berita tentang pembantaian disana. Kok bisa? Lha ya bisa! Ada lingkar pengaruh yang bisa kita buat untuk sekeliling kita. Ukur dong, apakah kita sudah bisa mempengaruhi sampai tingkat itu belum? Menteri Susi bisa bikin harga ikan naik secara nasional karena dia memang punya "niat" dan "kemampuan" serta "kapasitas" untuk itu. Kalo ente? Ahaik!

Coba periksa pengalaman anda. Apakah anda pernah melakukan sesuatu yang bisa merubah lingkungan anda? Setidaknya tetangga atau sekitar lingkungan anda? Kalau belum, mending belajar dulu untuk melakukan hal berguna bagi orang yang ada didekat kita selain keluarga sendiri.

Jadi buat apa membudayakan caci-maki ini? Apalagi ke bangsa dan pemimpin sendiri? Apa yang mau kita dapat rupanya? Kalau bisa 100 makian membuat rupiah menguat 1 poin, mari kita beramai-ramai memaki! Kita bisa jadikan pelajaran caci-maki menjadi kurikulum utama selain mata pelajaran agama. Ahaik!

Ngga setuju sama artikel ini? Mau debat? Mau asal ngebacot?

Minjem kalimat si Dudi: Untung kau pembaca Kompasiana, punya otak lagi.... kalau tidak, sudah kutebas lehermu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun