Kadang saya pikir, budaya caci maki ini lebih mirip kayak kentut. Bisa nyaring bunyinya, tapi korbannya kita kebanyakan kita sendiri... menghirup aroma pribadi sendiri... hehehe
Kritis atau Krisis?
Kalau kita mengkritisi sesuatu, biasanya orang juga akan melihat siapa kita dulu sebelum menilai bobot kritikan kita. Kalau kita rakyat maka jeritan rakyatlah yang masuk akal. Kalau sebagai pelaku bidang politik, maka argumen topik politik jadi dasar kita bicara. Bukan kepercayaan dan keberpihakan yang kita dapatkan kalau kita tidak punya sesuatu untuk dibuktikan bukan? Istilah kerennya: Nyombong dulu deh baru ngeledek, punya sesuatu dulu baru ngomong...
Nah, wajar tidak kalau kita bukan siapa-siapa lalu melampiaskan kekesalan dan emosi tanpa dasar? Gendhengnya lagi, banyak orang yang memakai ilmu cocokologi (asal cocok sajalah). Comot komentar sana-sini, ulas seenak udel sendiri, kalau ada yang protes maka dijawab: ini demokrasi! Demokrasi ndasmu! Ada stigma yang aneh saat ini beredar di tengah masyarakat. Semakin kita keras dan lantang bersuara maka kita dicap sebagai orang yang kritis.
Betulkah kita kritis? Kalau betul, seharusnya kita memberikan alasan pendukung dong.. bukan hanya kondisi ideal yang kita karang-karang sendiri. Buat argumen yang terbukti valid. Hubungkan dengan berbagai data lainnya. Berikan analisa lengkap baru nggak dituduh ngarang. Gimana nggak ngarang sendiri? Emang bisa kita bicara tentang sesuatu yang ideal dan kita anggap benar dan bisa terjadi kalau kita tidak pernah menjadi pelaku atau berada di posisi tersebut? Mikirr....
Jadi manajer di kantor aja enggak, gaya ngomong ngalahin menteri! Gaji sebulan hanya 4 juta sok bicara alokasi anggaran puluhan milyar? Woalahh... Coba deh ente bertarung jadi lurah, kalo menang baru ente ngomong soal kebijakan publik hehehe... minimal di wilayah kelurahanmu dulu baru ngomong republik ini.
Cukuplah para wakil kita di DPR sana menjadi penyambung ludah.... eh lidah rakyat. Tiap orang ada posisi dan kedudukan sendiri di dunia ini toh? Tukang sapu jalan pun nggak kalah sumbangsihnya untuk kita para pengguna jalan. Nurani mereka pun menjerit kok melihat ekonomi yang makin sulit. Lha kita yang berpendidikan dan ngaku inTELEKtual ini kan bisa berbuat sesuatu yang penting selain maki-hina-caci-narsis segala!
Orang jepang pun kacau berbahasa inggris, tapi penguasaan teknologi mereka maju. Amerika ngga akan peduli sama sumpah serapah kita kok. Rezim di Rohingya ngga akan berubah biarpun ente sebarin semua berita tentang pembantaian disana. Kok bisa? Lha ya bisa! Ada lingkar pengaruh yang bisa kita buat untuk sekeliling kita. Ukur dong, apakah kita sudah bisa mempengaruhi sampai tingkat itu belum? Menteri Susi bisa bikin harga ikan naik secara nasional karena dia memang punya "niat" dan "kemampuan" serta "kapasitas" untuk itu. Kalo ente? Ahaik!
Coba periksa pengalaman anda. Apakah anda pernah melakukan sesuatu yang bisa merubah lingkungan anda? Setidaknya tetangga atau sekitar lingkungan anda? Kalau belum, mending belajar dulu untuk melakukan hal berguna bagi orang yang ada didekat kita selain keluarga sendiri.
Jadi buat apa membudayakan caci-maki ini? Apalagi ke bangsa dan pemimpin sendiri? Apa yang mau kita dapat rupanya? Kalau bisa 100 makian membuat rupiah menguat 1 poin, mari kita beramai-ramai memaki! Kita bisa jadikan pelajaran caci-maki menjadi kurikulum utama selain mata pelajaran agama. Ahaik!
Ngga setuju sama artikel ini? Mau debat? Mau asal ngebacot?
Minjem kalimat si Dudi: Untung kau pembaca Kompasiana, punya otak lagi.... kalau tidak, sudah kutebas lehermu!