Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Pejuang-Pejuang Kecil

28 Juli 2015   19:05 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:05 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikala senggang, terutama ketika istirahat makan siang yang cukup singkat, saya suka menjelajahi berbagai laman di facebook. Dulu saya sering nongkrong di page yang membahas riuhnya politik Indonesia.  Tentu sebagai seorang profesional, saya tidak ingin ketinggalan berita bukan? Bisnis harus terus diupdate dengan informasi yang terbaru.

Walau masih berkunjung sesekali dan melihat berbagai komentar yang ramai, saya sekarang lebih suka menjelajahi banyak laman yang berbeda. Berbagai topik menarik yang baru mengulik rasa keingintahuan saya. Terus terang, saya tidak selalu tahu cukup banyak atau mengerti soal topik yang diperbincangkan. Beberapa diantaranya bisa saya pahami. Tapi lebih banyak yang perlu saya pelajari lebih dari yang saya ketahui saat ini. Dengan usia saya sekarang, saya mulai melirik topik kesehatan berbarengan dengan topik investasi. Selain menelisik teknologi IT baru saya juga secara teratur melihat berita terkini dari kondisi disekitar tempat tinggal saya yaitu kota Yogyakarta.

Mungkin saya adalah salah satu contoh individu korban kebiasaan aktif di internet tapi cenderung pasif di dunia nyata. Saya bisa menyimpulkan hal tersebut ketika sudah berkontemplasi beberapa saat sebelum menuliskan artikel ini tentunya. Dengan menggunakan internet dan berbagai perangkatnya, saya bisa menjelajahi berbagai belahan dunia, tidak hanya dalam bentuk 2D seperti teks dan gambar atau bahkan video, tapi juga dunia lain.. hehehe... tapi bukan dunia jin ya.

Saya secara teratur masuk ke dunia virtual 3D seperti Secondlife. Bertemu banyak orang dari berbagai suku bangsa sangat menarik seperti petulangan yang fantastis.

[caption caption="Jalan-jalan di kota virtual London - Inggris"][/caption]

Ketika mengawali petualangan saya di dunia virtual, saya meyakini bahwa banyak hal yang bisa saya alami dan rasakan didalamnya. Berkomunikasi, mempelajari kebiasaan dan budaya berbagai suku bangsa walau lewat dunia 3D adalah keniscayaan disini. Hebatnya lagi, bisa melakukan berbagai hal unik seperti terbang... hehehe... setidaknya didunia virtual itu, dan banyak lagi tentunya.

Saya kira saya berada di "high level" untuk masalah ini... Tapi ternyata tidak. Level saya ternyata belum cukup berarti dibanding yang saya pelajari berikut ini. Pelajaran yang malah saya dapatkan didunia online. Mungkin mata saya kurang awas dan sigap di dunia nyata. Heh... tapi banyak juga orang lain seperti saya bukan? Cuek dan apatis di dunia nyata, tapi hiperaktif di dunia cyber gitu lhoo... #ngeles mode on

Tidak Manja

Pelajaran pertama saya dapatkan dari postingan mas Sudarto Abinya Fathi di laman Info Cegatan Yogyakarta, sebuah komunitas lokal Yogyakarta. Isinya beragam. Tapi umumnya hasil laporan dan postingan para pelalu lintas kota gudeg tersebut.

Mas Sudarto memposting sebuah foto yang menunjukkan seorang siswa SMU sedang stop menunggu lampu hijau disimpang empat sebuah jalan padat lalu lintas. Sekilas tidak ada yang istimewa saya kira. Tapi tunggu dulu, kenapa dia naik sepeda butut yang ada keranjangnya? Saya perhatikan lebih seksama lagi. Memang secara otomatis kita lebih tertarik ke visual daripada teks bukan? Nantilah saya baca teksnya, pikir saya. Setelah saya perbesar gambarnya,  ternyata skondok atau kerupuk gelang tradisional di keranjang itu. Lengkap dengan kertas promosi dibagian belakang keranjang.

[caption caption="Sumber Foto: Postingan mas Sudarto Abinya Fathi"]

[/caption]

Pikiran "miring" saya otomatis berkata, emangnya kenapa? Tapi saya segera sadar dan teringat bahwa saya lebih sering berusaha memusatkan ke hal positif. Segera saja mengubah persepsi saya seketika. Kenapa dia membawa kerupuk itu ya? Apakah menolong orangtuanya dengan menjajakan di sekolah? Apakah dia tidak malu? Pasti teman-temannya melihatnya bukan?

Woohh... saya tiba-tiba tersentuh. Sebuah foto sederhana dari seorang siswa membawa keranjang kerupuk bisa menggambarkan sesuatu yang menyentuh. Memperlihatkan sebuah sikap. Dan saya menganggap sikap itu tidak dibuat-buat karena dilakukan dengan gaya candid camera, dimana adik siswa tadi tidak sadar dirinya difoto mas Sudarto dari belakang.

Kala banyak siswa sekolah digambarkan brutal, demen foya-foya, suka tawuran, dan berbagai perilaku negatif lainnya, foto ini masih memberikan harapan. Saya salut kepada mas Sudarto yang sigap merekam peristiwa ini. Bagaimana menurut anda? Pasti anda salut bukan? Dalam hati saya, adik ini menggambarkan sikap perjuangan anak muda yang dalam keterbatasannya tidak manja dan tetap dengan semangat.

Coba sejenak anda perhatikan foto ini dengan mendalam. Dan proyeksikan diri anda kepada adik tersebut. Saya kira renungan anda walau sekejap akan memberi perspektif lain.

Jalani Hidup

Saya teruskan penjelajahan saya. Pelajaran kedua saya dapatkan dari foto berikut ini. Saya langsung teringat kepada ibu saya nun jauh di kota Medan, Sumatera Utara. Betapa bersyukurnya saya mengingat kesehatan ibu dan ayah saya yang masih terjaga sampai saat ini.

Foto kedua ini saya dapat dari postingan mas Mugei Djayadiningrat Kingdom. Masih dari laman yang sama yaitu Info Cegatan Yogyakarta. Fotonya memperlihatkan seorang nenek tua yang membawa dagangannya. Jelasnya saya kutip langsung dari postingan mas Mugei:

"Baru saja (jam 2 dini hari) saya menemukan seorang nenek usia 70 an berjalan kaki dengan penerangan obor dari blarak/daun kelapa dari rumahnya daerah krebet menuju pasar bantul yg berjarak kisaran 8 km utk menjual kelapa dan kayu bakar yang total nominal maksimal 30rb .dan msh ada beberapa nenek yg bernasib sama melintasi jalan setapak yg sama utk menyambung hidupnya pie iki lur di jaman yg katanya sudah melewati era milenium tp msh banyak warga yg terlupakan"

[caption caption="Sumber Foto: Postingan mas Mugei Djayadiningrat Kingdom"]

[/caption]

Walaupun saya bisa menebak pihak yang disindir oleh mas Mugei yang tampak serta dalam foto itu, tapi saya sadar bahwa saya juga adalah bagian dari pihak yang melupakan dunia nenek tua itu.

Saya kira - setidaknya untuk saat ini - belum bisa atau mampu berbuat banyak untuk nenek atau kondisi tersebut. Mungkin foto ini menyentuh bagian itu dari diri saya. Hanya, bukan bagian itu saja yang disentuh dalam diri saya. Tersirat didalam pikiran saya, mengapa dia mau melakukannya sampai sekarang?

Seperti biasa pikiran negatif saya muncul duluan. Kemiskinan, diabaikan keluarga, keterpaksaan, akibat dari minimnya pendidikan, dsb. Tapi saya selalu menepis pikiran negatif dan berusaha melihat dari perspektif lain.

Beberapa komentar pengunjung laman tersebut berkomentar serupa dengan saya. Nenek itu menunjukkan sikap melakoni atau menjalani hidup. Penderitaan, kemiskinan atau apapun yang tampak di mata kita tidak menjadi penghalang baginya menjalani hidup. Saya tiba-tiba malu sendiri karena saya harus akui bahwa banyak juga saya mengeluh tentang hal remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari.

Sering juga saya mengumpat kalau ada hal yang tidak berjalan sebagaimana saya harapkan. Walaupun bukan komparasi yang ideal, saya kagum dan hormat dengan si nenek. Saya tebak, dengan kondisinya yang seperti itu pasti dia tidak tahu hiruk pikuk dunia ini. Mungkin hari-harinya dijalani dengan "sepi". Sepi dari hal-hal yang kita selalu jalani dengan kejengkelan dan unek-unek.

Teringat saya sewaktu muda, ketika banyak menggugat Yang Maha Kuasa. Mengapa begini, mengapa begitu, kenapa begini dan kenapa harus begitu? Mungkin foto ini adalah "teguran" dari-Nya untuk mengingatkan saya akan hal itu? Bisa jadi... karena saya jadi terdiam melihat lakonnya dalam menjalani hidup.

Prihatin Dengan Tindakan

Foto yang ketiga dan terakhir saya bahas adalah foto seorang pria tua yang lebih mengedepankan aksi "sendirian" dan memberi sikap keprihatinan dengan tindakan nyata yang unik. Sungguh berbeda dengan yang banyak dicontohkan disekitar kita saat ini bukan?

[caption caption="Sumber Foto: Postingan mas Begundal Wahyuu"]

[/caption]

Berita terakhir menurut postingan mas Begundal Wahyuu pada tanggal 27 Juli 2015: "Sugeng Rawuh ing tlatah Kabupaten Bekasi pakdhe.. Lokasi barat jembatan Tanjung pura,asli no copas..monggo tmen2 dr regional bekasi jakarta dibantu pengawalan."

Gila.. saya segera searching mengenai pak Yudi Karyono ini via google dan ternyata sudah pernah diliput Kompas. Anda bisa baca kisahnya di: http://regional.kompas.com/read/2015/06/10/22470081/Demi.Permainan.Tradisional.Yudi.Naik.Egrang.Yogya-Jakarta.untuk.Temui.Jokowi

Kurang kerjaan... itu menurut pikiran spontan saya. Seperti biasa, segera saya teliti ulang gaya pikiran monyet saya itu. Saya perbesar gambarnya dan melihatnya dalam waktu yang lebih lama. Sambil melihat detailnya, saya mencoba berempati.

Siapa lagi yang mau main enggrang jaman sekarang? Apalagi yang memberi contoh adalah pria dari udik seperti dia? Hmm.. susah juga mencari perspektif lain ya?

Tapi saya lihat ada bendera di salah satu kayu enggrang yang dibawa pak Yudi ini. Wahhh... saya jadi malu. Bulan agustus kan sebentar lagi? Ahh... dia mencoba mengkaitkan aksinya menjelang peringatan kemerdekaan negara kita. Dia dan sikapnya mewakili kepedulian warga negara dengan sesuatu yang ada disekitarnya. Walaupun dia menunjukkan satu sikap keprihatinan untuk hal yang menurut saya sepele. Tapi dia menunjukkannya dengan aksi nyata! Bukan dengan mulut ribut dan sikap menuntut.

Saya kira tujuannya tadi hanya untuk keprihatinan saja. Namun imajinasi saya berkembang luas. Saya bayangkan pak Yudi ini disatu waktu di masa depan berkata kepada cucunya, "Nak, eyang sudah pernah nyoba jumpa bapak presiden biar kamu tetap bisa dan suka main enggrang"

"Presiden? Eyang jadi ketemuan ndak?"

"Ndak jadi.. sayangnya enggrang eyang patah waktu dekat kota Jakarta. Jadinya eyang pulang dulu. Nanti eyang mau coba lagi..."

"Aku ikut ya eyang. Aku mau nemanin eyang ke Jakarta biar kita sama-sama ke sana pake enggrang. Biar pak presiden mau main juga. Kita ajak satu dusun rame-rame eyang... biar pak presiden mauu...".

Eyang tersenyum. Kini cucunya jadi tambah semangat main enggrang.

Namanya saja imajinasi. Tapi imajinasi saya ini malah memberikan kemungkinan kalau pak Yudi ingin memberi contoh kepada keturunannya di masa depan, bahwa kakek mereka pernah berjuang dengan aksi, walau hanya soal enggrang tradisional dan dia hanya wong cilik.

Refleksi

Sekarang, saya semakin sering melihat apa yang tidak diucapkan daripada yang dibicarakan. Lebih mempelajari yang tersirat daripada yang tersurat. Tidak selalu mudah tapi banyak yang saya pelajari. Memberikan saya pemahaman akan "level yang berbeda" dengan yang sering saya lakukan di dunia virtual.

Mungkin ini yang menjadi inti pelajaran bagi saya: Pelajaran hidup selalu berlangsung, bahkan dari orang, kondisi, masalah yang tidak pernah kita anggap berarti sebelumnya. Bahkan ketika orang, kondisi dan masalah itu tidak bicara atau merespon kita sama sekali. Kitalah yang memberi arti sebenarnya kepada pemikiran dan pengertian kita.

Apa yang kita percayai dalam pikiran, itulah yang mengarahkan tindakan dan mulut kita.

Artikel ini saya persembahkan untuk pejuang-pejuang kecil yang belum sempat saya kenali kisahnya. Semoga kisah yang saya angkat bisa menyentuh hati pembaca.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun