"Ndak jadi.. sayangnya enggrang eyang patah waktu dekat kota Jakarta. Jadinya eyang pulang dulu. Nanti eyang mau coba lagi..."
"Aku ikut ya eyang. Aku mau nemanin eyang ke Jakarta biar kita sama-sama ke sana pake enggrang. Biar pak presiden mau main juga. Kita ajak satu dusun rame-rame eyang... biar pak presiden mauu...".
Eyang tersenyum. Kini cucunya jadi tambah semangat main enggrang.
Namanya saja imajinasi. Tapi imajinasi saya ini malah memberikan kemungkinan kalau pak Yudi ingin memberi contoh kepada keturunannya di masa depan, bahwa kakek mereka pernah berjuang dengan aksi, walau hanya soal enggrang tradisional dan dia hanya wong cilik.
Refleksi
Sekarang, saya semakin sering melihat apa yang tidak diucapkan daripada yang dibicarakan. Lebih mempelajari yang tersirat daripada yang tersurat. Tidak selalu mudah tapi banyak yang saya pelajari. Memberikan saya pemahaman akan "level yang berbeda" dengan yang sering saya lakukan di dunia virtual.
Mungkin ini yang menjadi inti pelajaran bagi saya: Pelajaran hidup selalu berlangsung, bahkan dari orang, kondisi, masalah yang tidak pernah kita anggap berarti sebelumnya. Bahkan ketika orang, kondisi dan masalah itu tidak bicara atau merespon kita sama sekali. Kitalah yang memberi arti sebenarnya kepada pemikiran dan pengertian kita.
Apa yang kita percayai dalam pikiran, itulah yang mengarahkan tindakan dan mulut kita.
Artikel ini saya persembahkan untuk pejuang-pejuang kecil yang belum sempat saya kenali kisahnya. Semoga kisah yang saya angkat bisa menyentuh hati pembaca.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H