Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Pejuang-Pejuang Kecil

28 Juli 2015   19:05 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:05 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Woohh... saya tiba-tiba tersentuh. Sebuah foto sederhana dari seorang siswa membawa keranjang kerupuk bisa menggambarkan sesuatu yang menyentuh. Memperlihatkan sebuah sikap. Dan saya menganggap sikap itu tidak dibuat-buat karena dilakukan dengan gaya candid camera, dimana adik siswa tadi tidak sadar dirinya difoto mas Sudarto dari belakang.

Kala banyak siswa sekolah digambarkan brutal, demen foya-foya, suka tawuran, dan berbagai perilaku negatif lainnya, foto ini masih memberikan harapan. Saya salut kepada mas Sudarto yang sigap merekam peristiwa ini. Bagaimana menurut anda? Pasti anda salut bukan? Dalam hati saya, adik ini menggambarkan sikap perjuangan anak muda yang dalam keterbatasannya tidak manja dan tetap dengan semangat.

Coba sejenak anda perhatikan foto ini dengan mendalam. Dan proyeksikan diri anda kepada adik tersebut. Saya kira renungan anda walau sekejap akan memberi perspektif lain.

Jalani Hidup

Saya teruskan penjelajahan saya. Pelajaran kedua saya dapatkan dari foto berikut ini. Saya langsung teringat kepada ibu saya nun jauh di kota Medan, Sumatera Utara. Betapa bersyukurnya saya mengingat kesehatan ibu dan ayah saya yang masih terjaga sampai saat ini.

Foto kedua ini saya dapat dari postingan mas Mugei Djayadiningrat Kingdom. Masih dari laman yang sama yaitu Info Cegatan Yogyakarta. Fotonya memperlihatkan seorang nenek tua yang membawa dagangannya. Jelasnya saya kutip langsung dari postingan mas Mugei:

"Baru saja (jam 2 dini hari) saya menemukan seorang nenek usia 70 an berjalan kaki dengan penerangan obor dari blarak/daun kelapa dari rumahnya daerah krebet menuju pasar bantul yg berjarak kisaran 8 km utk menjual kelapa dan kayu bakar yang total nominal maksimal 30rb .dan msh ada beberapa nenek yg bernasib sama melintasi jalan setapak yg sama utk menyambung hidupnya pie iki lur di jaman yg katanya sudah melewati era milenium tp msh banyak warga yg terlupakan"

[caption caption="Sumber Foto: Postingan mas Mugei Djayadiningrat Kingdom"]

[/caption]

Walaupun saya bisa menebak pihak yang disindir oleh mas Mugei yang tampak serta dalam foto itu, tapi saya sadar bahwa saya juga adalah bagian dari pihak yang melupakan dunia nenek tua itu.

Saya kira - setidaknya untuk saat ini - belum bisa atau mampu berbuat banyak untuk nenek atau kondisi tersebut. Mungkin foto ini menyentuh bagian itu dari diri saya. Hanya, bukan bagian itu saja yang disentuh dalam diri saya. Tersirat didalam pikiran saya, mengapa dia mau melakukannya sampai sekarang?

Seperti biasa pikiran negatif saya muncul duluan. Kemiskinan, diabaikan keluarga, keterpaksaan, akibat dari minimnya pendidikan, dsb. Tapi saya selalu menepis pikiran negatif dan berusaha melihat dari perspektif lain.

Beberapa komentar pengunjung laman tersebut berkomentar serupa dengan saya. Nenek itu menunjukkan sikap melakoni atau menjalani hidup. Penderitaan, kemiskinan atau apapun yang tampak di mata kita tidak menjadi penghalang baginya menjalani hidup. Saya tiba-tiba malu sendiri karena saya harus akui bahwa banyak juga saya mengeluh tentang hal remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun