Mungkin kalau beliau tidak mengucapkan "kata-kata sakti" tersebut, kita masih terlelap dan terlena dengan kenyamanan diri kita serta sikap cuek terhadap situasi kehidupan berbangsa yang sebenarnya sudah mengkhawatirkan. Mungkin juga kalau beliau tidak mengucapkan kata-kata tersebut, kita tidak sadar akan bahaya internal, yang semakin menggerogoti persatuan dan keberagaman kita sebagai Bangsa Indonesia. Mungkin kalau kata-kata tersebut tidak keluar, kita masuh cuek saja dengan kehancuran persatuan kita yang sudah semakin mendekat.
Oleh karena itu, sudah selayaknya sebagai kelas yang sama-sama merdeka, kita bahu membahu membangun bangsa ini, dan mengakui kebersamaan dalam keberagaman sebagai identitas khas Bangsa Indonesia, yang mempererat dan menghubungkan kita satu dengan yang lain walaupun kita mungkin hidup dalam "kelas" yang berbeda. Toh setidaknya, kita semua punya satu kesamaan, yaitu masih butuh makanan serta minuman untuk hidup.Â
Mengapa kita tidak mempererat persaudaraan kita dengan kesadaran yang sangat sederhana tersebut? Mengapa kita malah menuduh salah satu kelas adalah pemilik sekolah, padahal kita sama-sama kelas yang merdeka dan merupakan pemilik bersama sekolah tersebut? Mengapa kita justru saling memicu pertengkaran antar kelas, padahal pertengkaran kita pun sebenarnya hanya menghabiskan tenaga dan merusak sekolah kita? Mengapa begini, mengapa begitu? Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H