Mohon tunggu...
Samuel Christopher
Samuel Christopher Mohon Tunggu... Aktor - Pelajar Kolese Kanisius Jakarta

"Dengan membaca dapat mengenal dunia, dengan menulis dapat dikenal dunia" Akun ini dibuat untuk menyampaikan gagasan, ide, serta pesan yang diharapkan bisa membantu sesama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pria, Menjelajah Maskulinitas Sejati

22 November 2024   21:13 Diperbarui: 22 November 2024   21:18 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak zaman dahulu, ada pemahaman tertentu di masyarakat mengenai cara pria bersikap dan tampil. Menurut National Geografic Institute maskulinitas adalah harapan sosial menjadi pria. 

Sering kali maskulinitas dikaitkan dan dikenal dengan keberanian, kekuatan fisik, serta ketahanan emosional, dan hal ini diharapkan oleh masyarakat untuk pria memiliki maskulinitas dan mencerminkan sikap tersebut dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari tanpa menunjukkan kelemahan, dan didorong untuk menekan emosi seperti kesedihan serta ketakutan.

Di masa lalu, pekerjaan pria biasanya membutuhkan kekuatan fisik, misalnya, berburu, bertani, atau berperang. Hal ini menjadikan seolah pria memiliki fisik yang kuat. Pria juga adalah seorang kepala keluarga sehingga memiliki tugas melindungi dan mencari nafkah untuk keluarga.

  Zaman telah berubah, dan peran pria pun turut bergeser. Tantangan karier, persaingan ekonomi, dan perubahan budaya mengharuskan pria untuk beradaptasi dengan cara yang berbeda dari masa lalu. Konsep maskulinitas yang ada dalam masyarakat sebelumnya kini menghadapi persoalan, karena kondisi pada zaman sekarang berubah dapat menghambat perkembangan seseorang dan berdampak pada kesehatan mental.

Saat ini, komentar seperti "pria kok menangis" sering digunakan untuk mencirikan pria. Stereotip yang menyatakan bahwa pria harus selalu kuat dan memiliki fisik yang sempurna dan tidak mampu mengekspresikan emosi menjadi permasalahan pada masa saat ini. 

Perspektif ini, meskipun zaman telah berubah, memberikan tekanan besar pada orang-orang untuk memenuhi ekspektasi yang tampaknya tidak sehat dan tidak realistis. Pria yang menunjukkan perasaan sedih sering dianggap lemah. 

Dari hal ini menunjukkan bahwa pria tidak mampu mengkomunikasikan emosinya dengan cara yang sehat. Berterus terang mengenai perasaan seseorang adalah tanda pengakuan dan perasaan terhadap apa yang dirasakan, bukan tanda kelemahan.

 

    Penyebab utama dari masalah ini adalah warisan nilai budaya dari zaman dahulu yang masih ada dan mempengaruhi pandangan masyarakat. Ekspektasi sosial  yang dipegang teguh oleh banyak orang menjadi tantangan bagi pria untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Media massa dan industri hiburan dapat memperkuat stereotip ke gender tertentu termasuk maskulinitas baik dengan perantara film, acara televisi, maupun iklan. Pria seringkali digambarkan sebagai sosok yang kuat dan memiliki fisik yang sempurna. Hal ini juga membuat tekanan bagi pria untuk memenuhi standar tersebut yang tidak realistis, tidak semua orang bisa merealisasikan standar tersebut. 

Akibat dari permasalahan ini, pria sering menyembunyikan perasaan mereka ketika menghadapi masalah. Ini bisa menyebabkan gangguan mental seperti cemas dan sedih. Pria yang merasa tidak maskulin dapat merasa rendah diri. Mereka percaya masyarakat tidak menghargai mereka. 

Beberapa pria melakukan hal tidak sehat untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal. Misalnya diet ketat, mengkonsumsi suplemen berlebihan, atau menyalahgunakan obat-obatan. Ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mereka.

Selain itu, kurangnya keterbukaan dalam mengungkapkan perasaan dapat mempengaruhi hubungan dengan orang lain. Pria yang sulit mengkomunikasikan emosi mungkin kesulitan menjalin hubungan yang sehat dan memuaskan.

Mengubah pandangan masyarakat tentang bagaimana seharusnya pria itu bisa berekspresi. Kita harus mendorong pria untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa merasa malu. Kita juga harus mengajarkan mereka tentang pentingnya kesehatan mental.

Kampanye untuk meningkatkan pemahaman tentang maskulinitas yang berbeda-beda dapat membantu. Masyarakat akan lebih memahami peran pria. pria harus bebas mengekspresikan diri mereka.

Selain itu, pria harus mendapat akses ke terapi kesehatan mental yang bermanfaat dan terjangkau. Terapi akan membantu mereka menghadapi tuntutan zaman sekarang. pria akan lebih jujur pada diri sendiri tanpa merasa tertekan untuk memenuhi standar yang mustahil. Ini akan menciptakan masyarakat yang lebih menerima semua orang, tanpa memandang jenis kelamin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun