Mohon tunggu...
Sam Junus
Sam Junus Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Konten kreator, Penulis, audiostory, genre : romans, drama rumah tangga dan horor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya 8 Menit (Bagian 3)

3 Januari 2024   06:45 Diperbarui: 3 Januari 2024   06:49 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikisahkan oleh :

Winda

Aku Winda, bagian sebelumnya, adalah ungkapan perasaanku saat tiba tiba pak jantan menghubungi aku kembali untuk mengajak pertemuan. Catatan : bahwa nama guru ku saat sekolah, aku samarkan dengan panggilan pak jantan.

Pada pertemuan pertama, setelah empat belas tahun terpisah, hatiku sungguh tergoyahkan, kini beliau duda dan perasaanku kembali seperti masa silam. Dengan pujian dari beliau membuat aku merasa menjadi Winda bukan sebagai istri mas Satrio.

Baca juga: Artis Baru

Kini, aku merasa dalam hati kecilku, bahwa aku merindukan pak jantan. Aku ingin kembali berdekatan, bercengkrama dan berada di hangatnya pelukan beliau.
Apakah aku sudah jatuh cinta? Entahlah yang jelas perasaanku mengharap kenyamanan seperti itu.

Tapi kenyataannya, aku harus kembali pada rutinitas ku lagi. Dari pagi hingga malam, aku berkutat dengan anakku dan rumahku.
Tanpa dapat cerita. Maksudnya? Ya benar aku memiliki suami, namun bila aku ceritakan mengenai keseharian ku, bagi mas Satrio adalah hal sepele yang hanya didengar sambil lalu.

Waktu awal menikah, hal tersebut tidak terasa, karena aku masih bekerja di kantor, sehingga aku bisa cerita pada teman teman kantorku. Mas Satrio pun saat itu masih mendengarkan dengan baik. Bagi dia masalah kantor itu lebih utama, lebih hebat dibanding masalah di rumah. Semenjak di rumah, kesepian dan kejenuhan menyelimuti hari hariku. Untung ada anakku yang imut dan cerewet, sehingga waktu terasa berjalan cepat.

Bila malam tiba, merupakan problem tersendiri. Permintaan mas Satrio hampir boleh dikata sering. Dan sesering itu pula aku harus menelan ludah.
Sudah dua kali aku ajak mendiskusikan dan membicarakan, namun hasilnya selalu nihil. Mindset mas Satrio yang harus dirubah, dia selalu menganggap bahwa semua demi dia yang utama, sedangkan yang lain itu tidaklah penting.

Malam ini pun akan sama dengan malam malam sebelumnya.

Saat aku selesai menidurkan anakku, lalu makan malam sendirian. Mas Satrio sudah mendekati aku dan berkata pelan, say aku tunggu di kamar ya. Aku katakan padanya bahwa aku sedang makan malam. Jawabnya setelah makan Win. Aku siap menunggu Winda di kamar.

Hatiku menjadi tawar, rasa makananku jadi hambar. Aku memperlambat suapan demi suapan.  Aku sudah terbayang endingnya, perasaanku akan menjadi korban kembali.

Tiba tiba, aku terbayang pertemuan terakhirku dengan pak jantan. Ingat tangan kananku digenggamnya, jari jariku di mainkan dan aku merasa nyaman, menjadi netral kembali perasaanku. Aku tersenyum sendiri.

Setelah makanku selesai, saat minum, mas Satrio sudah memanggilku lagi dengan nada tidak sabar.
Sebelum aku masuk ke kamar, aku sempatkan melihat ponselku. Pukul 21.44. lalu aku masuk.
Aku katakan pada mas Satrio untuk santai dan mesra agar lebih romantis.

Jawabnya sungguh mencengangkan kan aku. Pintanya malah sesegera dan secepat mungkin, karena sudah tidak tahan. Astaga naga apakah aku hanya suatu tempat saja?! akhirnya seperti biasa, semua dilakukan dengan buru buru, tanpa banyak kata dan.....finish.

Kemudian seperti biasa, mas Satrio jika sudah selesai akan mencium pipi atau keningku sambil berkata, Win terima kasih, secara mesra dengan penuh kepuasan, penuh kemenangan atas keegoisannya. Saat itu aku anggukkan kepala sambil melihat ponselku. Pukul 21.52. hah? Hanya delapan menit. Lalu tepat pukul 22.00, suara dengkuran mas Satrio sudah terdengar.

Berarti kemenangan keegoisan mas Satrio hanya perlu waktu lima belas menit. Aku tertawa sendiri.

Atau jika dibalik, maka aku hanya diperlukan oleh mas Satrio selama lima belas menit untuk menenangkan dan membuat happy perasaannya.

Aku, meneteskan air mataku. Apakah seperti ini kah pernikahan yang sejati? Hatiku memberontak, pasti tidak. Tapi...apa dayaku?
Aku berusaha mengalihkan, namun tetap perasaanku tidak dapat aku tutup tutupi terus menerus.

Suara dengkuran kepuasan mas Satrio semakin keras, menandakan suatu kenyamanan tidur yang sangat diidamkan nya. Hatiku semakin sedih, hatiku terasa tersayat kembali. Lalu aku menghilangkannya dengan menekan dan mulai membayangkan elusan tangan pak jantan pada jari kananku. Dibuatnya main jari jariku. 

Aku peluk beliau dan aku cium pipi kirinya. Sungguh luar biasa, membuat hatiku bergejolak, aku merasakannya, semuanya, sentuhannya, sensasinya serta ending yang membuat aku happy, aku bahagia, aku tersanjung. Akhirnya, seakan aku menemukan obat penenang untuk menenangkan luka perasaanku setiap mas Satrio meminta.

Itukah perasaan yang sebenarnya? Bukan, aku tahu itu hanya kepalsuan belaka. Hanya bersifat sementara. Tetap perasaanku yang terdalam selalu menjerit bila, mas Satrio mengatakan, Winda, terima kasih....lalu dia mendengkur dengan penuh kemenangan dan kepuasan.

Hati kecilku memberontak, hati kecil memohon, agar aku menyudahi malam malam seperti itu. Meminta aku untuk do action,  tapi aku tidak berani. Untuk apa? Menghubungi pak jantan??,. Aku hanya pasrah menanti perkembangan beliau menghubungi aku.

Namun sudah seminggu lebih dari pertemuan terakhir, beliau tidak menghubungi aku.

Mungkin terlalu sibuk, atau mungkin memang benar seperti kata beliau, bahwa hanya ingin bertemu, tanpa ada arah merusak rumah tanggaku. Karena aku selalu mengatakan, aku bahagia dengan pernikahanku.
Ooh sungguh malang kau, Winda.!!!

Tertutup sudah semuanya. Jalani lah hari harimu, sebagai penampung kemenangan atas keegoisan mas Satrio.

Sediakan waktumu Winda, hanya lima belas menit. Untuk hati dan perasaanmu tercabik cabik selama seharian, seminggu bahkan sebulan atau setahun? ooOh, sungguh malang Winda.!!
Aku menangis, aku sedih, hatiku pilu.
Hampir satu jam aku menangis merasakan perihnya hatiku. Semakin suara dengkuran mas Satrio semakin keras, membuat sayatan seperti bertambah sedikit demi sedikit. Aku tidak tahan lagi.
Aku keluar kamar dan aku tidur di sofa. Telingaku aku tutup dengan bantal. Agar suara dengkuran itu tidak merobek hatiku semakin dalam.

Pagi hari mas Satrio terlihat senyum kebahagiaan. Lalu dia mengatakan bahwa semalam tidur dengan pulas. Aku tersenyum. Aku lalu menyindir mas Satrio, bahwa dia merasa puas, namun aku tidur disofa. Jawab mas Satrio adalah, itulah pengorbanan seorang istri. Apakah hal itu pujian? Aku tidak paham dengan keegoisan dia.

Ponselku berdering, ternyata adikku mengabarkan bahwa ibuku sakit keras dan sudah di bawa ke Rumah Sakit. Bila ada waktu, aku diminta datang menjenguk ibu.

Aku beritahu mas Satrio, dan beliau langsung berinisiatif ambil cuti dadakan untuk mengurus anakku dan meminta aku ke Jawa menengok ibuku.
Singkatnya, aku berada di Jawa, di rumah sakit bersama ibu dan adikku Wanda. Ayahku sudah almarhum lama. Ibu diurus oleh Wanda.
Ibu terlalu gemuk dan memiliki komplikasi penyakit yang cukup banyak.

Saat ibu kritis dan di bawa ke ruang darurat. Mas Satrio mengabarkan bahwa anakku sakit panas tinggi. Aku minta dia bawa ke rumah sakit secepatnya.
Pikiranku, berkecamuk dan bimbang dengan keadaan seperti ini.

Di satu sisi ibuku sedang kritis, dilain sisi anakku panas tinggi dan belum tahu apa yang terjadi. Aku hanya memeluk Wanda adikku untuk menenangkan hatiku.

Sore hari, ibu keluar dari ruang darurat, syukur Alhamdulillah, ibu baik dan dapat tersenyum kembali pada kami berdua. Aku senang, aku peluk Wanda dan kami peluk ibu, sambil bersyukur dalam keharuan. Aku mulai terpikir keadaan anakku. Aku diskusi dengan adikku dan hasilnya, malam ini aku akan kembali ke Jakarta untuk mengurus anakku.

Aku naik kereta api malam, berangkat menuju Jakarta.

Di saat kereta api dalam perjalanan sekitar pukul 21.35, mas Satrio mengabarkan hal yang menyentak hatiku. Anakku tidak tertolong lagi. Aku menangis sejadi jadinya di kereta api itu. Penumpang di dekat ku, menenangkan aku. Aku tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam dan semuanya menjadi gelap. Aku pingsan.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun