Namun sudah seminggu lebih dari pertemuan terakhir, beliau tidak menghubungi aku.
Mungkin terlalu sibuk, atau mungkin memang benar seperti kata beliau, bahwa hanya ingin bertemu, tanpa ada arah merusak rumah tanggaku. Karena aku selalu mengatakan, aku bahagia dengan pernikahanku.
Ooh sungguh malang kau, Winda.!!!
Tertutup sudah semuanya. Jalani lah hari harimu, sebagai penampung kemenangan atas keegoisan mas Satrio.
Sediakan waktumu Winda, hanya lima belas menit. Untuk hati dan perasaanmu tercabik cabik selama seharian, seminggu bahkan sebulan atau setahun? ooOh, sungguh malang Winda.!!
Aku menangis, aku sedih, hatiku pilu.
Hampir satu jam aku menangis merasakan perihnya hatiku. Semakin suara dengkuran mas Satrio semakin keras, membuat sayatan seperti bertambah sedikit demi sedikit. Aku tidak tahan lagi.
Aku keluar kamar dan aku tidur di sofa. Telingaku aku tutup dengan bantal. Agar suara dengkuran itu tidak merobek hatiku semakin dalam.
Pagi hari mas Satrio terlihat senyum kebahagiaan. Lalu dia mengatakan bahwa semalam tidur dengan pulas. Aku tersenyum. Aku lalu menyindir mas Satrio, bahwa dia merasa puas, namun aku tidur disofa. Jawab mas Satrio adalah, itulah pengorbanan seorang istri. Apakah hal itu pujian? Aku tidak paham dengan keegoisan dia.
Ponselku berdering, ternyata adikku mengabarkan bahwa ibuku sakit keras dan sudah di bawa ke Rumah Sakit. Bila ada waktu, aku diminta datang menjenguk ibu.
Aku beritahu mas Satrio, dan beliau langsung berinisiatif ambil cuti dadakan untuk mengurus anakku dan meminta aku ke Jawa menengok ibuku.
Singkatnya, aku berada di Jawa, di rumah sakit bersama ibu dan adikku Wanda. Ayahku sudah almarhum lama. Ibu diurus oleh Wanda.
Ibu terlalu gemuk dan memiliki komplikasi penyakit yang cukup banyak.
Saat ibu kritis dan di bawa ke ruang darurat. Mas Satrio mengabarkan bahwa anakku sakit panas tinggi. Aku minta dia bawa ke rumah sakit secepatnya.
Pikiranku, berkecamuk dan bimbang dengan keadaan seperti ini.
Di satu sisi ibuku sedang kritis, dilain sisi anakku panas tinggi dan belum tahu apa yang terjadi. Aku hanya memeluk Wanda adikku untuk menenangkan hatiku.
Sore hari, ibu keluar dari ruang darurat, syukur Alhamdulillah, ibu baik dan dapat tersenyum kembali pada kami berdua. Aku senang, aku peluk Wanda dan kami peluk ibu, sambil bersyukur dalam keharuan. Aku mulai terpikir keadaan anakku. Aku diskusi dengan adikku dan hasilnya, malam ini aku akan kembali ke Jakarta untuk mengurus anakku.
Aku naik kereta api malam, berangkat menuju Jakarta.