Mohon tunggu...
Sam Junus
Sam Junus Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Konten kreator, Penulis, audiostory, genre : romans, drama rumah tangga dan horor.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jangan Panggil Aku Cindy (18+)

17 Desember 2023   07:15 Diperbarui: 17 Desember 2023   07:23 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GambarCindy Agatha oleh Sam Junus

Dikisahkan oleh :

Cindy Agatha

Jangan Panggil Aku Cindy  Bagian 1. ( Tamat 2 Bagian )

     Saat aku keluar, dari bioskop sendirian di sebuah Mall, aku merasa ada seorang pria yang sedari tadi membuntuti dan memandangi aku.
Aku diamkan saja, seolah tidak tahu akan hal itu. Tapi saat saat tertentu aku kadang mencuri pandang ke pria tersebut.
Badan nya atletis, memakai outfit ketat. Kaos polo biru Dongker dan celana jeans ketat.
Di dadanya ada kamera Nikon. Aku tahu mereknya, namun tipe sudah tidak hafal. Karena, sudah lima tahun lebih aku tinggalkan dunia fotografi ku.

Baca juga: Malam Jumat Kliwon


     Semakin dekat jarak pria itu, lalu aku sengaja memperlambat langkahku dengan membuka ponselku.
Akhirnya, dia tepat bersebelahan denganku. Aku merasakan sesuatu di darahku, seakan alirannya menjadi lancar dan cepat sekali. Aku menoleh, tepat saat itu juga pria tersebut menoleh ke arahku. Mata kami berpandangan. Dia tersenyum sambil memanggil namaku pelan, Cindy Agatha? . Hah? Kok dia mengenali namaku? Aku terkejut. Jantungku berhenti berdetak, nafasku pun berhenti sekejap. Ini sangat mengherankan.
Aku langsung menanyakan dengan muka yang malu. Dengan siapa ya? Lalu pria itu menghentikan langkahnya, secara otomatis akupun menghentikan langkahku.
Dia mengatakan bahwa mungkin Cindy tidak begitu mengenalnya, namanya Dicky Putra. Aku coba mengingat nama itu tapi aku benar benar tidak ada list nama Dicky Putra. Tapi dia buru buru mengatakan, tak apalah pasti tidak ada namaku diingatan Cindy, karena memang aku tidak menonjol dan aku dulu pemalu. Aku tanyakan kapan pertemuan itu?
Kemudian dia meminta aku menyetujui nya untuk ditraktir bakso malang.
Sebenarnya berat untuk mengungkit kembali masa lalu. Tapi tanpa sadar, aku menganggukkan kepala tanda setuju.


     Kami makan bakso sambil dia menceritakan pertemuan kami dahulu. Ternyata kembali ke masa kami sama sama remaja.
Setelah dia menyebutkan nama nama teman kami seangkatan, barulah aku teringat. Dicky dulu kecil, sedikit hitam, kurus, pendiam, dan jarang bergaul dengan aku.
Setelah rasa penasaranku terobati, aku tidak ingin mengenang lagi masa silam ku.
Aku katakan pada Dicky bahwa mohon di hentikan, dan aku minta kita mengganti topik yang kekinian.
Dicky menghormati dan dia mengikuti alurku.
     

     Dia mengatakan bahwa dia baru 3 tahun di jakarta, untuk menempati posisi menjadi General Manager di suatu perusahaan Farmasi.
Aku ucapkan selamat sudah menapak karir dengan baik diusia muda.
Kemudian Dicky menanyakan mengenai aku. Sedikit terperanjat, aku tidak siap akan pertanyaan itu, aku pikir karena Dicky pendiam, sehingga aku yang akan banyak tahu mengenai dia dibandingkan dia tahu mengenai aku.
Tapi pertanyaan sudah meluncur, jadi aku harus jawab.
Aku katakan bahwa aku kini sudah tidak bekerja lagi, dulu aku seorang sekretaris. Kini aku menikah dengan anak seorang konglomerat, sehingga aku dirumah saja.
Lalu aku alihkan masalah fotografi. Dia menceritakan panjang lebar mengenai fotografi, aku tanggapi dengan mendengarkan secara serius apa yang diceritakannya.
Sambil aku amati wajah Dicky saat dia dengan serius dan antusias bercerita.
     

     Dia masih aktif mengirim foto-foto ke platform micro stock seperti Istockphoto, Gettyimage, Shutterstock, Pond5, Adobe stock.
Dia juga kasih lihat koleksi fotonya. Aku terkesan, aku dulu juga seperti dia, mendulang dollar dengan menjual fotoku. Kami banyak membicarakan fotografi, dan kami memang nyambung.
Intinya pertemuan dengan Dicky malam itu, cukup menyenangkan terutama mengenai fotografi, mengenai hal yang lain, aku menilai negatif untuk aku.
Tapi aku pikir hanya kali ini saja pertemuan ini. Karena saat dia minta nomor ku, aku katakan pada dia, bahwa suamiku sangat cemburuan, sehingga aku tidak mungkin memberikan nomorku pada seorang pria. Lalu Dicky maklum akan hal itu.
Akhirnya kami berpisah, tanpa dapat kontak, dan lainnya sehingga akan kecil kemungkinan bertemu kembali. Kecuali kebetulan seperti saat ini.
Sesampainya aku di kamar kostku, aku masih terbayang wajah Dicky, gaya ceritanya, juga tertawanya. Sebenarnya, dia adalah pria yang menarik, enak untuk berbincang, kadang ada candaan nya, walaupun jarang. Tipe orang yang serius dan tekun. Karirnya cukup ok. Tapi sayang sepertinya dia anak baik baik saja. Yang akan sulit menerima seperti diriku. Lalu aku tertawa sendiri.

Baca juga: Selingkuh

     Aku ambil sebatang rokok dan aku kontak ke Ayu temqn akrabku. Lalu kontak juga ke Alfi dan kami bertiga ngobrol bareng, hingga pukul 0.1.00 dini hari. Biasa kami bertiga, sering melakukan itu. Apa saja topiknya tapi yang paling banyak mengenai cowok, itulah keisengan kami, dalam menghabiskan waktu.
Setelah selesai dengan Ayu dan Alfi, aku belum langsung tidur. Toh besok aku masih libur kerja, aku masih merah. Kemudian aku mencoba googling mencari nama Dicky Putra.
Wow, aku tersentak, ternyata dia selain sebagai GM seperti yang dia katakan, dia adalah anak seorang konglomerat. Aset dia banyak. Berupa rumah mewah, resort hingga hotel di Singapura.
Aku berdecak kagum, tapi mana mungkin aku dapat dia, aku tertawa terbahak bahak.
Hai Cindy, janganlah kamu berkhayal setinggi bulan, aku tertawa kembali. Modalmu apa Cin? Kecantikanmu? Semakin tua semakin berkerut juga, permainanmu? Jika setiap kali itu saja pasti bosan juga Cin. Aku kembali tertawa.
Intinya, jika aku mau belum tentu dia mau, jika aku mau dan dia mau, belum tentu keluarga nya kasih restu. Cindy, kamu harus sadar diri, jauh antara bumi dan rembulan.
Aku tertawa lagi. Tapi tiba tiba hatiku terharu sendiri. Cindy, berarti kamu sampah yang tidak bisa masuk di kamar yang harum wanginya. Aku meneteskan air mata.
Apakah aku kelak harus mendapat suami yang sama sama sampah?

Baca juga: Artis Baru

     Oh, tidak, hatiku menjerit. Aku teringat cerita pengalaman Ayu, dia sudah akan terangkat, karena pacaran dengan seorang pengusaha, tapi ternyata pengusaha muda itu suami orang. Sehingga runtuh lah semuanya. Dia akan di jadikan istri yang disimpan. Ayu menolak. Selesailah sudah. Kami bertiga dengan Ayu dan Alfi memang sepakat tidak mau menjadi simpenan. Kelihatannya enak, uang di kasih. Tapi perasaan harus siap diperas. Banyak teman kami seprofesi yang nasibnya seperti itu. Setiap hari hanya curhat karena perasaannya jadi keset kaki. Uang banyak, kami suka ditraktir makan di kelas mahal. Memang itulah dilema kehidupan di profesi ku.
Aku akhirnya tertidur dengan terakhir membayangkan wajah Dicky Putra, seorang pria idaman yang jauh di bulan untuk aku jangkau.

     Pagi ini aku sudah bisa bekerja kembali. Semua sudah menjadi putih, istilah dari Alfi. Hatiku gembira, masa gabutku sudah berakhir.
Namun cukup menyedihkan, karena hingga sore, tidak ada panggilan buatku. Hatiku menjadi gusar, aku mengontak Ayu, kata Ayu, dia sudah dapat dua. Aku jadi sedih, aku tunggu hingga magrib tapi benar firasatku, hari pertama aku kerja akan zonk.
Aku sudah mulai kuatir, terutama masalah finansial ku yang menipis.
Pukul sembilan belas lewat, Ting, aku dapat panggilan, aku tersenyum, akhirnya dapat juga, mungkin hanya satu, tapi lumayanlah pikirku.
Saat aku lihat, di bagian nama hanya singkatan D.P. Aku jadi ragu, jangan jangan singkatan dari Dicky Putra. Tapi tidak mungkin, Dicky tipe orang yang baik baik saja.
Mungkin semua kebetulan belaka. Akupun langsung kasih tanda, ok.

     Perjalanan ke hotel yang disepakati terasa lama, selain macet dalam perjalanan, juga hatiku ada perasaan sesuatu...tapi aku tidak dapat menguraikannya. Malahan ada sedikit cerita, karena kemacetan dan aku juga masih perang batin sendiri. Hotel tersebut terlewati oleh sopir online.
Jika memutar pasti, butuh waktu yang lebih lama lagi. Akhirnya aku turun untuk jalan kaki menuju hotel tersebut.

     Sesampainya di lobby hotel, aku duduk dan aku kasih tanda on location di apkikasinya. Namun hingga setengah jam aku masih duduk di lobby menunggu jawaban pasienku untuk tahu nomor kamarnya.
Perasaanku semakin tidak nyaman. Aku kontak Ayu, dan terijek. Dia sedang sibuk bekerja, Aku kontak Alfie, sama juga. Aku semakin kesal dengan situasi ini. Hampir satu jam aku hanya duduk di lobby mengamati tanda untuk nomor kamar nya. Tiba tiba angka 303 masuk ke ponselku, aku siap datang ke kamarnya.

Bersambung ke bagian 2 ( Tamat.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun