Seperti sering terjadi dalam konflik intelektual, kedua belah pihak memperkuat dan memperjelas alat analisa masing-masing untuk meninjau kembali kerangka, metode, dan tujuan ilmu politik. Meskipun tidak ada pihak yang menang, dialog ini mendorong perkembangan ilmu politik, baik dalam pembangunan teori maupun penelitian komparatif antara negara maju dan berkembang, memberikan harapan positif untuk masa depan. Pendekatan perilaku memiliki pengaruh besar dan dihormati dalam ilmu politik, sementara pendekatan tradisional tetap penting tetapi tidak lagi dominan.
Revolusi pasca-behavioralisme muncul di Amerika pada pertengahan 1960-an dan memuncak pada akhir dekade tersebut, dipengaruhi oleh Perang Vietnam, kemajuan teknologi persenjataan, dan isu diskriminasi rasial yang menyebabkan gejolak sosial. Gerakan ini didukung oleh tulisan-tulisan cendekiawan seperti Herbert Marcuse, C. Wright Mills, dan Jean-Paul Sartre, serta mendapat dukungan luas di universitas-universitas. Reaksi ini berbeda dari kaum tradisional; pasca-behavioralis lebih berorientasi pada masa depan, sedangkan kaum tradisional lebih melihat ke masa lalu.
Pasca-behavioralisme mengkritik penelitian ilmu politik yang terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang nyata. Mereka menekankan bahwa ilmu politik harus terlibat dalam mengatasi krisis-krisis manusia dan penelitian nilai-nilai harus menjadi tugasnya. Cendekiawan memiliki tanggung jawab historis untuk berperan aktif dalam menyelesaikan masalah sosial, karena pengetahuan membawa tanggung jawab untuk bertindak.
Perkembangan ini mendorong sarjana ilmu sosial di Amerika untuk lebih fokus pada pemecahan masalah masyarakat. Meskipun gejolak serupa tidak terjadi di Indonesia, perkembangan ini memberikan pelajaran penting bagi sarjana kita tentang peran ilmu-ilmu sosial di negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H