Terkadang, diperdebatkan apakah ilmu politik dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science) dan apakah memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini menimbulkan pertanyaan lanjutan: Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan? Karakteristik utama ilmu pengetahuan adalah kemampuannya menguji hipotesis melalui eksperimen yang dapat dilakukan dalam bykondisi terkontrol, seperti di laboratorium. Ilmu-ilmu eksakta dapat menemukan hukum-hukum yang kebenarannya dapat diuji berdasarkan eksperimen-eksperimen ini. Jika definisi ini digunakan sebagai standar, maka ilmu politik dan ilmu sosial lainnya belum memenuhi syarat karena hingga kini belum ditemukan hukum-hukum ilmiah serupa. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa yang diteliti adalah manusia, yang merupakan makhluk kreatif dan kompleks, dengan perilaku yang tidak selalu rasional dan logis, sehingga sulit untuk membuat perhitungan serta proyeksi masa depan dalam kondisi terkontrol.
Pada awalnya, para sarjana ilmu sosial cenderung merumuskan definisi yang lebih umum, seperti yang terlihat pada pertemuan para sarjana ilmu politik di Paris pada tahun 1948. Mereka menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah keseluruhan dari pengetahuan yang terkoordinasi mengenai subjek tertentu. Jika definisi ini digunakan, maka ilmu politik dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
Namun, pada tahun 1950-an, banyak sarjana ilmu politik tidak puas dengan definisi ilmu pengetahuan yang luas karena tidak mendorong pengembangan metode ilmiah. Pendekatan perilaku (behavioral approach) muncul pada dekade 1950-an sebagai gerakan pembaruan untuk meningkatkan mutu ilmu politik dan mencari "new science of politics". Gerakan ini menyatakan bahwa meskipun perilaku manusia kompleks, terdapat pola-pola berulang yang bisa diidentifikasi. Pola-pola ini dapat dibuktikan melalui pengamatan yang teliti dan sistematis, dan hukum-hukum yang bersifat probabilitas dapat dirumuskan menggunakan statistik dan matematika.
Namun, pada akhir dekade 1960-an, muncul reaksi terhadap pendekatan perilaku, terutama dari ahli-ahli yang berorientasi politik kiri seperti Herbert Marcuse dan Jean Paul Sartre. Bahkan beberapa sarjana behavioralis mendukung kritik ini, yang menyatakan bahwa pendekatan perilaku terlalu kuantitatif dan abstrak sehingga tidak mencerminkan realitas sosial. Berbeda dengan behavioralis yang berpendapat bahwa nilai tidak boleh masuk dalam analisis sosial, kelompok post-behavioralist berpendapat bahwa nilai-nilai harus dimasukkan dalam analisis sosial, dan para ilmuwan harus aktif terlibat dalam mengatasi masalah-masalah sosial.
Kemudian berkembang pandangan bahwa pendekatan behavioralis terlalu meremehkan pentingnya negara dan lembaga-lembaganya. Aliran baru yang dipelopori oleh Theda Skocpol, melalui tulisannya "Bringing the State Back In: Strategies of Analysis in Current Research", menekankan pentingnya lembaga-lembaga negara. Selain itu, teori pilihan rasional (rational choice theory) dari ilmu ekonomi juga berkembang. Ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan erat antara ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti antropologi, sosiologi, dan ekonomi. Pendekatan perilaku berkembang setelah Perang Dunia II, dipengaruhi oleh karya Max Weber, Talcott Parsons, dan penemuan baru di bidang psikologi. Sarjana terkenal dalam pendekatan ini termasuk Gabriel A. Almond, David Easton, Karl W. Deutsch, David Truman, dan Robert Dahl. Mereka berpendapat bahwa perilaku politik harus menjadi fokus utama daripada lembaga, kekuasaan, atau keyakinan politik. Dalam sistem politik, dukungan dan tuntutan dari masyarakat (inputs) dikonversi menjadi kebijakan dan peraturan (outputs) yang kembali ke lingkungan sebagai inputs baru, menciptakan keseimbangan dan stabilitas.
Pendekatan perilaku memperkenalkan konsep-konsep pokok seperti:
1. Perilaku politik menunjukkan keteraturan yang dapat digeneralisasi.
2. Generalisasi ini harus dapat diverifikasi dengan perilaku relevan.
3. Teknik penelitian yang cermat diperlukan untuk mengumpulkan dan menafsirkan data.
4. Pengukuran dan kuantifikasi melalui statistik dan matematika penting untuk penelitian yang akurat.
5. Analisis politik sebaiknya bebas nilai pribadi peneliti (value free).
6. Penelitian politik terbuka terhadap konsep dan teori dari ilmu sosial lainnya, memperkenalkan istilah baru seperti sistem politik, budaya politik, dan sosialisasi politik.
Pendekatan perilaku juga mengembangkan analisis struktural-fungsional dan analisis sistem, yang melihat masyarakat secara keseluruhan (makro) dan menekankan hubungan erat antar unsur masyarakat yang cenderung mencapai keseimbangan. Setiap peranan dalam masyarakat, baik yang tersembunyi maupun yang nyata, mempengaruhi unsur-unsur lain dalam masyarakat. Pendekatan perilaku memberikan keuntungan dengan memungkinkan studi kegiatan dan struktur politik di berbagai negara dengan latar belakang sejarah, budaya, dan ideologi yang berbeda. Hal ini mempercepat kemajuan Ilmu Politik Perbandingan.
Namun, pendekatan ini menghadapi kritik dari pendukung pendekatan tradisional, seperti Erick Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowell. Mereka berargumen bahwa pendekatan perilaku terlalu bebas dari nilai dan tidak menjawab pertanyaan tentang sistem politik terbaik atau jenis masyarakat yang ideal. Selain itu, pendekatan perilaku dianggap tidak relevan dengan politik praktis dan mengabaikan masalah sosial yang ada.
Perbedaan antara kaum tradisionalis dan kaum behavioralis dapat dirumuskan sebagai berikut: