Mohon tunggu...
Samudra Eka Cipta
Samudra Eka Cipta Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Travel dan Jalan-Jalan

Jadikanlah Setiap Peristiwa Sebagai Guyonan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjaga Netralitas TNI dalam Berpolitik karena Berkaca dari Sejarah

23 November 2020   19:35 Diperbarui: 23 November 2020   19:38 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman disebut hanya menjalankan perintah Presiden Joko Widodo soal pembubaran FPI. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Pernyataan Pangdam Jaya Dudung Abdurachman terkait dengan isu ''pembubaran'' Organisasi Masyarakat Front Pembela Islam (FPI) beberapa waktu lalu. Pernyataan tersebut tentunya menghebohkan beberapa pihak terutama bagi para pengamat politik yang menganggap bahwa tindakannya adalah bentuk ''menyalahi'' demokrasi.

Hal tersebut senada dengan pernyataan Rocky Gerung dalam video yang berjudul Pernyataan 'Ambigu' Istana Tentang TNI dan Habib Rizieq yang diunggah oleh kanal youtube pribadinya Rocky Gerung Official pada (22/11) kemarin.

Dalam video yang berdurasi 26:44 tersebut, terutama pada menit ke 5:50-5:59 terkait dengan penurunan baliho Rizieq Shihab, ia mengaakan bahwa jika pihak militer (Pangdam Jaya) berinisiatif untuk mengambil tindakan terkait dengan soal baliho, seharusnya Pangdam Jaya harus mengambil keputusan berdasarkan 'arahan istana' selaku panglima tertinggi pada hierarki politik militer.

Kemudian ia kembali mempertegas pernyataanya pada menit ke-9:13 , yang menyatakan bahwa militer diperbolehkan untuk menilai atau mengevaluasi keadaan terutama terkait dengan 'politik sipil' namun militer tidak diperbolehkan untuk mengambil keputusan secara pihak terkait dengan penurunan baliho meskipun dengan dalih ''persatuan''.

Menurut asumsi pribadi penulis ysng sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Rocky Gerung dalam videonya tersebut juga rasanya jika TNI (sebagai institusi militer) seakan melakukan tindakan agresive pada kelompok FPI. Karena bagi penulis FPI bukan merupakan bagian dari kelompok 'paramiliter' atau kelompok sipil yang dipersenjatai.

Sejatinya, apa yang telah disampaikan oleh Rocky Gerung nampaknya ia mengutip pernyataan dari Panglima Jendral Soedirman terkait dengan 'Netralitas TNI' yang menyatakan bahwa kepentingan TNI ialah kepentingan diatas semua golongan bukan kepentingan politik praktis.

Namun, di sisi lain tindakan yang dilakukan oleh Pangdam Jaya Dudung Abdurachman kemudian mendapatkan respon positif mulai dari Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran dan sejumlah kelompok elemen masyarakat. Hal juga yang menjadi perhatian ialah pemberian sejumlah karangan bunga yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat yang disimpan di depan pintu gerbang area komplok Kodam Jaya Jakarta pada Senin (23/11).

Dilansir dari republika.co.id dengan judul artikel Sukses Copot Baliho, Kodam Jaya Dibanjiri Karangan Bunga pada hari ini (23/11), pemberian karangan bunga yang dilakukan oleh kelompok masyarakat terkait dengan tindakan Pangdam Jaya dalam mencopoti baliho yang dipasang oleh FPI dan para pendukung Rizieq Shihab yang dilakukan pada hari Jumat lalu (20/11).

Sebelumnya dikutip dari berbagai sumber terkait pernyataan yang disampaikan oleh Pangdam Jaya soal pencopotan baliho FPI, yang menilai bahwa FPI dinilai melanggar karena sebelumnya tidak membayar 'pajak retribusi' pemasangan baliho dan ukuran dari baliho yang dipasang dianggap menganggu karena mengandung unsur politis.

Namun, lagi-lagi menuai kritik dari kalangan pengamat politik karena soal pencopotan baliho tersebut merupakan ranah dan tugasnya Satpol PP bukan TNI yang seharusnya tetap pada profesionalitasnya.

Sesuai dengan judul artikel mari simak penjalasan mengenai keterlibatan TNI dalam politik praktis, dilihat dari kacamata sejarah seperti yang dikutip dari tirto.id dengan judul artikel Dalam Sejarah, TNI AD Tak Pernah Benar-Benar Netral Politik (pada 30/11/2018) yang ditulis oleh Petrik Matanasi.

Pada artikel tersebut keterlibatan militer dalam politik praktis dimulai dan dinisiasi oleh Panglima Jendral Abdul Haris Nasution yang mendirikan Partai Politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang didirikan bersama para perwira dan jendral yang sepaham dengan dirinya ketika ia 'dipecat' oleh Soekarno karena peristiwa 17 Oktober 1952 yang merupakan sebuah peristiwa dimana saat itu tentara melakukan demonstrasi langsung di depan gedung istana terkait dengan kepentingan politik sipil di Era Soekarno.

Dikutip dari sebuah buku karangan Ulf Sundhaussen (1983) diterbitkan oleh LP3ES yang berjudul Politik Militer Indonesia 1945-1967, menyebutkan poin penting bahwa Jendral Abdul Haris Nasution adalah penggagas konsep 'Dwi Fungsi ABRI' yaitu suatu gagasan yang memperbolehkan militer masuk ke dalam ranah politik praktis dari sipil.

Meskipun konsep ini baru diterapkan pada Masa Orde Baru dimana saat itu Soeharto menjalnkan kekuasaanya atas militer dengan menjadikan Golkar dan PP Pancasila sebagai alat untuk mencapai kekuasaanya. Karena Abdul Haris Nasution dianggap paling berjasa oleh Soeharto atas konsep tersebut maka di tahun 1997, ia diberikan gelar 'Jendral Bintang Lima' oleh Soeharto kala itu.

Tentunya, keterlibatan militer dalam perpolitikan sipil jika berkaca dari sejarah memiliki sisi positif dan negatif dari dampak yang dihasil. Dampak positif jika militer terlibat dalam perpolitikan salah satunya adalah negara dapat dijamin keamanannya karena menjadikan militer sebagai institusi terkuat apalagi jika ikut dalam politik.

Militer juga akan jauh lebih sigap jika terjadnya ancaman disintegrasi terutama dari pihak luar yang berusaha menjatuhkan posisi negara di dunia internasional

Sedangkan dampak negatifnya adalah tidak diberikannya akses separuh aau seluruhnya bagi kelompok oposisi dalam menyampaikan aspirasi dan kritikannya karena kecenderungan otoriterisme seperti yang terjadi masa Orde Baru dimana seluruh kelompok oposisi 'dihabisi' bahkan media pun menjadi korbannya, dimana saat itu media ketika hendak memberitakan persnya harus melalui persetujuan aau izin Departemen Penerangan yang didirikan oleh Presiden Soeharto saat itu.

Maka dari itu TNI sepatutnya menjaga netralitas dalam berpolitik dengan memberikan masukan-masukan terhadap kelompok oposisi seperti FPI, namun jangan bertindak sebelum mendapatkan arahan dari presiden.

Karena jika mengutip dari penryataan Jendral Soedirman tadi bahwa sejatinya TNI tetap berjiwa korsa terhadap bangsa dan negara sehingga situasi perpolitikan semakin adem ayem. Sekian.

Samudra Eka Cipta (23 November 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun