Mohon tunggu...
Samudra Eka Cipta
Samudra Eka Cipta Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Travel dan Jalan-Jalan

Jadikanlah Setiap Peristiwa Sebagai Guyonan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Kepribadian Abdul Haris Nasution

10 November 2020   18:08 Diperbarui: 10 November 2020   18:18 1896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari Martin Sitompul, Soeharto di Tengah Jendral (www.historia.id)

Pria kelahiran Kotanopan, 3 Desember 1918 dimasa awal karirnya sudah mulai masuk ke dalam dunia militer. Sejak Hindia Belanda membuka pendidikan militer untuk kalangan Bumiputera, lalu apa yang dikenal dengan K.N.I.L (Koninklijk Nederlands-Indische Leger), lantas Nasution pun mendaftarkan diri dan mendapatkan ilmu kemiliterannya di Bandung bersama dengan T.B. Simatupang. Selama mendapatkan pendidikan kemiliterannya, Nasution selalu aktif dan patuh kepada para atasannya. Hal tersebut juga menghantarkan Nasution untuk menjadi perwira menengah di K.N.I.L karena kepercayaan atasannya terhadap kinerja Nasution selama menjadi anggota K.N.I.L. Dimasa kependudukan Jepang, kala mendirikan PETA (Pembela Tanah Air) oleh Tentara Dai Nippon, status Nasution divakumkan dari dunia kemiliterannya. Nasution telah lama bersahabat dengan Sukarno ketika keduanya sedang berada di Bandung. Mereka selalu melakukan diskusi-diskusi yan berkenaan dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh Bangsa. Bagi Nasution, Sukarno adalah guru sekaligus pembentukan karakter Nasution muda. Nasution muda selalu membaca karya-karya Sukarno tentang gagasan nasionalismenya juga sering memaparkan kepada teman-temannya.

Pasca Kemerdekaan Indonesia, Nasution kembali aktif ke dunia militer dan bergabung ke TKR (Tentara Keamanan Rakjat). Pada tahun 1946 Nasution diangkat sebagai Pangdam Divisi III Siliwangi. Tugas terberat yang dialami oleh Nasution diawal masa jabatan sebagai Pangdam adalah untuk menghalau Operasi Polisionil Belanda (atau Agresi Militer Belanda I) kala Belanda yang diboncengi oleh NICA berusaha untuk mengusai daerah-daerah strategis di Bandung. Tugas lainnya yang dihadapi oleh Nasution adalah berusaha untuk meredam gerakan separatisme yang digagas oleh Raden Soerija Kertalegawa dalam pembentukan Negara Pasundan 1947-1949. Karier Nasution pada bidang militer semakin menanjak, ia diangkat sebagai Wakil Panglima TKR. Bersama Soedirman Nasution beserta pasukannya berusaha untuk menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948. Operasi yang dilancarkan Siliwangi, berhasil menewaskan Muso sementara tokoh PKI lain, termasuk DN Aidit, melarikan diri.

PASANG SURUT HUBUNGAN SOEKARNO-NASUTION

Meskipun Nasution telah berhubungan baik sebelumnya dengan Sukarno, tidak menutup kemungkinan hubungan persahabatan diantara keduanya kadang memburuk akan tetapi kadang pula membaik. Awal keteganggan antara Nasution dengan Soekarno ketika dalam sebuah peristiwa pada tanggal 17 Oktober 1952 satu batalyon yang dikerahkan oleh Nasution berlapis kaveleri baja dan mengarahkan sebuah meriam kearah depan istana. Aksi tersebut yang semula hanyalah 5000 orang kemudian bertambah menjadi 30.000 orang. Aksi yang dilakukan oleh Nasution bukan dimaksudkan untuk melakukan sebuah upaya kudeta terhadap Sukarno melainkan untuk membubarkan DPRS. Berawal dari mosi Manai Sophiaan, Sekretaris Jendral PNI yang mengusukan bahwa DPRS berhak untuk melakukan campur tangan dalam permasalahan internal ABRI dikutip dari sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Leni Nurhasanah (2013) dengan judul Keterlibatan militer dalam kancah politik di Indonesia. Kepada Presiden Soekarno, Kolonel AH Nasution menuntut untuk membubarkan DPRS. Menurut Nasution, DPRS terlalu campur tangan dalam masalah internal TNI, terutama pada urusan kepemimpinan dalam tubuh Angkatan Darat. Presiden menolak usulan Nasution. Alasannya, Presiden tidak punya wewenang membubarkan DPRS. Kendati dilakukanpun, Soekarno tak ingin menjadi diktator. Pertimbangan lain, massa yang menuntut pembubaran Parlemen, menurut presiden, hanya segelintir warga Jakarta dan tidak mewakili keseluruhan keinginan masyarakat.

Namun, seorang anak buah Nasution, Bambang Supeno menolak apa yang diusulkan oleh Manai Sophiaan juga mendesak agar Nasution segera diangkat menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Rupanya, usulan Manai Sophiaan mendapat dukungan luar biasa terutama dari NU, Parkindo, Partai Katolik, PKI, Parindra, dan Partai Buruh, serta Murba. Bahkan, Ignasius Kasimo mengusulkan terbentuknya gagasan counter motion pada Kementrian Pertahanan. Inti dari dukungan parlemen apa yang telah digagas oleh Manai Sophiaan adalah bertujuan untuk penyempurnaan struktur bidang kemiliteran serta mewujudkan upaya agar para jenderal-jenderal militer selalu patuh dan taat terhadap Sukarno. Nasution, pun tidak diam sontak langsung berdebat dengan Sukarno. Nasution masih bersikukuh bahwa sudah saatnya bagi tentara untuk terlibat dalammenetukan arah kebijakan negara. Baginya, tentara tidak hanya dibutuhkan ketika negara dalam situasi perang. Inilah benih-benih awal dari konsep Dwi Fungsi ABRI yang dicetuskan Nasution. Gagasan inilah (Dwi Fungsi ABRI) yang kemudian dijalankan di masa Orde Baru. Sukarno paham soal itu, tapi ia sudah terlanjur kecewa dengan cara Nasution. Pada Desember 1952, atas perintah presiden Jaksa Agung memeriksa Nasution dan TB Simatupang. Keduanya terbukti bersalah. Sejak itulah Nasution sudah tidak lagi menjadi militer dan statusnya di non-aktifkan. Pasca dipecatnnya Nasution sebagai KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) tahun 1952, Nasution kemudian mendirikan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Pancasila). IPKI bentukan Nasution menjadi peserta Pemilu 1955. Pembentukan IPKI oleh Nasution bnkan tanpa alasan melainkan dikarenakan upaya Soekanrno dalam menghilangkan pengaruh Militer pada kancah perpolitikan. Namun, hasil Pemilu 1955 suara IPKI masih nsangat jauh di bawah Masyumi, PNI, dnan PKI.

Hubungan mereka kemudian berangusr membaik ketika Soekarno mengingat apa yang telah dikorbankan Nasution bersama Pasukan Siliwanginya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Era Revolusi Fisik. Presiden kemudian mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mengangkat Nasution Sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Meskipun demikian jabatan Nasution sebagai Menteri Pertahanan memiliki arti lain untuk ''menendang ke atas'' apa yang dilakukan Sukarno terhadap Nasution. Tapi hubungan Soekarno-Nasution kembali memburuk ketika PKI mulai bermain penuh dalam gelanggang politik Indonesia. Nasution tidak menyukai hal ini karenanya ia mengambil jarak dengan Soekarno dan terus melakukan kritik. Puncaknya adalah pada tahun 1964 Nasution merangkul bekas koleganya dari Divisi Siliwangi untuk melancarkan sebuah operasi yang bertujuan untuk membebaskan pengaruh PKI di tubuh milier yang mana operasi tersebut dikenakl sebagai ''Operasi Budi'' (Sundhaussen. 1986. hlm. 290). Di sisi lain, Nasution juga berseberangan dengan Ahmad Yani karena dianggap terlalu dekat dengan Soekarno, meski mereka sama-sama anti PKI. Soekarno yang punya pengalaman buruk dengan Nasution, akhirnya "menyingkirkan" Nasution dengan menjadikannya sebagai Kepala Staf ABRI. Jabatan ini membuat Nasution seperti macan ompong, nampak garang tapi tak punya kekuatan karena ia tidak punya komando untuk menggerakkan pasukan dikutip dari tirto.id dengan artikel yang ditulis oleh Patrik Matanasi dalam judul Abdul Haris Nasution: Sejarah Hidup Penggagas Dwifungsi Tentara Nasution Dalam Gerakan ''30 September''.

NASUTION DAN MALAM 30 SEPTEMBER 

Seperti yang telah disunggung sebelumnya, bahwa Nasution sangat membenci PKI. Hal ini memicu reaksi keras PKI untuk melakukan sebuah penyerangan terhadap rumahnya. Sama halnya dengan jendral-jendral lainnya yang diserang, PKI melakukan sebuah cara dengan menggunakan sebuah pasukan yang sangat besar. Sekitar seratus orang yang terlibat dalam gerakan ini yang dibawahi oleh Untung. Kebetulan, rumah Nasution sangatlah berdekatan dengan rumah Dr. Johannes Leimena seorang loyalis Sukarno. Sempat terjadi perkelahian antara pasukan pimpinan Untung dengan para penjaga rumah Dr. J. Leimenna. Satu orang penjaga (anggota kepolisian) tewas setelah melakukan perkelahian dengan pasukan dibawah pipinan Untung tersebut. Tujuan dari penyerangan terhadap para penjaga rumah J. Leimenna agar ketika Nasution hendak kabur dari rumahnya tat kala diserbu oleh pasukan Untung, tidak ada seorang pun dari petugas penjaga rumah J. Leimena untuk melindungi Nasution dikutip dalam sebuah buku karangan Ben Anderson dengan judul buku Kudeta 1 Oktober 1965. Truk-truk tersebut hampir sebagian membawa hampir seluruhnya adalah Pasukan Cakrabirawa dan sebgaian dari Brigade Infanteri I dan Batalion 454, serta beberapa anggota dari Pemuda Rakyat mereka direkrut untuk menyergap rumah Nasution. Keluarga Nasution terbangun begitu mendengar suara pintu rumah dibuka. Ny. Nasution keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Pasukan tersebut kemudian berusaha mendobrak dan menggeledah untuk mencari Nasution. Mardiah adik Nasution berusaha untuk menyelamatkan kakaknya dan kebetulan pada saat itu juga Mardiah sedang menggendong Puteri Sulung Nasution Ade Irma Soerjani Nasution. Namun, tanpa belas kasihan kemudian seorang dari Cakrabirawa yang bernama Hargyono menembak Mardiah serta menewaskan Ade Irma Nasution. Disaat yang sama Ny. Nasution secara diam-diam membawa suaminya ke belakang halaman rumah untuk berlindung di sebuah rumah Kedubes Irak. Nasution sempat tertembak oleh pasukan Untung yang berjaga dari luar namun dikira pasukan tersebut hanyalah sebuah bayangan mengingat ketika kejadian pada malam hari hingga membuat kaki Nasution mengalami patah tulang. Karena tidak berhasil menangkap Nasution kemudian pasukan tersbut melarikan diri dan meninggalkan mayat Ade Irma yang penuh berlumuran darah.

Pasca peristiwa tersebut beberapa bulan kemudian di tahun 1966, Nasution meminta kepada Soekarno terkait dengan Gerakan 30 September. Sebelumnya, Nasution telah diangkat oleh Sukarno sebagai mandataris MPRS juga sebagai hasil reaksi dari apa yang dituntut oleh mahasiswa melalui ''Tritura''nya, Soekarno langsung membentuk kabinet baru pada tanggal 25 Juli 1965 dengan membentuk Kabinet 'Ampera'' I. Sukarno pasca tahun 1965 seakan mulai kehilangan pengaruhnya, banyak menteri-menteri di Kabinet Dwikorra yang terindikasi ''PKI'' kemudian ditangkap. Salah satunya adalah Soebandrio seorang Menteri Hubungan Luar Negeri. Akan tetapi hal yang paling mengejutkan pasca perisiwa ''Gerakan 30 September'' adalah penangkapan Marsekal Madya Angkatan Udara Omar Dani dikalangan pejabat militer. Bagi Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando Strategis Angkatan Darat) penangkapan Omar Dani karena Halim (markas Angkatan Udara Republik Indonesia)) telah dijadikan sebagai markas gerakan makar yang doilakukan oleh PKI. Meskipun demikian, sebenarnya Nasution tidak tahu menahu soal penangkapan menteri dan pejabat militer yang dilakukan oleh Soeharto. Karena sejatinya, jabatan Nasution sewaktu ''Gerakan 30 September'' menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan tidak memegang otoritas atas penangkapan tersebut. Pada ttanggal 10 Januari 1967 diakhir jabatannya sebagai presiden Sukarno membacakan sebuah laporan tertulis yang berisikan pledoi atas dirinya terhadap keterlibatannya pada ''Gerakan 30 September 1965'' dihadapan sidang MPRS (Majelis Permusyawaratan Sementara), laoran tersebut kemudian dikenal dengan Pelengkap Nawaksara, Akan tetspi apa yang dibacakan oleh Soekarnokemudian ditentang keras oleh Nasution berserta tokoh ''Anti-Sukarno'' dan sontak Nasution sebagai Mandataris MPRS langsung mencopot Sukarno sebagai presiden seumur hidup dan menggantikan Soeharto sebagai Presdien Indonesia saat itu seperti yang dikutip dalam bukunya Ulf Sundhaussen (1987) dengan judul Politik Militer Indnesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.

NASUTION DIMASA ORDE BARU

Suharto mulai berkuasa, lantas pengaruh dari Nasution sudah mulai dilupakan. Secara perlahan Nasution mulai disingkirkan dari dunia kemiliteran. Kehadiran Jendral Djuhartono, dan Ali Moertopo sebagai ''kaki tangan'' Suharto memperparah karir Nasution di bidang militer. Hingga pada akhirnya Nasution dipensiunkan secara tidak hormat dari TNI. Tidak seperti masa Soekarno yang selalu bersikeras ketika dirinya diusik. Namun, dimasa Orde Baru ketika dirinya merasa diancam karier ke-militerannya Nasution tetap berjuang meskipun pengaruh jendral-jendral ''pembantu'' Soeharto jauh lebih kuat ketimbang dirinya. Pada tahun 1971 di masa awal Pemerintahan Soeharto Jendral Djuhartono yang merupakan jendral ke-setiaanya Soeharto membentuk Sekrtariatan Bersaama Golongan Karya (sebelum menjadi partai politik). Tujuan dari pembentukan Sekber Golkar yakni upaya untuk mendukung segala macam kebijakan Soeharto. Disaat yang bersamaan Soeharto melakukan sebuah kebijakan yang mana partai-partai politik harus difusikan. Bagi Soeharto sebagaimana dikutip oleh Jusuf Wanandi dalam sebuah buku yang berjudul Menyibak Tabir Orde Baru, pada buku tersebut dijelaskan mengenai pembentukan Golkar selain untuk penguatan konsolidasi kekuatan Orde Baru antara Soeharto-Militer-Pegawai Negeri Sipil, Golkar dibentuk guna menghentikan berbagai macam perpecahan diantara masing-masing partai politik terkait dengan ideologi dan orientasi partai politik. Terlebih saat peristiwa September 1965 Soeharto tahu betul agar peristiwa tersebut tidak diulangi kembali maka dengan pembatasan jumlah partai politik dan partisipan politik dapat menjaga stabilitas keamaan saat itu. Akan tetapi, pembentukan Sekber Golkar pada kenyataanya memiliki tugas dan fungsi layaknya partai politik. Diawal pemmbentukannya Golkar banyak sekali ditentang terutama dari kalangan para perwira militer angkatan'45.

Bagi para oposisi terutama mantan-mantan perwira angkatan'45 Sekber Golkar telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam hal politik. Pada tanggal 5 Mei 1980 para perwira angkatan'45 membuat sebuah petisi yang berisikan tentang kritikan terhadap kebijakan Soeharto yang mana Nasution ikut terlibat di dalamnya. Petisi itu dikenal dengan ''Petisi 50'' bukan hanya saja Nasution tapi nama-nama lain yang ikut terlibat pada petisi tersebut yakni: Ali Sadikin, M. Jasin, Hoegeng Imam Santoso, A.Y. Mokoginta, dan Mohammad Nazir. Para jendral lain yang ikut dan terlibat pada penandatangan tersebut memiliki motif lain yakni tidak semua perwira Angkatan'45 yang juga ikut memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia di masa Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 1945-1950 bisa menjadi anggota elit politik apalagi masuk dalam "kelompok inti". Semakin lama banyak perwira ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) maupun politikus sipil menjadi kecewa dengan rezim Soeharto, karena semua jabatan politik penting dimonopoli oleh orang dekat secara pribadi dengan Presiden. Para jenderal yang kurang puas sering dijuluki "Barisan Sakit hati". Diantara mereka mungkin iri hati karena merasa lebih berjasa daripada sebagaian anggota "kelompok inti" itu, atau belum mendapat imbalan materi yang diharapkan (Jenkins, David. 2010. hlm. 250). Melihat pembangkangan yang dilakukan oleh para perwira jendral, Soeharto lantas melakukan pendekatan-pendekatan kepada para perwira tersebut. Mulai dari diberikan peringatan bahkan dilakukannya penangkapan dan pemecetan dari ABRI seperti yang dirasakan oleh Jendral TNI Pranoto Reksosamodra ditangkap oleh Soeharto dan Nasution diberhentikan secara tidak hormat dari ABRI. Selain itu, pasca Penandatangan Petisi tersebut Nasution kerap mendapatkan perlakukan yang tidak mengenakan oleh para ajudan pribadi Soeharto. Hal tersebut dirasakan oleh Nasution ketika hendak menyolatkan jenazah Adam Malik, Nasution ditarik keluar dari ruangan dengan alasan Mantan Wakil Presiden Umar Wirahadikusuma akan menyolatkan jenazah Adam Malik. Bukan hanya itu saja tindakan kurang mengenakan yang dirasakan oleh Nasution berbuntut pada pemutusan saluran air ke rumahnya secara sepihak hingga memaksakan untuk membuat sumur sendiri guna mendapatkan air. Meskipun demikian, Jendral Nasution bukan sosok yang pendendam beliau sangat gigih dalam menghadapi segala bentuk cobaan mennjelang akhir hayatnya. Nasution sebagai seorang pensiunan sebagai perwira militer, di masa akhirnya ia mendirikan sebuah organisasi kepemudaan yakni ''Pemuda Pancasila'', tujuan dari dibentuknya organisasi Pemuda Pancasila pada mulanya dibangun demi meningkatkan rasa nasionalisme serta cinta tanah air.

Selama hidupnya Nasution terus mengalami berbagai cobaan sebagai ''Korban Politik'' dimulai dari masa Sukarno ketika pasca Peristiwa Oktober 1952 namun Nasution atas desakan Muhammad Hatta meminta kepada Sukarno agar Nasution segera kembali menjabat sebagai KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Alhasil upaya yang dilakukan oleh Hatta pun berhasil, Nasution kemudian diangkat oleh Sukarno menjadi Mentri Pertahanan. Lantas, Nasution yang semulanya sangat kontra terhadap Sukarno kemudian mendukung sepenuhnya Kebijaan Sukarno di masa Demokrasi Terpemimpin. Terdapat maksud lain dari pengangkatan Nasution oleh Sukarno menjadi Menteri Pertahannan yakni Sukarnno ingin ''menendang ke atas'' Nasution agar tidak macam-macam terhadap apa yang dilakukan oleh Sukannrno. Hal tersebut terbuktii ketika Peristiwa G30 S (Gerakan 30 September) yang mana terjadi konflik antara Angkatan Darat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), Nasution yang kala itu sudah menjabat Menteri Pertahanan tidak bisa melakukan apa-apa atas peristiwa tersebut. Malah, Sukarno menugaskan Suharto yang saat itu sebagai Pangkostrad (Panglima Komando Strategis Angkatan Darat) tanpa memberitahukan atau menugaskan Nasution langsung dalam menangani atas peristiwa makar yang dilakukan oleh Parrtai Komunis Indonesia.

Kekejaman politik yang dirasakan oleh Nasution berlanjut hingga masa Orde Baru. Nasution tidak disukai oleh Suharto karena Nasution dianggap oleh Suharto sebagai dalang atas ''Penandatangan Petisi 50'' yang sebenarnya itu hanya bentuk kritikan Nasution atas kinerja Suharto sebagai presiden saat itu. Akan tetapi, respon Suharto menganggapnya itu adalah gerakan makar atau kudeta untuk mnenjatuhkan dirinya sebagai presiden. Akibatnya, Nasution diberhentikan dari Angkatan Darat secara idak hormat oleh Suharto. Bukan hanya itu saja sebagai konsekuensi apa yang dilakukannya kepada Suharto, bahkan Nasution tidak mendapatkan apapun baik fasilitas nnegara bahkan tunjangan. Meskipun demikian Nasution merupakan sosok yang sabar meskipun kekejaman politik terus menimpa dirinya dari masa Sukarno hingga Masa Suharto.

Samudra Eka Cipta (10 November 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun