Matahari condong ke barat ketika aku menginjakkan kaki di pantai. Seperti biasa aku selalu sengaja datang pada saat sore hari, agar tidak melewatkan panorama indah kala matahari merunduk bergegas kembali ke peraduannya di ujung langit sebelah barat.Â
Kususuri pantai berpasir putih itu seorang diri sembari menerawang jauh, memandang cakrawala yang tampak memayungi semesta.Â
Sesekali bunyi ombak yang memecah di bibir pantai menyadarkanku dari lamunan. Sembari berjalan dengan langkah yang begitu pelan, mataku tak jemu menyaksikan daun-daun kelapa yang menari-nari tertiup angin senja.Â
Sementara itu semesta melantunkan kidungnya yang merdu oleh sekawanan burung yang tengah terbang melintasi awan yang perlahan mulai gelap itu.Â
Sejenak aku berpikir, "cinta itu ibarat angin, hanya bisa dirasakan tapi tidak dapat dilihat. Angin dan cinta sama-sama tidak berwujud, namun keduanya sama-sama mampu memberikan rasa entah kepada siapa".Â
Ku biarkan kaki melangkah kemana suka, hingga tanpa kusadari ternyata aku telah berjalan cukup jauh. Ahhhh sebentar lagi malam akan tiba, segera saja kuayunkan langkah hendak kembali ke tempat semula..
Saat aku berpaling, kudapati seorang gadis tengah duduk santai pada sebatang kayu yang terletak di pesisir pantai. Sejenak ku perhatikan gadis itu, tampaknya ia tengah memikirkan sesuatu.Â
Dipandanginya laut yang perkasa dengan tatapan kosong. Sesekali ia mengambil pasir di bawah kakinya lalu melemparkannya ke laut.
 Sementara itu hari sudah mulai gelap, matahari dengan perlahan namun pasti mulai beranjak meninggalkan semesta. Air laut yang tadinya berwarna biru kini berubah kemerah-merahan.Â
Kupandang gadis itu kembali, rupanya ia gemar menyendiri. Sejenak terlintas dalam pikiranku, aku harus menemui gadis itu. Tidak baik seorang gadis berlama-lama seorang diri apalagi sampai jam begini.Â
Aku kembali mengingat sebuah berita yang pernah kubaca dua hari lalu. Seorang gadis remaja kuliahan ditemukan tergeletak tak bernyawa oleh para nelayan di daerah seberang. Mayat sang gadis tergeletak begitu saja di pesisir pantai dengan pakaiannya yang tersobek-sobek.Â
Sampai saat ini penyebab kematiannya belum diketahui secara pasti. Namun demikian, banyak orang berasumsi bahwa gadis itu adalah korban kasus pemerkosaan, kemungkinan besar setelah diperkosa ia langsung dibunuh.Â
Mengingat berita nas itu lantas kuberanikan diri untuk menemui sang gadis. Sementara aku berjalan ke arahnya, aku tetap memperhatikannya. Pandangannya tidak berubah dari tadi, ia terus memandangi laut yang kini kemerah-merahan itu.
"Hai, selamat sore" sapaku. Ia tak menoleh.
"Hai, selamat sore" sembari melambaikan tangan di depan matanya. Sontak ia kaget dan memandangku.
 "Selamat sore" aku kembali menyapanya.
"Selamat sore juga" akhirnya ia membuka suara. Wajahnya terlihat bingung, barangkali bingung dengan kehadiranku.
"Nona dengan siapa ke sini? Lihat hari telah mulai gelap. Tidaklah baik untuk seorang gadis sepertimu berada sendirian di tempat seperti ini" imbuhku padanya.
"Aku kesini sendirian, lagian kamu itu siapa, main nasihat-nasihat orang segala" ketus sang gadis. Betapa hebatnya perasaan malu menyerang diriku saat itu, dan aku pun menyesal telah menghampirinya.Â
Gadis itu berambut panjang dan berwajah cantik, tapi sayang ucapannya tidak secantik parasnya. Ku lihat dia beranjak dan melangkah ke tempat parkir. Ia melangkah dengan membawa serta sedikit kekesalan di dalam hatinya.
Sepeninggalan sang gadis, aku pun bersumpah untuk takan pernah lagi menunjukkan sikap peduli kepada siapa yang tidak aku kenal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H