Pesta Hari Fiksi Kompasiana yang digelar tanggal empat Maret jam sembilan malam sampai dengan tanggal kima Maret jam sembilan pagi usailah sudah. Selayaknya sebuah pesta yang berhasil, Hari Fiksi Kompasiana memotret banyak kenangan yang menyenangkan; sahabat-sahabat yang saling bergandengan tangan sembari menari-nari di diksi dan puisi, tawa sapa dan komen mulai dari hahahaha, wakakakaka sampai kepada menanyakan masa depan dan berita cinta (ehm *sambil melirik kepada seorang perempuan dan seorang lelaki), HL yang akhirnya diganti dan semua kegilaan ala Mr. Plankton* yang menguasai ranah fiksi di Kompasiana. Tapi, yang paling keren dari semua hal keren yang dilakukan oleh kami, para pecinta fiksi yang keren-keren ini adalah: banyaknya karya fiksi yang menggenangi Kompasiana selama kurun waktu pesta yang cerah ceria tersebut. Saya sampai berhari-hari mabok membaca tulisan-tulisan para pelayar kanal fiksi. Berpuluh-puluh tulisan, seperti maling, berhasil mencuri pandangan mata dan cinta dari hati saya. Karena beberapa sudah diulas oleh kawan-kawan, maka saya pilih saja fiksi yang menurut saya unik, dan tentunya menarik.
.
Fiksi pendek yang bukan Flash fiction ini dibuka dengan kalimat -Â Sore tadi, matahari ditemukan mati. Metafora yang dipilih oleh penulis yang menamakannya dirinya lelakibudiman ini seketika mencengkram rasa ingin tahu saya. Matahari yang mati? Bagaimana bisa? Bagaimana caranya? Apakah ia dibunuh?
Seperti mengerti akibat yang ditimbulkan oleh kalimat pembukaannya, si penulis memberikan deskripsi keadaan Si Matahari setelah dia ditemukan mati. Kepalanya terpenggal, lidahnya menjulur keluar - tulisnya. Ah, di kalimat keduanya, penulis telah berhasil sepenuhnya memerangkap minatku untuk mencintai tulisan yang diksinya, meski tidak berima dan tidak disusun dalam standarisasi bait-bait sebuah syair, adalah sangat puitis bagi saya.
Karena bukan seorang sastrawati atau kritikus, saya tidak tahu sebenarnya genre tulisan 'Pelarian Malam Di Suatu Malam' itu termasuk prosa atau puisi. Kalau dibilang prosa liris, kalimat-kalimat yang dipilih juga tidak terlampau bersayap, meski ia kaya dalam pemakaian majas konfiguratif. Pemilihan kata-kata yang efektif disajikan dalam rangkaian kalimat yang pendek-pendek justru menambah kesan kuat dan gelap dalam tulisan yang bertema surealis ini. Tokoh aku, yang dihadirkan pada paragraf keempat atau kedua terakhir, adalah kejutan yang berhasil disimpan dengan baik dan dikeluarkan pada saat yang tepat. Penulis menghubungkan kematian matahari dan pelarian malam dengan kegalauan yang secara halus tersirat dalam penutupan fiksi yang diakhiri dengan sepotong tanda tanya.
Secara keseluruhan, tulisan ini adalah karya yang sungguh memesona. Untuk menikmatinya, pembaca memang harus jeli menangkap esensi personal yang dikisahkan si penulis lewat perumpamaan kematian matahari dan malam yang menjadi buronan. Kelemahan dari tulisan pendek ini, dari yang saya tangkap adalah pengetikan  yang kurang hati-hati dan penyingkatan beberapa kata yang jadi terasa mengganggu kenyamanan membaca. Saya tidak tahu apakah ini sengaja dilakukan penulis atau hanya sebatas kebiasaan mengetik dengan singkatan semata.
Ah, siapa bilang karya yang bagus mestilah sepotong tulisan panjang-panjang dengan diksi yang berbunga-bunga atau cerita yang mengangkat kritik sosial, cinta dan dongeng yang imajinatif? Pelarian Malam Di Suatu Malam ini, menyajikan pilihan cerdas akan tulisan yang meski pendek, bisa saja disajikan dengan apik dan memperkaya khasanah bacaan kita di Kompasiana.
*****
[mencoba membuat ulasan. itu saja]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H