Mohon tunggu...
Samintang
Samintang Mohon Tunggu... Penulis - Try to be useful person for many people. Get success and don't forget to succeed others.

Accounting Department Unhas '19 | Coordinator of Edutainment Division SCI | SGDs Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Good Bule Vs Bad Bule

10 Agustus 2019   21:12 Diperbarui: 10 Agustus 2019   21:17 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bule, sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Berkulit putih, mata biru, postur tubuh tinggi, dan berambut pirang merupakan ciri-ciri fisik dari Bule. Hampir tiap orang akan merasakan excited saat pertama kali melihat salah satu keindahan yang Tuhan ciptakan tersebut, secara fisik.

Menurut Wikipedia, Bule (Dibaca bu-le) berasal dari kata Boulevard. orang-orang dahulu pada jaman kolonial, untuk mempermudah komunikasi dengan sesama dalam menyebut orang-orang Eropa yang berkulit putih, mereka menggunakan kata bule karena untuk mempermudah mereka merujuk pada orang-orang Eropa yang pada saat itu tinggalnya di Boulevard. Jadi sebutan bule itu merujuk pada orang-orang eropa, yang tinggal di boulevard di indonesia pada jaman dahulu.

Berkawan dengan bule baik di dunia nyata atau di dunia maya tentu berkonsekuensi. Sisi negatif dan positifnya tentu ada, tergantung perspektif masing-masing. Asalkan pandai dalam memilah dan memposisikan diri, all is well.

Sudah hampir tiga tahun, saya memiliki banyak relasi dari berbagai negara. Meskipun sebagian besar dari dunia maya. Hanya sepersekian persen yang saya temui di dunia nyata.

Berkawan dengan foreigner memiliki sisi menarik tersendiri. Banyak hal yang dapat dipelajari. Terutama budaya, bahasa, ideologi, dan karakter khas mereka. 

Namun kehati-hatian tetap dinomorsatukan. Tidak semua bule itu benar-benar baik. Apalagi di Online Chatting, sebahagian besar hanya bertujuan untuk mencari pasangan hidup dengan cara yang tidak semestinya. Menipu daya kaum hawa dengan mengimingi sebuah pernikahan dan diajak jalan-jalan ke luar negeri. Luar biasa.

Cara membedakan antara Bule yang benar-benar baik dan tidak sebenarnya cukup simple. Apalagi jika bertemu secara langsung. 

Pertama: Tanyakan personalnya secara umum. Jangan terlalu detail, it's privacy. Coba biarkan dia terbuka untuk bercerita. Baik tentang dari negara mana dia berasal ataupun pekerjaannya.

Menanyakan soal agama harap dikondisikan saja. Kalau dia berasal dari negara Non-Muslim, jangan langsung menangkis pertanyaan yang berbau kepercayaan. Biasa mereka merasa tidak nyaman dan cenderung menyebabkan perdebatan saja. Be humble saja.

Kedua: Perhatikan tata kramanya dalam berkomunikasi, baik langsung maupun tidak langsung. Jika dia hampir tiap hari menelfonmu atau spam chat, percayalah. Itu adalah gejala awal PDKT ala Bule.

Sejatinya, bule baik yang menaruh rasa suka tetap menjunjung tinggi privasi, kenyamanan dalam berkomunikasi, dan tetap respect. Bukan malah mengirim pesan bertubi-tubi dengan cara kuno nan praktis. Hatimu bersih, bukan kaleng-kaleng. Jangan mudah ditipu. 

Ketiga: Dia berani datang ke Indonesia lebih dari dua kali dan biaya pribadi? Okay, dia patut dipertimbangkan. Well, beberapa kawan saya yang menikah dengan Bule mengatakan hal demikian. Kalau mereka serius, benua dan samudera akan siap ditakhlukkannya. Tapi jangan langsung percaya juga. Bule juga bisa bosan.

Keempat: Hati-hati dengan foto sendiri. Di dalam group International Friends atau dalam bentuk Online Dating, foto sendiri bisa menjadi boomerang. Foto yang nampak cantik, anggun, merona, atau menawan tentu akan menjadi serbuan.

Jangan heran jikalau kata "Dear", "Honey', "Sweety", "Hi beautiful", dan pujian basi lainnya akan beruntut masuk satu per satu. Bahkan parahnya dan saking agresifnya, voice dan video call kerapkali mereka lakukan. Waspadalah.

Kelima: Antisipasi Grammar Nazi. Beberapa bule (Tapi persentasenya sedikit), seringkali mengoreksi segala kecacatan bahasa Inggris yang digunakan. Syukur kalau dikoreksi baik-baik.

Kadangkala, mereka cenderung angkuh dengan skills berbahasa Inggris mereka dan cenderung memandang kecil orang-orang yang dimana bahasa Inggris bukan sebagai The First Language. Grammar Nazi yang selalu mengoreksi tiap-tiap kesalahan juga tidak menyenangkan jika dalam tempo yang intens. Rasa minder dan malu pun makin besar jadinya.

Apalagi kalau kita masih beginner dalam berbahasa Inggris. Terkecuali Anda kebal dengan kritikan dalam berbagai bentuk, mungkin aman-aman saja. 

Keenam: Berkawanlah dengan yang lebih tua. Tua dalam artian sekitar 5-10 tahun dari umur Anda. Mengapa? Sebagian besar Bule yang berumur produktif (Sekitar 20-an ke atas) tujuannya hanya untuk mencari pasangan, sebagian menipu, dan berleha-leha saja. Terkecuali kalau Anda juga dalam fase mencari tulang rusuk.

Tapi kalau tujuannya untuk memperbanyak relasi dan improve your English, usahakan untuk berkawan dengan yang lebih tua. Kalau bisa, carilah yang berprofesi sebagai guru, advisor, dosen, dan sebagainya.

Saya punya teman yang sudah punya istri dan empat orang anak bernama Leon dari Meksiko. Dia baik, senang berbagi cerita tentang keluarganya terutama anak terakhirnya, Teddy with his puppy. Ada pula Carlos dari Venezuela yang saat ini tinggal di Chile.

Dia sering mempublikasikan kegiatannya kepada saya baik saat ia ke kantor, travelling, dan bahkan bercerita tentang kesedihannya dalam menjalani LDR dengan pacarnya yang saat ini ada di Columbia. Ada pula Mr. Hasan yang senang mengajari saya berbahasa Turki. Carlos pun sempat mengajari saya berbahasa Spanyol tahun lalu.

Di sisi lain, ada pula Ahmet dari Ankara yang senang berbagi tentang kebudayaan Turki. Ada pula Lamia Barakat dan Elshaimaa yang easy going untuk berbagi pengalaman saat menjadi awardee of Fulbright Scholarship sebagai Teaching Assistant di universitas ternama USA. Dan lain lain yang tak dapat saya tulis satu per satu.

Ketujuh: Bule pengungsi sebagian besar baik dan friendly. Selama menjadi mahasiswa baru di Makassar, saya hampir tiap hari berjumpa dengan Bule. Ada yang berasal dari Afrika, Afghanistan, Australia, dan banyak lagi. Mereka pengungsi karena banyak faktor. Beberapa di antaranya menikah dengan orang lokal di sini.

Di sore hari, mereka berolahraga dengan lari ataupun bermain volley. Salah satunya, Mr. Yahya yang merupakan teman baru saya yang berasal dari Afghanistan. Dia senang berbagi pengalamannya. Ia sempat ke Kalimantan sebelum ke Makassar.

Saking baiknya, dia mengajak saya dan dua teman saya untuk menonton di bioskop dan dia yang akan mentraktir. Tapi karena ada kesibukan, jadi rencana itu terpaksa dibatalkan. 

Semoga bermanfaat. Khususnya bagi yang berada dalam fase mencari suami atau kekasih Bule. Jika tidak ketemu juga, mari kita bersama mencintai produk lokal Indonesia saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun