Mohon tunggu...
SAMSUTO
SAMSUTO Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Menulis menjadikan diri kita hidup "abadi", menulis membuat ide terus berkembang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepercayaan Tanpa Batas yang Berbuah Perkara #Part I

4 Agustus 2022   19:34 Diperbarui: 4 Agustus 2022   19:47 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bingung" adalah yang aku alami saat ini, semenjak kepergian bapakku, aku mendapatkan PR yang harus segera diselesaikan. Mulai dari mengurus hutang hutangnya juga mengurus orang yang berhutang kepadanya. 

Setelah meninggalnya beberapa orang bergantian datang dan pergi memberitahukan bahwa ada hutang bapak pada mereka. Dan juga catatan-catatan hutang orang sama bapak, yang hanya tertulis jumlah dan nama saja, tapi aku tidak tahu mereka tinggal di mana dan nomer Hpnya berapa. Serta tanah peninggalan bapak yang  hari ini bermasalah karena dikuasai oleh temannya yang dipercaya.

"Coba Ndu, urus tanah bapakmu itu, barangkali bisa kita jual untuk melunasi hutang bapakmu".ungkap ibuku berkali-kali."itu adalah hak kita Ndu, itu adalah perjuangan bapakmu ketika membeli tanah itu".

"Tapi Bu, harus ke mana kita mengurus, kalau pakai pengacara tentu mahal sekali dan saya nggak tahu dan takut untuk mengatakan itu"Jelasku pelan."sebenarnya cerita yang sebenarnya bagaimana sih Bu".

"Dulu suami istri itu tinggal bersama ibu dan bapakmu, mereka ngontrak di rumah kita dulu di Semper, karena berasal dari satu daerah aku dan bapakmu menganggap mereka seperti keluarga sendiri, sehingga terkadang bapakmu ngasih pekerjaan sama dia" Ungkap ibuku perlahan mulai cerita." 

Hingga bapakmu membeli tanah Empang di tempat itu sekitar tahun 1991. di tahun itu, karena tanah itu belum diurus, sehingga kadang-kadang banyak orang buang sampah disana, sehingga menjadi terkesan sangat kumuh. 

Rencana mau membangun cuma masih nunggu uangnya bisa terkumpul dulu, sampai tahun 1992 teman bapakmu itu datang untuk meminjam tanah itu, alasannya mau dibangun rumah kontrakan dari kayu dengan komitmen hasil dari kontrakan itu nanti akan dibagi dua". Tampak ibuku menarik nafas pelan, menunjukkan betapa kecewanya sama sahabat bapakku.

"Tapi, setelah bangunan jadi malah dia nggak mau ngasih bagian kontrakan bapakmu. Dia minta supaya dirubah bukan bagi hasil tapi dengan membayar sewa tanah aja sebesar Rp. 500.000 setiap tahun, dan seperti biasa, bapakmu manut aja" jelas ibuku dengan nada mulai meninggi." Dan pembayaran itu sampai 2007, setelah itu dia mengingkari bahwa dia mengontrak tanah tersebut. Tapi sebenarnya dialah yang punya. Itulah pengakuannya".

"Kenapa bapak diam saja Bu?" Tanyaku dengan nada kesal.

"Bapakmu pernah marah, dan sebagian kontrakan dari kayu itu dirobohkan oleh Bapakmu, tapi dia bilang ke ibu nggak tega kalau mau harus mengusir temannya itu. Jadi dibiarkan separo untuk ditempati. Dan lama-kelamaan dibangun lagi yang dirobohkan tadi. Bapakmu pun emosi dan sempat memarahinya, tapi lagi-lagi sebatas memarahi saja tidak mau mengambil tindakan lebih karena alasannya tidak tega karena bagaimanapun dia adalah temannya" Jelas ibuku.

Aku berpikiran ingin sekali ketemu sahabat bapak itu, yang selama ini aku hanya kenal sebatas melihat wajahnya apabila main ke rumah. Dan aku tidak menyangka bahwa dia akan sejahat itu. Aku sampaikan keinginan untuk mengadakan mediasi supaya lebih jelas seperti apa keinginannya dan kedudukan keluarga kami di tanah itu. Ibu hanya mengiyakan saja, maka aku panggil bapak itu untuk datang ke rumahku.

*********

Pertemuan pun tiba, sahabat bapakku datang bersama temannya, aku pun mendatangkan toko masyarakat yang kami anggap paham, sekaligus RT ditempat kami. Setelah sapa menyapa basa-basi aku pun mulai menyampaikan maksud pertemuan ini. Aku yang tidak pernah memimpin acara terasa banget kaku sekali, dan masih sedikit bergetar suaraku. Aku dipaksa untuk berdiri di tempat yang aku sendiri belum paham dan mengerti untuk melakukannya. 

Kawan, apakah pernah kau di posisi seperti ini..?  

"Pak boleh saya tahu, Apa alasan bapak sehingga mengakui tanah dan rumah itu milik bapak?tanyaku pelan nyaris tidak terdengar.

"Saya punya bukti pembayaran PBB dek dan saya punya bukti surat jual beli" Pungkasnya dengan suara lebih keras, sehingga terasa lebih menguasai keadaan. Tangannya menyodorkan fotocopy yang sudah lusuh yang sudah tidak terbaca lagi."Dan kamu harus tahu dek, sayalah yang seharusnya pemilik sah tanah dan bangunan itu".

" Bolehkah kami lihat aslinya Pak?"suaraku masih terdengar gemetar. Kami adalah Tiga bersaudara dengan adik-adik yang juga perempuan. Semenjak di tinggal bapak, tidak ada laki-laki dirumah kami, sehingga terasa sekali kami kehilangan pembela dikeluarga kami.

" Kalau dilihatkan aslinya, kamu mau angkat kaki Dek? Tanya teman bapak itu dengan suara lebih meninggi. Membuat tekanan semakin terasa. Nafasku terasa makin sesak mau nangis, Ibuku yang memang pendiam lebih memilih diam sambil mengusap airmatanya. Terlihat sekali seperti kehilangan daya dan putus asa.

BERSAMBUNG.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun