Menunggu hari pergelaran sendratari Ramayana yang diusung Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan sungguh sangat mendebarkan. Bagaimana tidak, sendratari ramayana dengan judul 'Subali Moksa' merupakan kebanggaan yang tak terkira karena terpilih sebagai salah satu dari 8 kota yang akan tampil di panggung besar Candi Prambanan Solo persis saat bulan purnama mewarnai pelataran kota Ngajogyakarta di Jawa Tengah. Sendratari Ramayana ini menggunakan seni pertunjukan untuk menyampaikan cerita dengan kombinasi yang indah dari seni panggung, drama dan tari. Para seniman memberikan karya yang terbaik selama acara berlangsung untuk menyajikan penggalan dari kehidupan Rama yang ditampilkan dengan indah. Sebagai orang awam dalam seni koreografi tari, sempat juga kehilangan momen saat menikmati babakan sendratari ini karena belum membaca sinopsis. Untung kegemaran membaca pada koran 'Merdeka' yang jaman masih sekolah memuat cerita bersambung kehidupan Ramayana menjadi ilustrasi yang mendukung imajiku mengikuti secara serius tampilan pergelaran ini. Malam itu, Selasa (9/10/12) masyarakat pecinta seni sudah berkumpul dengan posisi melingkar di panggung terbuka halaman Taman Budaya Provinsi Kalsel. Penataan lampu yang seadanya dan hanya memiliki satu zoomlamp di depan panggung cukup membuat suasana redup seperti keindahan purnama di pelataran Candi Prambanan. Cerita 'Subali Moksa' adalah penggalan kehidupan cerita Ramayana, terutama mengenai Rama yang merupakan seorang Raja Hindu legendaris dan juga bisa dikatakan sebagai inkarnasi dewa. Secara singkat sinopsis cerita digambarkan bahwa Subali adalah seorang yang suci dan telah mengambil Dewi Tara, wanita kesayangan Sugriwa. Setelah dipaksa, akhirnya Rama memutuskan untuk membantu Sugriwa. Pada saat Subali, Dewi Tara dan anak lelakinya sedang berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah Sugriwa dan langsung menyerang Subali. Sugriwa yang dibantu oleh Rama akhirnya mampu mengalahkan Subali. Sugriwa berhasil merebut kembali Dewi Tara. Pergelaran dibuka dengan kelompok wanara yang sedang ribut mengiringi perkelahian Subali dan Sugriwa dalam memperebutkan Dewi Tara. Tampilan awal yang belum membangun imej penonton karena tidak dinarasikan oleh pemusik dalam lagu khas 'wayang gung' sehingga harus memahami benar terlebih dahulu lokasi dan suasana yang disajikan dari latar tarian ini.
Selanjutnya disuguhkan babakan perkelahian antara Subali dan Sugriwa disaksikan Dewi Tara yang dimenangkan oleh Subali. Gerakan cantik dari Subali dan Sugriwa sangat menonjolkan khas hentakan wayang gung sehingga memiliki daya pembeda yang dapat dijadikan karakteristik wayang urang banjar.
Begitu pula irama lemah gemulai Dewi Tara dan dayangnya dengan sensasi 'baksa' menjadikan perpaduan yang kompak di altar panggung sendratari ini. Alokasi waktu memang terkadang menjadi hambatan untuk menunjukkan khas tarian wanita banjar yang harusnya diperagakan Dewi Tara sebagaimana penari wanita Jawa dalam seni wayang orang klasik.
Antiklimak pun begulir dengan harmonis, ketika Rama dan Leksmana bersedia membantu Sugriwa merebut Dewi Tara dari kekuasaan Subali. Kesaktian panah Gowawijaya yang dimiliki Rama berhasil membunuh Subali dalam bentuk trik sendratari yang menarik. Kemunculan pemain dari segala sisi panggung, mengakibatkan penonton tidak terpaku hanya ke arah muka panggung utama saja, karena bisa saja muncul dari sisi kiri atau kanan lingkaran penonton. Sayangnya, penampilan Rama dan Leksmana yang dalam wayang Jawa merupakan tokoh utama belum totalitas dalam pergelaran ini, sehingga kemunculan kedua tokoh ini kurang greget.
Prosesi kematian Subali yang disebut moksa pun berlangsung khidmat. Dihadapan Dewi Tara dan Sugriwa dramatisasi kematian Subali oleh panah Gowawijaya sang Rama cukup menyentak perhatian penonton. Malah membayangkan moksa tokoh Subali itu berupa asap merah yang keluar menuju atas nirvana dalam lingkaran kain putih yang diperagakan. Sensasi sekali!
Moksa adalah suatu kepercayaan kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman. Kalau orang sudah mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran, kebahagian)
Klimaks yang menggugah dari prosesi moksa tokoh cerita 'Subali' sangat baik dan memberikan interpretasi yang dapat membangun imej penonton akan melesatnya atman menuju brahman melalui siluet warna merah dalam balutan kain panjang yang polos. Selamat jalan pekerja seni Taman Budaya yang terus membangkitkan semangat membangun kebudayaan banua tanpa letih. Kita jumpa di panggung Sendratari Ramayana Candi Prambanan Unesco World Culture Ngajogyakarta pada 12 dan 15 Oktober mendatang. Sebagai penutup posting, alangkah indahnya jika menyimak sebentar siapa sebenarnya tokoh sendratari yang ditampilkan dalam kisah 'Subali Moksa' ini. Subali dikenal pula dengan nama Guwarsi. Ia putera kedua Resi Gotama, dari pertapan Erraya/Grastina, dengan Dewi Indradi/Windradi, bidadari keturunan Bhatara Asmara. Subali mempunyai dua orang saudara kandung masing-masing bernama; Dewi Anjani dan Sugriwa. Karena rebutan Cupumanik Astagina dengan kedua saudaranya, ia berubah wujud menjadi kera setelah masuk ke dalam telaga Sumala. Untuk menebus kesalahannya dan agar bisa kembali menjadi manusia, atas anjuran ayahnya, Subali melakukan tapa Ngalong (seperti kelelawar) di hutan Sunyapringga. Atas ketekunannya bertapa, Subali mendapatkan Aji Pancasona, yang berarti hidup rangkap lima. Resi Subali pernah mengalahkan Prabu Dasamuka, raja negara Alengka, bahkan kemudian Dasamuka menjadi muridnya untuk mendapatkan Aji Pancasona. Resi Subali juga berhasil membinasakan Prabu Maesasura, raja raksasa berkepala kerbau dari kerajaan Gowa Kiskenda bersama saudara seperguruannya Jatasura, berwujud harimau yang akan menghancurkan Suralaya karena lamarannya memperisteri Dewi Tara ditolak Bhatara Indra. Atas persetujuan Subali, Dewi Tara dan kerajaan Gowa Kiskenda diberikan kepada Sugriwa. Akibat termakan tipu daya dan hasutan Prabu Dasamuka, Resi Subali merebut Dewi Tara dan istana Gowa Kiskenda dari tangan Sugriwa. Selama berhubungan dengannya, Dewi Tara hamil. Dengan bantuan Ramawijaya, Sugriwa dapat merebut kembali Dewi Tara dan istana Gowa Kiskenda. Akibat dari dosa dan kesalahannya Resi Subali dapat dibunuh oleh Ramawijaya. Daya kesaktian Aji Pancasona lenyap terhisap oleh daya kesaktian panah Gowawijaya. Sepeninggal Resi Subali, Dewi Tara melahirkan bayi berwujud kera berbulu merah yang diberi nama, Anggada. SUGRIWA dikenal pula dengan nama Guwarsa. Ia merupakan putra bungsu Resi Gotama dari pertapaan Erraya/Grastina dengan Dewi Indradi/Windardi, bidadari keturunan Bathara Asmara. Sugriwa mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Dewi Anjani dan Subali. Setelah menjadi wanara/kera, dalam perebutan Cupumanik Astagina, Sugriwa diperintahkan ayahnya untuk bertapa Ngidang (hidup sebagai kijang) di dalam hutan Sunyapringga apabila menginginkan kembali berwujud manusia. Atas jasa Resi Subali yang berhasil membunuh Prabu Maesasura dan Jatasura, Sugriwa dapat memperistri Dewi Tara dan menjadi raja di kerajaan Gowa Kiskenda serta wadya/balatentara kera. Prabu Sugriwa juga menikah dengan Endang Suwarsih, pamong Dewi Anjani dan memperoleh seorang putra berwujud kera yang diberi nama Kapi Suweda. Dewi Tara dan kerajaan Kiskenda pernah direbut oleh Resi Subali yang terkena hasutan jahat Prabu Dasamuka, raja negara Alengka. Dengan bantuan Ramawijaya yang berhasil membunuh Resi Subali dengan panah Gowawijaya, Sugriwa berhasil mendapatkan kembali Dewi Tara dan negaranya. Sebagai imbalannya, Sugriwa mengerahkan prajurit keranya membantu Ramawijaya membebaskan Dewi Sinta dari sekapan Prabu Dasamuka. Ketika berlangsungnya perang Alengka, Sugriwa tampil sebagai senapati perang Prabu Rama. Ia berhasil membunuh beberapa senapati perang Alengka, antara lain; Pragasa, Kampana dan Gatodara. Setelah perang berakhir, Sugriwa kembali ke Gowa Kiskenda, hidup bahagia dengan istrinya, Dewi Tara. Ia tidak bisa kembali kewujud aslinya sebagai manusia, karena penyerahan dirinya kepada Dewata belum sempurna, masih terbelenggu oleh kenikmatan duniawi Posting dengan judul yang sama dapat disimak dalam blog 'Parigal Samsuni' www.handilbakti.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya