Mohon tunggu...
Samsul Ramli
Samsul Ramli Mohon Tunggu... -

Samsul Ramli Tinggal di Banjarbaru Bekerja pada Bagian Pembangunan Sekretariat Pemerintah Kab. Banjar Kalsel Gandrung sama IT dan Perencanaan Pembangunan..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potensi Pelayanan Publik “Plus-plus” Bagi PAD

4 April 2010   13:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam catatan berjudul ‘Memaksimalkan Teknologi Informasi dalam Pemerintahan’ (http://samsulramli.wordpress.com 24 Nopember 2008), sempat muncul ide sekaligus pertanyaan terkait hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Tepat satu tahun kemudian masih muncul pertanyaan serupa dan mungkin memang perlu satu tahun bagi saya untuk mendapatkan penjelasannya . TIK dalam pemerintahan mainstreamnya terletak pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Dari berbagai diskusi, baik secara online maupun kopi darat dengan kawan-kawan yang concern tentang hal ini, muncul beberapa pertanyaan yang mendudukkan posisi TIK berseberangan dengan upaya peningkatan PAD. Seorang teman pernah mempertanyakan, “kalau semua pelayanan publik dasar seperti kesehatan dan pendidikan digratiskan bagaimana pemerintah daerah meningkatkan PAD?”. Senada dengan itu ada juga yang bertanya serupa, “KTP juga digratiskan, padahal sumber PAD sektor catatan sipil utamanya dari KTP?” Pada saat itu meski masih meraba-raba saya tetap keukeuh mempertahankan bahwa ada keterkaitan positif antara keduanya. Pelayanan publik yang semakin baik dengan campur tangan TIK berpengaruh positif terhadap PAD. Dan sampai saat inipun saya bersiteguh tentang hal ini. PAD & Pelayanan Publik Sumber PAD selama ini masih didominasi oleh pajak daerah (UU No 34 Tahun 2000) dan retribusi daerah (PP No 65 dan PP No 66). Inovasi kebanyakan dilakukan dengan pengelolaan perusahaan daerah berupa BUMD. Itupun sumbangannya bagi daerah masih sangat minim, kerap dampak ikutannya yang kebanyakan merugikan, justru. Ketika berbicara PAD maka paradigma yang dipakai adalah paradigma bisnis yaitu bagaimana mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang seminim mungkin. Sedang ketika berbicara pelayanan, paradigmanya adalah bagaimana melayani dengan sebaik-baiknya melalui maksimalisasi kemampuan yang ada. Kedua kutub ini sebenarnya masih bisa didamaikan dengan perangkat yang sederhana. Perangkat sederhana itu adalah Standar Operasional Prosedur Pelayanan (SOPP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kelemahan pelayanan publik dinegeri kita ini adalah tidak adanya konsistensi SOPP dan lemahnya penegasan batas SPM. Multiplayer effect yang terjadi adalah tarik ulur kebijakan yang kadang melanggar prinsip-prinsip pelayanan. Makanya kemudian barang mahal yang susah dicari selama ini adalah transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas. Prinsip adalah aturan-aturan atau kesepakatan dasar yang wajib diacu oleh semua pihak. Prinsip bersifat kaku! Disinilah letak komitmen yang disusun dalam butir-butir ketentuan utama. Misalnya saja, ada prinsip bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan. Ambil contoh Standar Pelayanan Minimal (SPM) waktu pelayanan gratis adalah 3 hari. Maka setiap orang berhak mendapatkan pelayanan gratis adalah 3 hari. Tentunya penetapan 3 hari ini harus disertai dengan argumen yang kuat dan tidak bersinggungan dengan rasa keadilan publik. Untuk itu penting dalam setiap penyusunan SPM didasari survei yang akurat. Penetapan batas demarkasi pelayanan inilah yang menjadi area persinggungan kepentingan bisnis PAD dengan kepentingan pelayanan. Penetapan batas area pelayanan standart/minimal akan membentuk dua area diluarnya. Area pelayanan dibawah standar (minus) dan area pelayanan lebih (surplus). Area pelayanan pelayanan minus dapat dijadikan alat publik mengkritisi bahkan menuntut komitmen pelayanan yang telah ditetapkan. Disinilah indeks kepuasan publik dapat diukur. Apabila kuantitas kasus pelayanan minus sangat tinggi, berarti kinerja pelayanan instansi atau pemerintah daerah tersebut berjalan dengan buruk. Sedangkan area pelayanan lebih (surplus) dapat digunakan pemerintah sebagai sumber penggalian PAD. Disinilah konsep bisnis berlaku, pelayanan lebih ada harganya. Bagi publik yang menginginkan pelayanan lebih dalam contoh ini adalah soal waktu, wajib mengeluarkan dana lebih pula. Bagi masyarakat yang mungkin mempunyai kemampuan ekonomi berlebih dapat saja meminta pelayanan dalam waktu 2 atau 1 hari dengan tarif tertentu yang telah ditetapkan. Disadari atau tidak praktek ini sebenarnya telah ada, sayangnya tidak dilegalformalkan sehingga menjadi kesepakatan dibawah tangan yang merusak kepercayaan publik. Inilah pula yang menjadi sumber kristalisasi KKN dalam ranah pelayanan publik kita. Banyak pihak, khususnya dalam penanganan KKN, terfokus pada penghapusan pungutan pelayanan publik. Persoalan sebenarnya bukan ada atau tidaknya pungutan tapi legal atau tidaknya pungutan. Legalitas ini berimplikasi terutama pada transparansi. Pungutan harus jelas waktu, jumlah, kriteria dan penggunaannya! Kembali ke soal potensi pelayanan surplus. Aristoteles membagi kelas ekonomi masyarakat dalam 3 tingkatan kelas atas, menengah dan bawah. Saya amat yakin potensi masyarakat pengguna pelayanan surplus sangat besar. Kemampuan masyarakat ekonomi menengah atas dapat dimaksimalisasi untuk memberikan subsidi silang terhadap pelayanan publik minimal bagi golongan masyarakat ekonomi menengah bawah. Mungkin akan muncul pertanyaan atau keraguan. Jangan-jangan semuanya diarahkan kepada pelayanan surplus yang berbayar dan akhirnya standart pelayanan minimal seakan hilang. Jawabannya terletak pada SOPP yang transparan dan akuntabel. Pada contoh dalam tulisan ini adalah bahwa yang membedakan pelayanan hanyalah soal waktu pelayanan saja, sedang prosedur tetap sama tidak boleh dibedakan. Terkadang dalam soal pelayanan publik bukan gratisnya yang utama tapi kejelasan prosedur yang terpenting. Siapapun rela membayar untuk pelayanan yang tepat waktu, tepat prosedur dan tepat hasil. Peningkatan kualitas pelayanan publik tentu memerlukan dana, adalah hal yang wajar prinsip bisnis tetap diberlakukan. Namun mafhumnya institusi pemerintahan yang notabene pelayan masyarakat juga tetap membela hak warganya. Tarik menarik dua sisi ini seharusnya menjadi kekuatan bukan menjadi sumber kelemahan. Yang pasti semua harus sadar bahwa pencapaian kesejahteraan bukan hanya tugas pemerintah tapi tugas seluruh stakeholder. Tentu terlalu singkat diceritakan dalam satu tulisan. Semoga tulisan ini dapat memperkaya khasanah konsep pelayanan publik yang tentu wajib dikritisi dan disempurnakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun