Mohon tunggu...
Samsul Nur
Samsul Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang ayah yg ingin selalu belajar, tentang apa saja..

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Adakah Dokter 'cespleng' .. ?

8 November 2011   03:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Membaca tulisan Pak Edy Priyono, saya menjadi galau & sedih ..

http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/11/07/hati-hati-dengan-dokter-laris-dan-ces-pleng/

Kenapa ? karena mohon maaf tapi beliau terkesan tidak menguasai ilmu kesehatan dasar  khususnya untuk anak - anak.

Sungguh,  satu tindakan yg kurang tepat jika kita "pasrah bongkokan " kepada dokter untuk treatment kesehatan keluarga kita.

Memang kita membayar  untuk jasa dokter agar mereka memberi pelayanan yg kita harapkan sesuai dengan jasa yg kita bayar. Tapi satu point yg sering terlupakan adalah bahwa dokter memerlukan ' bantuan ' konsumen untuk menegakkan diagnosa. Bantuan tersebut bisa berupa informasi  yg detail tentang kondisi anak selama sakit, data2 pendukung misal demam sejak kapan, berapa suhu saat diukur dg termometer, bagaimana polanya, berapa kali BAB, BAK, bagaimana behaviour anak dan masih banyak lagi.

Dokter akan sangat terbantu jika konsumen bisa membangun pola komunikasi yg sejajar dengan info2 yg lancar dari kedua belah pihak. Yang paling penting adalah menemukan kata kunci apa diagnosa nya. Dari diagnosa akan diketahui apa penyebabnya dan bagaimana treatment yg tepat.

Saat dokter meresepkan obat untuk anak  ( jika memang perlu obat ) , wajib bagi konsumen untuk menanyakan apa  fungsinya dan apa resiko efek samping yg mungkin terjadi karena semua obat pasti ada efek sampingnya. Harunsya obat tersebut dipakai karena benefitnya > resiko yg mungkin timbul.

Terkait dengan antibiotik  ( AB ), apakah sudah paham jika hanya penyakit yg disebabkan infeksi BAKTERI lah yg bisa diobati dengan AB, selain itu tidak.

Saya tidak mengulas tentang dosisnya karena itu kompetensi dokter. Resistensi bakteri karena pemakaian AB yg kurang tepat ini yg membuat saya galau. Bukan hanya anak kita yg dirugikan oleh bakteri yg kebal AB tersebut tapi dapat  menyerang siapa saja dalam komunitas yg lebih luas. Dampaknya adalah kita terpaksa memakai AB dg jenis & dosis yg lebih tinggi. Ini tentukan memerlukan biaya yg lebih mahal pula. Jika bakteri sudah kebal  AB yg paling kuat, lalu obat apa yg bisa kita pakai  ?

http://www.cdc.gov/getsmart/antibiotic-use/anitbiotic-resistance-faqs.html

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/

AB resistance adalah  PR terbesar yg harus kita cari jalan keluar  dg kerjasama dokter & konsumen yg melek kesehatan.

Saya tidak percaya ada dokter 'cespleng' , justru kita harus berhati2 jika gejala penyakit terlalu cepat hilang oleh obat simtomatik karena bisa menyarukan penyebab yg sesungguhnya dan menyebabkan diagnosa yg tidak tepat.

Tentang pemilihan dokter sebagai partner, saya lebih fokus mencari dokter yg rasional, komunikatif dan bisa memperlakukan pasien/konsumen sejajar dalam berdiskusi.

Rasional dlm hal pemakaian obat (RUM) dan rasional dlm diagnosa & treatmentnya.

Tentunya kondisi ini sulit kita dapat pada dokter yg antriannya sampai ratusan dimana setiap pasien hanya mendapat waktu konsul rata-rata 5 menit. Apa yg bisa dihasilkan oleh evalusi yg sedemikian singkat ? Selain itu  pasien yg terlalu banyak pasti juga membuat dokter lelah dan bisa jadi tidak fokus dlm menegakkan diagnosa. Hasilnya ? treatment & pengobatan tidak akurat.

Untuk bisa mewujudkan pola komunikasi yg sejajar tersebut syarat yg harus dipenuhi dari sisi konsumen adalah menjadi pintar dan menguasai ilmu dasar kesehatan.

Satu point lagi, bahwa banyak kondisi sakit yg tidak memerlukan intervensi medis dan bisa kita selesaikan denga home treatment sesuai guideline, misal demam, diare, batuk, pilek dan penyakit2 common pada balita lainnya. Jika kita bisa menerapkannya, bayangkan betapa banyak waktu & biaya yg bisa kita hemat selain dari resiko anak terkena efek samping obat & infeksi nosokomial dari kuman2 yg ada di rumah sakit.

Jadi Pak Edy yg baik, kita sebagai konsumen kesehatan, mari kita belajar sekeras2 nya untuk improve ilmu kesehatan keluarga.

Banyak sekali informasi yg dengan sangat mudah bisa kita dapatkan  baik via buku atau internet dengan sumber yg reliable.

Anak kita menggantungkan & memasrahkan treatment kesehatan pada kita. Menjadi kewajiban kita untuk memberi yg terbaik buat mereka. Terbaik berarti yg paling rasional dan tepat sesuai guideline yg benar.

Berikut beberapa sumber yg biasa menjadi referensi informasi kesehatan yg terpercaya ( masih banyak lainnya )  :

http://www.mayoclinic.com/

http://www.cdc.gov/

http://www.aap.org/

http://kidshealth.org/

http://www.who.int/en/

http://milissehat.web.id/

Salam,

Samsul

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun