Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seleksi Mandiri PTN (BH) Secara Implisit Melarang Orang Miskin untuk Kuliah

1 Juli 2023   13:13 Diperbarui: 1 Juli 2023   13:41 10716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/siswa-kelas-sekolah-sedih-395568/

Tulisan ini bersisikan keresahan saya terhadap makin mahalnya biaya pendidikan di negeri ini, terkhusus biaya di perguruan tinggi negeri berbadan Hukum (PTN-BH). Biaya perguruan tinggi yang mahal berimplikasi pada terbatasnya akses masuk bagi masyarakat menengah ke bawah. Pendidikan menjadi komoditas ekslusif yang hanya diperoleh oleh sekalangan masyarakat tertentu. Sifat inkslusif pendidikan dihalangi oleh tembok rupiah yang bertumpuk-tumpuk. Akibatnya peluang perbaikan nasib dan taraf hidup bagi masyarakat miskin dibatasi, dan melahirkan suatu lingkaran setan kemiskinan. Anak yang lahir dari keluarga miskin, selamanya akan tetap miskin. 

Idealnya, negara membantu untuk melindungi dan memenuhi hak warga negara. Salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh negara terhadap warga negaranya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagaimana juga tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar bagi setiap orang dan. Bahkan, ada turunan dari deklarasi HAM tersebut yang secara spesifik memuat keterbukaan pendidikan bagi semua orang, namanya Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan. Pendidikan menjadi hak asasi manusia yang mendasar karena pendidikan sangat diperlukan untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya. 

Sebab, hak untuk bekerja tidak dapat dipenuhi bila ia tidak terdidik. Jika haknya untuk bekerja tidak terpenuhi, ia tidak memperoleh uang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atas sandang, pangan dan papan. Jika kebutuhan primer tersebut tidak terpenuhi, maka haknya untuk hidup ikut hilang. Artinya dia mati kelaparan karena tak punya makanan, pakaian dan rumah. Hemat saya, seperti itulah alasan mengapa pendidikan menjadi sebuah hak yang paling mendasar bagi manusia. Maka jelaslah Agar hak asasi manusia bagi masyarakat Indonesia terpenuhi, pertama-tama harus ada persamaan kesempatan dan akses universal terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. 

Idealnya memang seperti itu, tapi bagaimana progresnya saat ini? Dengan sedih, sesedih rasanya saat Jiraya mati dibunuh Akatsuki, kewajiban atas terpenuhinya hak atas pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat jauh dari kondisi ideal. Biar saya uraikan secara pelan-pelan.

Data dari Kemendikbud menunjukan bahwa di tahun 2021, dari 3,6 juta siswa yang lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hanya sebesar 1,3 juta. Ada gap sebesar 2,3 juta. Secara persentase hanya 36% yang ke perguruan tinggi. Angka 2,3 juta mungkin terlihat kecil, tapi itu merupakan angka tahunan. Jika diakumulasikan, sejak negara ini berdiri sampai 2023, sudah berapa banyak siswa SMA yang tidak lanjut studi ke bangku kuliah?

Sayangnya saya tidak dapat data soal itu. Tapi dengan asumsi setahun hanya ada 36% berkuliah, maka sudah pasti angka siswa yang tidak mampu lanjut kuliah sudah dikisaran puluhan juta siswa. 

Angka statistik tersebut mungkin tidak berarti apa-apa jika tidak saya telaah dan inteprestasikan penyebabnya. Sebab, ada konsesus di masyarakat bahwa kuliah atau bersekolah tinggi-tinggi bukan satu-satunya pilihan untuk meraih kemapanan ekonomi. Dan saya sepakat dengan itu. Tapi, ternyata hanya sebagian kecil yang tidak lanjut kuliah karena dasar kerelaan atau memang tidak ingin kuliah karena memilih bekerja melalui kerelaan dalam dirinya sendiri. 

Sayngnya, mereka terpaksa bekarja sedari lepas SMA karena faktor ekonomi. Mereka tidak punya pilihan selain bekerja, sebab orang tuanya tidak punya cukup uang membiayai kuliah anaknya. Hal ini diperkuat dari data Haruka Evolusi Digital Utama di tahun 2018 menunjukan bahwa 66% siswa SMA tidak lanjut kuliah karena kendala biaya. Sederhanya, dari setiap 3 anak SMA hanya 1 orang yang mampu berkuliah. Dua anak tadi akhirnya menjadi pengangguran atau bekerja di pabrik. 

Seandainya pun mereka mendapat pekerjaan, umumnya besaran upah yang diperoleh tidak sebesar teman mereka yang lulusan kuliah. Data dari BPS yang dimuat Kompas pada (25/02/2020), secara rata-rata besaran gaji yang diperoleh lulusan universitas sebesar 4,59 juta, sedangkan lulusan SMA hanya sebesar 2,73 juta perbulan. Perbedaan yang cukup timpang. Tidak heran jika indeks gini di negeri ini kian melebar. Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin hanya karena tidak punya akses ke perguruan tinggi. Dan negara bertanggung jawab untuk masalah itu.

Menapa Negara Bertanggung Jawab?

Saya tidak tau bagaimana mengurainya guna menyusun argumen yang panjang sebagai legitimasi atas pernyataan saya bahwa negara harus bertanggung jawab atas masalah yang saya urai tadi. Karena yang lebih paham soal ini harusnya mereka yang berkuliah di prodi politik dan mungkin hukum. Tapi dengan sedikit penyelaman saya pada teks-teks filsafat dan politik, saya akan mencoba untuk mempertanggungjawabkan premis tadi. Simpelnya begini, orang-orang yang diberi amanat untuk menjadi representasi tujuan masyakarat dalam suatu negara, entah itu di lembaga eksekuitif, legislatif dan yudikatif diberi wewenang untuk mengatur masyarakat melalui lembaganya, termasuk urusan pendidikan. 

Dimana hubungan antara tujuan masyarakat dan pendidikan? Dia terletak pada konstitusi dasar sebagai simbol tujuan yang hendak kita capai saat mengikrarkan diri menjadi negara. Dalam konteks Indonesia tujuan atau cita-cita saya dan kita semua secara keseluruhan tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945. Dan di dalam teks sakral nan suci itu negara berjanji akan mencerdaskan kehidupan kita semua dan menyejahterakan kita. Cara untuk mencerdaskan dan menyejahterakan warga negara tersebut diemban oleh orang-orang yang duduk di trias politica tadi. 

Maka  ketika realitanya masih banyak yang tidak bisa cerdas karena hambatan ekonomi, mereka yang duduk di lembaga negara harus kita mintai pertanggungjawabanya. Karena segala jenis pajak yang dikenakan pada kita semua, mulai dari pajak karpet kloset, pajak pasta gigi sampai cukai rokok, dialoksikan untuk gaji mereka. Uang itu dipakai untuk memastikan mereka tidak kelaparan saat psuing memikirkan beban dan tanggung jawabnya terhadap 275 juta orang. Naas, tragis, sayang sekali atau apa pun itu dalam kosa kata bahasa Indonesia yang bisa disepadankan dengan orang-orang yang diberi makan tadi, seperti orang yang lupa diri, mereka lupa dengan tanggung jawabnya. Gaji lancar, korupsi lancar, pendidikan makin mahal, apalagi dengan adanya anak mereka yang bernama PTNBH. 

PTNBH Melarang Anak Miskin Masuk Kampus

PTNBH bagi saya anak dari kegagalan negara dalam pemenuhan atas pendidikan tinggi sebagai hak warga negara. Mengapa demikian?  Ada satu masalah mendasar dari PTNBH yang berakar dari  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di Perguruan Tinggi Negeri Pasal 10, PTN diizinkan memungut iuran pengembangan institusi sebagai pungutan selain UKT dari mahasiswa program sarjana atau diploma dari golongan tertentu. Golongan tersebut terdiri dari mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional mahasiswa jalur kemitraan dan mahasiswa jalur mandir. Jalur mandiri ini yang hendak saya persoalkan.

Jalur mandiri menjadi bersamalah karena adanya kewajiban uang pangkal tadi. Meskipun hanya dibayarkan sekali, uang pangkal tetap menjadi masalah karena nominalnya yang terlalu besar. Bagi anak yang berasal dari masyarakat miskin, rasanya mustahil untuk mampu menebusnya. Sekalipun bisa mungkin harus mengggadaikan aset mereka atau mungkin berutang. Misalnya saja di Undip, saat ini uang pangkal yang dikenakan bagi mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi prodi Akuntasi berkisar 30-40 juta, hukum 40 juta dan teknik 35-45 juta. Belum pengeluaran rutin semester beruapa UKT, makin ruwet

Bisakah orang miskin membayar itu? Mustahil. Orang miskin menurut BPS pada September 2022 memiliki pendapatan dibawah 2,3 juta, dengan rata-rata anggota rumah tangga 3,34 orang dan jumlahnya secara nasional 26,36 juta orang. Jika saya asumsikan salah 1 anak dari rumah tangga miskin tersebut ingin masuk kuliah di prodi akuntasi Undip, maka 3 orang anggota rumah tangga lainya harus berpuasa selama 15 bulan (35/2.3). Bukan hanya puasa makan, tapi puasa naik grab, puasa minum, puasa beli es krim, susu,listik, pokoknya selama 15 bulan keluarga itu tidak bisa mengeluarkan pendapatan mereka agar anaknya bisa masuk kuliah lewat jalur mandiri. Sayangnya tidak ada satu manusia yang bisa bertahan hidup selama 15 bulan tanpa pengeluaran, apalagi bertiga. Mau tidak mau, alternatif paling rasionalnya, batalkan niat untuk kuliah, dari pada 3 anggota keluarga mati kelaparan. 

Belum lagi porsi di jalur mandiri lumayan besar, biasanya 30%. Jadi misal di PTN itu memilki kuota mahasiswa 5 ribu orang, sebanyak 1.500 sudah pasti dikunci oleh mereka yang mampu membayar uang pangkal. Sangat disayangkan, barangkali dari sekian banyak anak yang memiliki potensi untuk mengubah kondisi ekonomi keluarga. Dan kabarnya juga, mahasiswa KIP sulit diberi kuota melalui jalur mandiri. Berat. Ya, intinya jalur mandiri masuk PTN itu dialokasikan khusus untuk masyarakat kelas tertentu. Secara tidak langsung, dengan uang pangkal sebesar itu melarang orang miskin memiliki akses terhadap pendidikan yang setara bagi semua orang.

Sebagai penutup, saya sadar opini saya ini mungkin memiliki beberapa kekeliriun, jika seandainya ada, maka masukan dan koreksi yang saya harapakan, bukan UU ITE.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun