Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fa Fi Fu Koalisi Partai Politik yang "Meminjam Kepentingan Rakyat Demi Perut Mereka Sendiri"

21 Juni 2023   21:22 Diperbarui: 21 Juni 2023   21:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai anak muda, sebagai warga negara yang sudah punya hak politik untuk ikut menentukan arah bangsa ini, saya memiliki rasa pesimis dalam perpolitikan Indonesia. Alasanya sederhana saja, melihat fakta sejarah yang selama ini dipertontonkan, politik hanya alat untuk mengakses kekuasan sebagai legitimasi sumber daya materi. Omong kosong kalau seorang politisi bilang ini demi rakyat, demi kemakmuran warga negara dan lain-lain. 

Apalagi yang lagi viral sekarang ini soal koalisi-koalisian antar partai politik. Ketika partai politik A mengumumkan X sebagai capres yang mereka dukung atau saat partai B mencalonkan Y sebagai capres, media massa seketika heboh, seolah-olah tidak ada informasi lain yang lebih berguna untuk diterima masyarakat. Pikiranku yang masih kenak-kanakan ini masih terlalu percaya pada asas-asas jurnalisme, padahal nyatanya perusahaan pemberitaan juga tak lepas dari orientasi memperoleh keuntungan. Mungkin bayaran dari bos-bos partai politik nominalnya lebih besar daripada harus melaporkan hal-hal substansial bagi orang-orang biasa, mungkin.

Yang lebih menjengkelkan lagi, mereka harus merekam jelas dengan suara jernih pidato-pidato dari para ketua partai politik sebelum mengumumkan capres yang mereka dukung. Narasi-narasi demi bangsa dan kesamaan visi dalam melihat arah pembangunan visi tak henti-hentinya mereka teriakan. Padahal mungkin bohong kalau pembentukan koalisi karena kesamaan visi dan ideologi partai. Partai politik kita itu tidak punya ideologi, apalagi gambaran soal masa depan bangsa. 

Mereka membentuk koalisi karena ada deal-deal lan pada pembagian jabatan, proyek hingga kursi menteri di kabinet. Soalnya kalau kita lihat misalnya, Nasdem yang sepuluh tahun sebelumnya konsisten mendukung Jokowi, kenapa tiba-tiba mengubah haluan untuk keluar dari partai pemerintah? Apakah ada perubahan dari politik PDIP? saya kira tidak ada, dari dulu PDIP memang seperti? Lantas kenapa keluar? Mungkin karena merasa kurang adil pada pembagian jabatan. Padahal bagi Nasdem mereka yang dulu ngoyo branding Pak Jokowi lewat Metro TV. Tidak bisa dipungkiri, sosok Jokowi yang 'merakayat' di mata masyarakat berkat kerja keras Metro TV. Tapi pasca Nasdem menjadi oposisi, Metro Tv turut berbalik arah dengan mengkritik Pak Jokowi yang mungkin tidak lagi objektif, mirip seperti TV One zaman dulu. 

Sama halnya dengan partai lain, mereka itu persis peribahasa menjilat ludah sendiri. Dulunya mencaci sekarang memuji. Jika saya melakukan tracking di internet untuk melihat jejak sejarah partai-partai politik yang saat ini berkoalisi, dulunya mereka saling menghina dengan bahasa retoris. Sebenarnya mereka meminjam kepentingan rakyat sebagai alat mengibuli rakyat. Seoalah-olah saat BBM naik mereka juga ikut menangis dalam penderitaan rakyat, padahal hanya demi raup suara dari rakyat yang sedang terkena musibah. Saat ditawarkan untuk masuk koalisi dengan janji jabatan yang menggiurkan mereka lupa sumpah serapah mereka pada teman barunya tersebut. Kasihan rakyat yang terus dibohongi demi kepentingan pragmatis elit politik di negeri ini. 

Makanya kalau dengar politisi berkata mereka sepakat karena kesamaan ideologi dan cita-cita membagun bangsa, baiknya jangan terlalu percaya, karena artian sebenarnya dari ucapan mereka adalah mereka sepakat karena pembagian kekuasaan dan jabatanya bagus untuk partai kami, jadi kami bergabung. Kalau pembagianya adil, kami berkuasa, punya akses dalam menggerakan seluruh instrumen negara dan jatah yang besar dalam APBN, kenapa harus ditolak. Lebih jujur seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun