Mohon tunggu...
Samsul Bakri
Samsul Bakri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masih belajar menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Ekonomi Undip

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Imperatif Kategoris Immanuel Kant dan 15 Mahasiswa Bima yang Ditangkap

15 Juni 2023   19:23 Diperbarui: 15 Juni 2023   19:27 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan orang yang mendalami secara komprehensif dan mendalami betul dunia filsafat, layaknya seorang pengajar, atau pun mahasiswa jurusan filsafat. Saya membaca filsafat sekedarnya saja, itupun tidak sering membaca tulisan dari buku mereka secara langsung. Saya lebih sering membaca buku-buku filsafat yang sudah diinterprestasikan oleh penulis lain. Alasanya sederhana, teks asli mereka sangat sulit untuk dicerna oleh orang awan seperti saya, karena ada banyak diksi yang dibangun oleh sistem filsafat di tiap-tiap filsuf. Tidak heran, ada banyak dikotomi pada premis-premsi utama dari tiap filsuf. Banyaknya dikotomi tersebut membuat oarang awan seperti saya lebih menikmati karya-karya besar filsuf dengan membaca buku teks yang disederhanakan oleh mereka yang bergelut dengan alam pikir filsuf lalu, lalu diparafrase agar lebih mudah diterima oleh pembaca dari berbagai kalangan.

Ada dua peristiwa yang datang secara bersamaan lalu memotivasi saya untuk menulis artikel ini. Pertama kabar penahanan terhadap 15 mahasiswa di Kabupaten Bima dan Filsafat Moral Immanuel Kant. Saya mendengar informasi tentang 15 mahasiswa yang ditahan dari beberapa teman HMI di Semarang yang kebetulan berasal dari Kabupaten Bima. Sedangkan Filsafat Moral Kant secara ringkas saya temukan dalam buku Filsafat Sebagai Ilmu Kritis Karya Franz Magnis-Suseno, lalu saya telaah lebih dalam lagi pikiran filsafat moral Kant dari beberapa jurnal dengan topik spesifik mengenai moral imperatif kategoris. Saya akan berusaha menunjukan dimana korelasi kedua peristiwa tadi.

Pertama-tama, mari kita urai apa yang terjadi sehingga 15 mahasiswa di Bima ditahan oleh polisi. Informasi yang mungkin singkat tapi 'straight to the point' ini saya peroleh dari teman. Begini kronologi ringkasnya, beberapa hari lalu, sejumlah mahasiwa di Bima melakukan demonstrasi. Substansi dalam demonstrasi tersebut adalah meminta agar jalan penghubung antar desa segera diperbaiki. Saya tidak tahu apakah itu jalan provinsi atau jalan kabupaten, tapi poinya, mereka menghendaki agar jalan yang sudah rusak selama sembilan tahun tersebut segera diperbaiki. Unjuk rasa berlangsung terus menerus, namun tuntutan mereka belum juga dianggap. Suara bisikan nyamuk ketika tidur akan diberi perhatian dengan mengibaskan tangan di udara, meskipun nyamuknya akan kembali lagi. Sedangkan ini suara manusia yang menuntut tanggung jawab dari pemerintah diabaikan seperti tak terjadi apa-apa. Kalau mau pake silogisme, yang ditanggapi itu yang lebih penting, bukankah sikap diam birokasi dalam menyikapi tuntutan rakyat Bima adalah sama halnya dengan menurunkan kasta suara rakyat di bawah suara nyamuk?

Setelah empat hari menyampaikan perasaan yang tidak berbalas, si tuan mulai melirik suara rakyat. Namun bukan respon positif yang didapat, mereka ditangkap dan dipenjarakan. Selamat, suara rakyat sudah sama dengan suara nyamuk. Hanya saja nyamuk ditepuk, rakyat dipenjara, itu bedanya. Kata orang-orang berbaju coklat, berotot kekakar dan kadang-kadang perut buncit, mereka perlu dibina karena mengganggu ketertiban umum. Mereka dianggap selama empat hari telah mempersulit hidup masyarakat yang mau beraktivitas. Narasi ketertiban umum memang ngeri, yang mengganggu kepentingan umum berarti merenggut kebebasan banyak orang. Kata orang, kebebasan itu boleh, asal bertanggung jawab. Padahal terdapat hubungan timbal balik antara pengertian "kebebasan" dan "tanggung jawab", sehingga orang yang mengatakan "manusia itu bebas" maka dengan sendirinya menerima "manusia itu bertanggungjawab". Tidak mungkin kebebasan (dalam arti sesungguhnya) tanpa tanggung jawab dan tidak mungkin tanggung jawab tanpa kebebasan. Cukup sering kita mendengar orang berbicara tentang "kebebasan yang bertanggung jawab", namun sebenarnya ungkapan tersebut adalah tautologi, dimana pengertian yang satu sudah terkandung dalam pengertian yang lainnya. Oke, itu anggap hanya sedikit pelajaran bahasa Indonesia.

Mengapa tuntutan menjaga kepentingan umum hanya diletakan pada masyarakat?

 

Mari kita kembali pada pokok yang paling dasar, mengenai hak dan kewajiban. Hak adalah sesuatu yang sudah melekat pada tiap-tiap orang. Syarat untuk mendapatkan hak hanya satu, dia manusia. Selama dia manusia maka dia punya hak. Dalam pelaksaan konkretnya, hak yang paling dasar dari manusia adalah hak untuk untuk hidup. Jika kita adalah seorang utilitarian, maka hak hidup kita hanya boleh diserahkan apabila tindakan menghilangkan hidup tersebut mampu membawa kemaslahatan umum. Namun saya lebih suka menjadi seorang libertarian, bahwa kita memiliki hak kita tanpa harus ada intervensi kekuatan dari luar. Jika saya adalah saya yang hidup, maka diri saya sendiri pun tidak boleh mengambil hidup saya. Artinya tidak boleh ada yang bisa mengambil hak hidup saya, termasuk saya sendiri. Kalau kata John Locke, yang memasukan unsur transedental, kita adalah bagian dari ciptaan tuhan yang bertanggung jawab untuk menjaga apa yang telah diberikan pada kita. Memang kesimpulan ini mungkin sedikit mengecewekan bagi mereka yang mungkin tidak percaya pada eksistensi tuhan atau hal-hal yang bersifat diluar batas pengalaman manusia. Tapi mari kita pakai argumen Hegel yang juga disinggung oleh Buya Hamka dalam buku Lembaga Hidup. Hegel percaya bahwa tuntutan etika bukan sesuatu yang didapat oleh individu, seseorang akan menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk tergantung pada masyarakat dan negara. Ketika seorang individu sudah memilih untuk hidup dalam masyarakat maka mutlak dia adalah anggota masayarakat yang bersangkutan. Maka konsekuensinya ia tidak lagi menjadi individu yang terpisah dari masyarakat. Ia adalah bagian dari masyakarat. Maka apa pun yang hendak ia lakukan termasuk pada tubuhnya sendiri tidak boleh melanggar tujuan hidup masyarakat. Apa itu tujuan masyarakat? Menurut Hegel, mencari kebahagiaan adalah tujuan masyarakat. Sedangkan ketika seseorang mengakhiri hidupnya maka ia mengingkari tujuan masyarakat, ada keluarga dan sahabat yang sedih akibat kepergianya, selain itu masyarakat juga kehilangan anggotanya.

Saya percaya bahwa hak itu memang ada di tiap individu, tapi dengan cacatan jangan sampai hak itu mencederai hak orang lain, dalam hal ini saya sepemikiran dengan gagasan hak yang dibatasi oleh kepentingan umum. Dengan kata lain, batas dari hak adalah hak dari orang lain. Saya berhak untuk berteriak namun ada hak untuk tidur dengan tenang bagi tetangga kos saya. Saya kira batasan itu yang harus kita perjelas. Hak kita untuk bebas tapi kewajiban kita juga untuk mengormati hak orang lain dalam sudut pandang bahwa kita setara sebagai manusia. Jadi ada dua hubungan ketika dua entitas yang sama-sama memiliki hak, tapi di saat yang bersamaan dia juga memiliki kewajiban. Menghormati hak merupakan kewajiaban, namun ketika kewajiaban untuk menghormati hak tidak dilakukan, maka ada konsekuesnsi yang harus diterima.

Susunan argumen tadi akan coba saya korelasikan dengan apa yang terjadi di Bima. Ada rakyat yang memuntut hak-hak mereka sebagai warga negara. Tidak harus membawa-bawa nama demokrasi dan isme-isme Barat yang berat, cukup kita berangkat dari amanat konstitusi. Dalam beberapa kalimat di pembukaan UUD 1945, negara mengusahakan kesejahteraan umum. Hidup untuk sejahtera layaknya memang tujuan yang ingin dicapai semua orang, tapi negara dengan gagah berani mengatakan secara implisit bahwa dia akan membantu mencapai hak hidup makmur bagi seluruh warga negaranya. Makanya, ada mekanisme pengumutan pajak. Melalui pajak ini, pemerintah melakukan intervensi guna membantu upaya-upaya rakyat dalam mencapai tujuanya. Kewajiban masyarakat adalah membayar pajak. Sedangkan hak mereka adalah memperoleh mamfaat-mamfaat dari pajak yang telah mereka bayar. Jadi seperti itu relasi hak dan kewajiban dalam konteks negara dan masyarakat.

Tapi kenapa birokrasi yang dituntut untuk memiliki kewajiban? Sederhana, karena mereka adalah orang-orang yang diberikan wewenang masyarakat untuk mengatur dan mengelola urusan publik. Mereka diberi kemudahan, gaji, dan hidup mewah dari uang yang ditarik paksa alias pajak. Di setiap anggaran perjalanan dinasnya (jalan-jalan), ada uang masuk dari PPN dari seorang mahasiswa ketika indomie goreng. Ada uang pajak dari nenek-nenek penjual gorengan saat membeli minyak goreng di Indomaret, dst. Selain itu, mereka dipilih dan memilki jabatan untuk berkuasa karena legitimasi publik, orang banyak, itulah kenapa kita republik bentuk negaranya, tapi sayangnya mungkin mereka yang berkuasa tidak paham  dengan konsekuensi bentuk negara kita sendiri. Nah, legitimasi yang diperoleh dari publik harus dikembalikan pertanggungjawabanya pada publik. Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) dan perangkat eksekutifnya, saya yakin, ketika masa pemilihan kepala daerah memiliki janji, untuk memanjukan perekonomian di daerahnya, dan menjamin hak-hak dasar warganya terepenuhi. Rakyat NTB sepakat, "Iya, baik kita pilih kamu, hak-hak kami sebagian kami berikan, dan sekarang karena kamu pejabat, maka kami beri legitimasi untuk berkuasa". Rakyat sudah memberikan hak kepada kepala daerah berupa legitimasi untuk berkuasa, menyumbang uang pajak sebagai amunisnya dalam bekerja, sedangkan kewajiban kepala daerah tinggal menjalankan janjinya-janjinya sesuai dengan apa yang dicitakan oleh masyarakat.

Sayangya, birokrasi di Bima berbohong, rakyatnya ditipu. Kewajibanya tidak dia tunaikan, sembilan tahun jalan rusak. Saat rakyat menagih janji, mereka ditangkap, dianggap mengganggu kepentingan publik. Bagi saya, penangkapan terhadap 15 rakyat yang menuntut perbaikan jalan adalah sebuah kesesatan berpikir dan kekejaman terhadap publik dan negara republik. Telah saya urai sebelumnya, bahwa tiap-tiap dua entitas bertemu, mereka memiliki hak dan kewajiban secara bersamaan. Hak wajib dipenuhi dan kewajiban wajib ditunaikan. Rakyat Bima telah menunaikan hak mereka untuk memberikan wewenang kepada pihak eksekutif, adalah kewajiban dari eksekutif untuk memenuhi hak-hak rakyat Bima. Logika ini yang harusnya dipegang. Tapi apa yang kita saksikan di Bima sangat kontras, rakyat sudah menunaikan hak-hak mereka, ketika mereka menuntut hak, mereka dipenjarakan dengan dalih mengganggu kepentingan umum. Kalau dalih itu yang kita pakai, bisakah saya memenjarakan birokrasi Bima karena bagi saya lebih lama mengganggu kepentingan umum. Sembilan tahun jalan rusak, sudah berapa orang yang mati kecelakan karena jalan rusak; sudah berapa banyak orang yang harus di rawat di rumah sakit karena jalan rusak; sudah berapa orang yang dipersulit hidupnya karena jalan rusak; sudah berapa kali motor rusak karena jalan rusak; Sudah berapa orang yang menderita penyakit paru-paru akibat debu dari jalan rusak dan berapa biaya yang harus ditanggung untuk semua itu? Bisakah pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas semua kerugian ittu? Loh kenapa menyalahkan pemerintah? Belum dapat logikanya? Mereka itu orang yang sudah disumpah untuk setiap pada pancasila dan UUD 1945, tapi mungkin mereka juga tidak pernah baca. Selain itu, kalau mengikuti logika formalnya, itu lohh hak rakyat untuk dikasih, kalian tinggal penuhi kewajiaban kalian. Harusnya ketika mereka menutut, didengarkan dan dipenuhi, bukan malah dipenjara. Sebagai pengingat, tolong kepada kepolisian, bisakah birokasi yang membiarkan fasilitas publik tidak diurus dan merugikan masyarakat turut dipenjara? Sebab, merekalah yang mengganggu ketertiban umum.

Untuk 15 Mahasiswa yang Ditangkap, bagi saya kalian sudah benar.

Di sini saya ingin masuk ke subtansi imperatif kategoris dari Immanuel Kant. Adalah jasa dari Immanuel Kant bahwa ia untuk pertama kalinya dalam sejarah pemikiran manusia membedakan antara hukum dan moralitas. Hukum adalah tatanan normatif lahiarh masyarakat. Lahiriah dalam arti bahwa ketataan yang dituntut olehnya adalah pelaksanaan lahiriah, sedangkan motivasi batin tidak termasuk. Maka legalitas, ketaatan lahiriah terhadap sebuah hukum, peratutan atau undang-undang belum berkualitas moral.

Sikap yang berkualitas moral oleh kant disebut dengan moralitas. Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum. Sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia. Sebuah hukum atau aturan dari luar hanya mengikakat secara moral kalau diyakini dalam hati. Moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak. Sejak Kant, sebuah sikap atau tindakan hanya dapat dianggap moral apabila diambil secara otonom, artinya berdasrkan kesadaran sendiri tentang kewajiban.

Maka untuk selamanya, Kant mengakhiri percampuran yang bisa fatal bagi moralitas, antara ketaatan terhadap berbagai hukum dan ketaatan pada kewajiban moral. Baru dengan Kan itu, kita dapat memahami secara teoritis dan etis mengapa bisa terjadi bahwa seseorang dapat melanggar hukum justru karena dia bermoral dan bukan karena ia orang tak bermoral. [1] Mereka melakukan aksi demostrasi bukan karena mereka tidak bermoral dengan melanggar pasal tentang ketertiban umum, tapi atas dasar dorong dari diri sendiri. Dorongan dari batin sendiri yang tidak tahan atas sulitnya hidup orang-orang di sekitarnya akibat jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki.

Bagi saya mereka yang unjuk rasa menuntut perbaikan jalan adalah orang-orang yang memiliki kewajiban untuk patuh pada hukum moral yang datang dari dirinya sendiri, dari kendendak yang merupakan realisasi dari rasio praktis. Hukum moral dari mereka adalah suatu permintaan dari diri sendiri, suatu perintah suatu impeartif. Perintah dari akal budi ini, dalam istilah Immanuel Kant sebagai Kategorischer Imperatif, kategoris imperatif yang bertindak atas aus Pflicht, demi kewajiban[2]. Kesusilaan yang berlaku umum harus didasrai oleh unsur-unsur yang apriori, yaitu  kehendak baik, karena tak ada yang baik laiknya kecuali kehendak baik. Kehendak baik tidak tergantung dari hasil yang akan dicapai, tetapi bertindak baik karena baik dan demi kewajiban.

Meraka sudah dengan watak lembaga negara, trias politika, sama semua, kepal batu dan hanya tau menuntut kewajiban rakyat tapi enggan memenuhi kewajibanya sendiri. Tapi tanpa memikirakn hasilnnya ketika berteriak di hadapan birokrasi yang tuli, mereka tetap melakukan demonstrasi, karena seperti kata-kata bijak, diam hanya akan memperpanjang jalan rusak. Jadi sikap baik mereka untu-untuk panas-panasan ditengah terik matahari, tenggorokan yang serak karena beteriak murni atas kehendak baik dari dalam batin. Secara pembacaan pasal hukum yang kaku, kalian mungkin dikenai delik hukum, tapi bagi kami, apa yang kalian lakukan sudah benar secara moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun