Bagi saya G-30-S menandai adanya "pemutusan imanen" dengan (meminjam istilah filsuf Prancis Alain Badiou) "pengetahuan yang telah dilembagakan," dan "meyakinkan" orang-orang yang akan menjadi setia kepada kebenaran gerakan tersebut.
Seperti dinyatakan Badiou, "Bersetia kepada suatu peristiwa adalah bergerak dalam situasi yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir ... [tentang] situasi tersebut sesuai dengan 'peristiwa' itu."
 Rezim Suharto menampilkan diri sebagai wahana, yang dapat digunakan bangsa Indonesia agar tetap setia kepada kebenaran peristiwa 1 Oktober 1965. Kebenaran yang dinyatakan peristiwa itu ialah bahwa PKI jahat dan pengkhianat yang tak dapat disadarkan lagi.Â
Rezim Suharto akan tampak sebagai semacam "proses kebenaran" jika kebenaran dirumuskan sesuai dengan cara Badiou merumuskannya, yaitu "suatu proses nyata tentang kesetiaan kepada suatu peristiwa."Â
Maka semua pejabat negara harus mengucapkan sumpah setia kepada Pancasila dan bersumpah bahwa mereka (serta keluarga masing-masing) bersih dari kaitan apa pun dengan PKI dan G-30-S.
Namun, jika kita menggunakan kerangka berpikir Badiou dalam berpikir tentang G-30-S, kita akan menemukan bahwa G-30-S bukanlah "suatu peristiwa" menurut pengertian Badiou karena peristiwa itu sedikit banyak merupakan hasil rekayasa ex post facto (dari sesuatu yang sudah terjadi).Â
Dengan operasi-operasi perang urat syaraf rezim Suharto berdusta tentang cara bagaimana enam orang jenderal tersebut dibunuh (menciptakan kisah-kisah tentang penyiksaan dan mutilasi) dan tentang identitas para pelaku yang bertanggung jawab (menuduh setiap anggota PKI bersalah).
Gerakan 30 September tidak sama dengan revolusi Indonesia 1945- 1949, yang merupakan "peristiwa-kebenaran" (truth-event) bagi Sukarno. Revolusi itu bersifat terbuka dan umum.Â
Jutaan orang mengambil bagian di dalamnya (sebagai gerilyawan, kurir, juru rawat, dermawan, dll.). Untuk menghancurkan prinsip rasial yang menjadi tumpuan pemerintah kolonial Belanda, revolusi tampil membela prinsip-prinsip universal pembebasan umat manusia.
Sebaliknya, G-30-S adalah kejadian yang berlangsung cepat, berskala kecil, bersifat tertutup, dan masyarakat umum hampir tidak mempunyai pengetahuan langsung mengenainya.Â
Hanya rezim Suharto saja yang mengaku mampu melihat kebenaran peristiwa tersebut. Dengan demikian rezim itu setia kepada sesuatu yang bukan peristiwa, kepada suatu fantasi yang dibuatnya sendiri.