Mohon tunggu...
samsul anam
samsul anam Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah, Jagalah Aku dari Api Neraka

26 Juni 2016   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2016   10:50 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sholat subuh berjamaah usai, para jamaah Masjid Bani Abbas Singosari Kabupaten Malang pun mulai memisahkan diri dari barisan. Semua orang berlomba memulai aktivitas pagi mereka atau memilih kembali lagi dalam pelukan selimut.Tapi tidak dengan dua manusia di depan saya. Seorang pria bersama anak kecil berumur 7 tahun-an duduk bersebelahan. Ayah dan anak itu justru melanjutkan kegiatan subuh dengan menghafal beberapa ayat suci Al Quran. Hampir setiap hari ayah dan anak itu selalu disitu saat adzan sholat berkumandang hingga waktu dhuha menjelang. 

Tidak hanya setelah subuh usai, sambil menunggu iqomah berkumandang, si ayah rutin menghafal ayat-ayat suci Al Qur’an dan si anak sibuk membaca Al Quran. Meski bagi kami warga sekitar Masjid Bani Abbas itu adalah hal yang lumrah dilakukan. Mengingat anak-anak disini sudah tak asing lagi untuk menyibukkan diri di masjid. Tapi bagi saya, ayah dan anak itu selalu membuat saya terkesan dengan ketekunannya berlama-lama sowan di rumahnya Allah tersebut.

Saya memanggil pria yang lahir 40 tahun silam tersebut dengan Pak Abdullatif. Ayah 5 orang anak itu bekerja sebagai freelance programmer. Hal itu membuatnya mempunyai lebih banyak waktu bersama anak dan istrinya. Menjadi freelance adalah pilihan hidupnya. Bukan berarti beliau tidak mampu bekerja di perusahaan bonafit. Pria lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini lebih memilih jalan ini agar beliau bisa mempunyai lebih banyak waktu untuk ibadah dan berkumpul bersama keluarga. Baginya uang bisa dicari, mobil bisa dibeli, rumah rusak bisa dibangun tapi ketika gagal menjadi seorang ayah, gagal mendidik anak-anaknya maka hal itu tidak akan bisa terulang lagi selamanya.

Kebanyakan orang berpikir tugas utama seorang ayah adalah bekerja dan mencari uang. Namun ternyata hal itu bertentangan dengan apa yang diyakini Pak Abdullatif sebagai mana Firman Allah dalam Al Qur’an surat Tahrim : 6 “ Ya aiyuhalladzinaamanu ku anfusakum wa’ahlikum naroo.” Yang artinya, “Wahai orang iman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. 

Menurutnya mencari uang adalah satu bagian kecil dari tugas seorang ayah. Tugas pertama dan utama baginya adalah  menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Percuma punya karir yang bagus tapi anak istrinya tidak terurus. Terutama masalah ibadah dan agamanya. Percuma punya mobil mewah, rumah megah akan tetapi anaknya menjadi narapidana, pecandu narkoba, menjadi kotoran rakyat (korak). Bolehlah kita bekerja mendapat rezeki banyak namun harus diimbangi waktu berkualitas (quality time) untuk membimbing keluarga dan mendidik anak-anak. Itulah yang terus diyakininya hingga sekarang.

Ungkapnya lagi, “Tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Hadist tugas mendidik dan menanamkan keimanan serta ketauhidan adalah tugas ibu, Al Quran justru menjawab tugas penting itu berada di pundak Ayah sebagaimana kisah Lukman dan anaknya yang tercantum dalam Al Qur’an “Dan (ingatlah) ketika Luqman mendidik kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”.” (QS. Lukman: 13). 

Dari situ bisa diambil kesimpulan pula bahwa didikan pertama pada anak adalah didikan keimanan dan ketauhidan. Dan Al Qur’an pun makin menegaskannya dengan kisah Lukman. Jadi pendidik utama dalam keluarga adalah seorang ayah, tugas ibu hanyalah membantu tugas ayah selama ayah berjuang mencari rezeki dan itu tidak menggugurkan tugas ayah selaku pendidik utama.

Usaha paling nyata yang dilakukan beliau dalam masalah pendidikan agama adalah mengirim anak-anaknya untuk menimba ilmu agama di pondok pesantren. Tiga dari lima anaknya mengenyam pendidikan sekolah menengah saat mereka berada di pesantren. Hal itu membuat mereka menguasai ilmu dunia sekaligus menjaga mereka tetap taat pada ilmu akhirat mereka. 

Bagi orang tua, pasti berat melepas anak-anak yang disayang jauh tinggal di pondok pesantren tapi beliau ikhlas. Ini juga dilakukannya untuk melatih kemandirian agar mereka menjadi anak yang tahan uji dan bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dalam keadaan jauh dari orang tua. Dengan kesibukan menimba ilmu di sekolah dan di pesantren, hal ini juga sekaligus membuat si anak menjadi pandai dalam mengatur waktu, tenaga dan uang. Dari sinilah diperoleh anak yang sholeh, cerdas, dan mandiri. Ini juga terjadi karena kedua orang tuanya tidak melepaskan anaknya begitu saja. Mereka selalu mengontrol dengan rutin mengunjungi atau menghubungi pihak pesantren.

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan kasus bunuh diri seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang dilatarbelakangi nilai jelek yang didapatkannya. Lalu yang paling mengejutkan, di Medan seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) membunuh dosennya hanya karena dendam mendapat nilai jelek dan dimarahi tentang skripsi. Ini membuktikan bahwa anak-anak tersebut tidak kuat menghadapi ujian hidup. 

Tidak tahan dengan cobaan. Saat cobaan hidup menerpa, mereka merasa hidup mereka telah berakhir hingga mereka merasa terjepit dan memilih melakukan hal yang buruk untuk dengan cepat menyelesaikan masalah mereka. Padahal ada kehidupan setelah di dunia yang juga patut untuk diperjuangkan. Beberapa pertanyaan pun menggugah benak saya. Apakah kita sudah mengajarkan anak-anak kita untuk menyelesaikan masalahnya sendiri? Apakah kita sudah menanamkan pada anak-anak kita bahwa hidup itu ujian? Jika jawabannya belum maka patut untuk diinstropeksi. Dari kasus ini juga sebagai bukti pola mendidik kita perlu direvisi.

“Segala sesuatu tergantung imamnya”, menukil suatu hadist. Negara besar tergantung siapa pemimpinnya. Selama pemimpinnya baik maka rakyatpun baik. Andaikan pemimpinnya baik walaupun rakyatnya rusak masih bisa selamat. Sebaliknya entah rakyat baik atau tidak selama pemimpinnya jelek pasti negara itu akan rusak. Demikian pula keluarga itu tergantung imamnya. Selama imamnya baik, keadaan sehancur apapun keluarga masih bisa selamat. Sebab surgone wong wedok iku ngikut wong lanang, neroko pun katut (surganya seorang perempuan itu mengikuti suami, suami masuk neraka perempuan pun ikut).

Menurut warga sekitar, “Pak Abdullatif ini orang yang sholeh, sangat rajin sholat lima waktu dan selalu mengajak serta keluarganya. Selalu datang tepat waktu saat adzan berkumandang.” Beliau juga tidak lelah untuk menyebarkan apa yang diyakininya agar makin banyak para suami dan ayah yang tergerak untuk lebih baik membina keluarganya. 

Tema yang hampir selalu dibawakannya dalam pengajian adalah keharmonisan dan keromatisan keluarga, pentingnya pendidikan agama pada generasi penerus, perlunya kasih sayang dan cinta kasih dalam keluarga, saling memahami peran suami dan ayah, memahami peran istri dan ibu serta peran anak pada orang tuannya.

Pak Abdullatif adalah sosok sederhana yang begitu menginspirasi. Memberi contoh dengan keteladanan. Memberi nasehat dengan perbuatan. Orang yang sukses menjadikan anak-anaknya menjadi anak-anak yang sholeh, faqih, cerdas, berakhlakul kharimah dan mandiri. Dan berusaha sekuat tenaga menjaga dirinya dan menjaga keluarganya dari panasnya api neraka. (Samsul Anam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun