Dalam sebuah risalah di Wina, Sigmund Freud, bapak psikoanalisis itu menjelaskan bahwa masyarakat adalah racun bagi individu. Betapa tidak, masyarakat tidak pernah bisa memahami kebutuhan maupun kepentingan tiap individu. Lebih jauh lagi, peran dan kontribusi individu pada masyarakat akhirnya lenyap, kalau bukan absurd, karena masyarakat memang lebih mementingkan kolektifitas dalam dirinya.
Dapat dikatakan, bila Darwin melihat evolusi sebagai proses natural, maka Freud memahaminya sebagai proses sosial (kolektif). Dalam konsep Darwin, evolusi selalu bebas dari intervensi spesies lain (menjadi obyek evolusi itu sendiri) -- dan hanya determinan pada nature. Tetapi dalam konsep Freud, evolusi merupakan proses yang ditentukan watak spesies yang mengalaminya. Jika evolusi dalam skema Darwin menghasilkan 'wujud baru' eksistensi spesies, evolusi dalam skema Freud justru menguatkan eksistensi spesies dimaksud. Dan yang terutama dalam hal ini adalah manusia. Â Â Â Â Â Â Â
Jelas bagi Freud, kehidupan sosial (kelektif), atau secara sistemik disebut the social atau masyarakat, perubahan-perubahan sosial yang selalu terjadi didalamnya menyebabkan individu tidak lagi menjadi diri sendiri. Alih-alih membuat individu menjadi lebih baik akibat perubahan itu, yang terjadi justru sebaliknya: proses evolusi membuat individu kebingungan dan akhirnya mengalami gangguan mental (psikis). Ini terjadi karena masyarakat menuntut individu menyesuaikan diri dengan realitas sosial, kendati tuntutan yang dimaksud lebih sering tidak sesuai kepribadiannya. Lebih lagi, tekanan untuk memenuhi tuntutan sosial sebetulnya mengarah pada upaya pengagungan masyarakat -- atau bahkan penyucian identitas kolektif. Yang barusan, tentu saja, saya kolaborasikan denga pendapat Durkheim, sehingga dengan begitu saya tidak bermaksud memposisikan individu sebagai makhluk unik dan mulia; tetapi toh pada kenyatannya kondisi seperti itu juga bisa saja terjadi. Â Â Â Â
Pengantar di atas menjadi semacam teori yang saya gunakan untuk memahami dua peristiwa besar kurang lebih sebulan lalu. Yakni terpilihnya KH. Yahya Staquf sebagai Ketua Umum PB NU, dan haul Gus Dur ke-12. Diimbuhi pula bahwa 27 Januari 2022, tepat setahun Jenderal Listyo Sigit Prabowo dilantik sebagai Kapolri. Meskipun untuk yang terakhir lebih banyak didasarkan tontonan saya atas acara POLICE setiap malam pukul 19.00 di Trans-7.
***********
KH Yahya Staquf mengatakan bahwa visi kepemimpinannya adalah menghidupkan kembali misi Gus Dur setelah meninggal 12 tahun lalu. Tidak heran jika dia memilih Bupati Pasuruan, Syaifullah Yusuf, sebagai sekretaris jenderal dengan hampir 200 orang pengurus dari seluruh Indonesia. Bagi saya, ini adalah persiapan jauh untuk jabatan wakil presiden 2024, sekaligus upaya "menghabisi" kelompok kadrun yang lebih berbahaya tinimbang buzzer RI
Karena Gus Dur semasa hidupnya melihat masyarakat tanpa kategorisasi dan sama sekali tidak sistematis. Mungkin karena itu pula Gus Dur sering melontarkan humor supaya tindak tanduknya tidak perlu ditafsirkan lain, termasuk ketika bercelana pendek saat meninggalkan Istana Merdeka, 23 Juli 2001.
Sebab Gus Dur menjadi presiden tanpa modal. Kalaupun harus dipaksa dengan modal, dia bilang tentu saja modal dengkul Amien Rais. Meski begitu, 5 orang kyai sepuh di Jawa sudah meramalkan kepresidenannya tidak bertahan lama. Toh dia tidak peduli. Masyarakat ini penakut, seperti mudahnya ditakut-takuti Orde Baru. Seperti juga ketidak-peduliannya atas pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.
Dia berkeliling ke 80 negara selama 2 tahun. Karena sejak 1999, kapal karam bernama Indonesia hampir pecah. Bukan sekadar moral hazard, bukan pula memanfaatkan kesempitan, katanya. Sebagai putra mantan menteri agama, traveling adalah soal lumrah baginya, yang dilakoni sejak 1964.
Gus Dur berbicara dengan Presiden Clinton, sekaligus me-lobby Raja Fahd dari Saudi. Dia juga berhasil membuat Fidel Castro tertawa, dengan mengatakan bahwa orang-orang yang memilihnya sebenarnya diliputi kegilaan tiada tara, mirip siswa-siswi Taman Kanak-kanak di Senayan yang selalu dikritiknya sampai jatuh.
Sejak Hadratus Syech Hasyim As'hari melahirkannya (1926), Nahdlatul Ulama memang merupakan katalisator tak tergantikan dalam panggung politik nasional. Meskipun Muhammadiyah mendahuluinya tahun 1912, NU adalah roh yang menaungi jiwa Indonesia. Bahkan boleh dikatakan, pertumbuhan NU adalah perkembangan sosial Indonesia. Tanyakanlah pada Einar Sitompul, seorang pendeta HKBP yang menulis tesis tentang NU sejak tahun 1989.
Maka ketika NU diubek-ubek Negara tahun 1996, dia menghadapi dengan serius tapi santai. AS Hikam -- yang baru pulang dari Hawaii, dimintanya untuk menjelaskan keadaan. Dan menjadi analisis paling komprehensif di tangan NU mengenai hubungan masyarakat dengan negara. Mungkin saja Gus Yahya akan menggunakannya sebagai blue print yang lebih meyakinkan tinimbang konsep syariah yang tidak pernah berangkat dari kondisi riil.
Kita lihat, bagaimana NU di bawah kepemimpinan KH Yahya Staquf, termasuk tafsirnya mengenai zaman keterbukaan dengan seluruh konsekuensinya pada masyarakat lapisan Bawah. Bukankah Gus Dur dulu selalu mengkritik Orde Baru yang disebutnya mampu membuat orang Indonesia tidak bisa membuka mulut, hingga harus selalu berobat ke dokter gigi ke Singapura?
**********
Bersamaan dengan itu, tindakan Jenderal LSP -- melalui semboyan 'Presisi', seolah mampu menggantikan HTI dan FPI (sudah dibubarkan) yang sering memakai pedang untuk menakut-nakuti patologi sosial. Tetapi saya melihat sebaliknya. Bukannya memberantas penyakit sosial, tetapi polisi justru mempertontonkan kebodohan sendiri.
Akhirnya Jenderal LSP meminta persoalan di tingkat Bawah diselesaikan pada tingkat polsek dan polres saja. Tidak harus "No Viral, No Justice", seperti dikeluhkan orang banyak selama ini. Jika Kebebasan mengikuti Moral, konsekuensinya memang seperti itu. Manusia tidak bertanggung-jawab pada dirinya sendiri, tetapi kemudian melihat Agama sebagai katalisator dengan semua problematiknya di zaman globalisasi seterbuka ini.
Tetapi itulah masyarakat Indonesia, seperti dijelaskan Gus Dur berpuluh tahun lalu. Kita mungkin tidak pernah dididik untuk menghargai orang lain, sebagaimana kita harus menghargai diri sendiri. Dalam bidang maupun skala apapun. Terima Kasih.
**********
Saya pun teringat kata-kata Clifford Gertz, yang ditulisnya tahun 1973 ...
"Dengan percaya pada Max Weber, bahwa setiap individu adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan makna yang ditentukannya, menangkap Tacit Knowledge-nya...analisis model ini merupakan ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna..."
Maka lahirlah Thick Description. Sebuah Metode.
Hormat dan SalamÂ
Bacaan:
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (2010).
Clifford Gertz, The Interpretation of Culture (1978).
Greg Berton, Gus Dur (2012).
Yahya Staquf, NU Pasca Gus Dur (2004).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H