Adalah penyerbuan Falatehan terhadap Sunda Kelapa dan mengubah namanya menjadi Jayakarta, yang membuat seseorang terkesima sehingga menjadikan 12 Rabiul Awal itu sebagai tanggal lahir sebuah kota bernama Jakarta. Siapakah Falatehan? Menurut Muh. Yamin dia adalah seorang ulama Banten terkenal pada masanya, yang tindakannnya melebihi seorang raja. Wallahuallambissawab...
Menurut informasi terpercaya, kota ini sebenarnya diperuntukkan bagi maksimal 900.000 jiwa. Lebih dari itu, pasti menimbulkan malapetaka. Apalagi saat Jakarta sudah berpenduduk 14 juta jiwa (malam) seperti sekarang ini, masalah sosial pasti muncul dan mungkin suatu kewajaran akibat urbanisasi. Tetapi soalannya, apakah masih mungkin memberi solusi?
==========
Saat ditunjuk Soekarno sebagai gubernur tahun 1966, Ali Sadikin dipesankan agar menata kota ini sebagai etalase Indonesia  (Demi Jakarta, 1992). Ali Sadikin melaksanakan tugas itu dengan sungguh, tetapi tanpa anggaran yang tersedia dengan cukup.Â
Alhasil Ali Sadikin mengelola pelacuran dan perjudian untuk mencapai dana bagi perbaikan kota. Saluran-saluran air diperbaiki, begitu pula pendirian taman-taman budaya, TIM dan Gelanggang-gelanggang Remaja. Meski tak mampu mengurangi jumlah penduduk, paling tidak Sadikin masih berusaha keras menjadikan kota ini sebagai cagar budaya.Â
Ketika saya menjadi penduduk kota ini (1993), Jakarta sudah berpenduduk 8 Juta jiwa, tetapi orang masih suka menjadikan terminal Grogol sebagai tempat pemutaran sembarang. Begitu pula Tanah Abang.Â
Pasar Senen masih berupa proyek dan kriminalitas terjadi hampir setiap malam. Padahal sebelumnya Gubernur Wiyogo Admodarminto mencanangkan kota ini sebagai BMW (Bersih Manusiawi dan Wibawa). Orang Indonesia memang suka jargon. Tahun 1979 saya masih sempat menyaksikan bagaimana pembangunan rel kereta Cikini "diangkat" ke atas, menyisakan sebuah pasar yang tetap semrawut sampai sekarang. Taman Ria masih berada di Monas, dan Presiden Barack Obama pernah pula menjadi penduduk Jakarta (1967).
Mungkin kawasan menteng (Jl. Diponegoro) tidak pernah disentuh, kecuali sebuah pojokan yang menjadi rumah dinas gubernur dan rumah dinas wakil presiden. Rumah dinas Hatta dan KSAL masih sama seperti dulu, juga pasar antik di Jl. Surabaya. Dan akhirnya saya harus menjelaskan bahwa sejak 1996 (kudatuli), segalanya diubah. Apalagi sejak Pak Harto turun, Jakarta mengubah wajahnya.
===========
Itu artinya batas-batas Jakarta sejak kerusahan rasial abad XVIII hingga akhir abad XX memang berubah, tetapi tidak dengan pembangunan kota yang semakin manusiawi. Kali Ciliwung masih saja kotor dan dijejali pemukiman masif. Orang-orang masih membuang sampah sembarangan ke sungai itu dan tahun 1997 banjir besar melanda kota ini, menjadi siklus 4 tahun.Â