Setelah the Origins of Family menjadi "tingkah laku bersama yang tak harus dihayati secara tertulis", darimana manusia menjelaskan dirinya sebagai komunitas mula-mula? Harari's Chapters memang menjelaskan bagaimana Sapiens membentuk kelompok, tetapi dia agaknya tak memberi minat khusus tentang [M]asyarakat yang secara genuine melahirkan keyakinan. Sementara Enuma Elish dari kawasan Bulan Sabit Babylonia telah memetakan sebuah landscape sederhana paling awal: Codex Hammurabi bersama mitos-mitos pengaturan orang banyak telah diketahui jauh sebelum Yunani.
Namun tetap harus menjadi soal, Babylonia tak banyak menulis. Catatan itu tak mengalir sampai jauh, pun jika hanya mengandalkan ingatan kolektif manusia ~ yang pasti sangat terbatas. Maka nun jauh di sana, di sebuah sudut muka bumi Nusantara, ribuan tahun sesudahnya Pramoedya Ananta Toer mengingatkan pentingnya tulisan justru setelah manusia tak lagi peduli dengan aksara..
========
Setelah mengalami dari dekat berbagai tulah "tak berperikemanusiaan", komunitas Habiru (kemudian menyebut dirinya Hebrew) itu kemudian meninggalkan daratan landai sepanjang Sungai Nil. Seorang lelaki ~ yang konon tampak garang tetapi sebenarnya melankolis ~ mendorong mereka mencapai sebuah Tanah Perjanjian berlimpah madu & susu.
Setidaknya begitulah menurut Sigmund Freud. Ditemukan putri bangsawan saat kurang dari sebulan, diangkat dari permukaan Sungai Nil yang hanyut bersama sebuah keranjang rang-rang, lelaki itu kemudian diberi nama Ptah-Mose, sebuah nama yang "sangat udik" sekaligus "sangat lelaki". Mungkin lebih mirip Ucok ataupun Udin tinimbang Gus. Tetapi Freud tak menceritkan ihwal ibu biologisnya, yang 'terpaksa bertindak' dan sangat revolusioner dalam arti sebenarnya.
Melalui berbagai "pengkondisian padang gurun' yang makin mematangkan nalurinya, lelaki itu akhirnya berani menantang penguasa Mesir. Namun dalam Moses and Monotheism, Freud tegas menunjukkan bahwa gagasan tentang SATU TUHAN sebetulnya belum cukup meyakinkan pada figur Musa kedua ini. "Tetapi dapat dikatakan bahwa perlawanan Musa terhadap Firaun yang selalu menunjuk ke Atas (verb/kata kerja) sangat menginspirasinya, dan seharusnya juga menginpirasi orang-orang Habiru itu. Sebuah inspirasi yang nantinya ~ dalam versi kitab suci atawa Musa figur ketiga ~ akan semakin menemukan bentuk, makna dan tujuan yang lebih konkret.
Tetapi bagaimana manusia modern menjelaskan perjalanan Bangsa Hebrew melintasi gurun Afrika Utara hingga Asia Barat selama 40 tahun? Adakah kontinuitas narasi yang tetap aktual sepanjang 32 abad? Apakah Holyland Tours sebuah jembatan iman otentik?
Bagi para sarjana (bdk. Ord, Lang & Gottwald], kita sesungguhnya tidak bisa memperoleh gambaran yang cukup faktual sekaligus reflektif mengenai Exodus tanpa menerima secara terbuka hubungannya dengan sebuah Involusi Pertanian bahkan Revolusi Sosial. Pesakh ataupun Paska bukanlah sekadar peristiwa hampa.
==========
Sebab kita semua tahu bahwa Mesir di bawah Akhnaton adalah Negara Super Power; sementara kawasan Timur Tengah saat itu masih dipenuhi para bandits, kelompok-kelompok preman dan jawara-jawara Padang Pasir yang saling berebut kuasa jarahan. Dalam kondisi demikian, polisi-polisi perbatasan Mesir tentu menjadi lawan tangguh mereka.
Tidak bisa lain, pengorganisasian sekaligus legitimasi ilahi harus menjadi senjata utama melawan Sang Tiran, sebuah ide yang terinspirasi justru dari Mesir sendiri. Maka, kerajaan-kerajaan awal (dan tertua) di Yabes harus menguji rasa percaya diri mereka, bahkan harus melampaui para pendahulu yang telah gagah berani "mengganggu Mesir", termasuk dengan mempengaruhi budak-budak (slaves) yang dijuluki Habiru. Sistem kerja Corvee harus pula menjadi bahan pelajaran yang jangan sampai terulang.