Realitas demokrasi hari ini sangat sulit ditafsirkan dari demokrasi yang sesungguhnya. Namun kita berbicara realitas sesungguhnya tidak mungkin akan diterapkan di negeri yang kaya suku, dan budaya, tak terlupakan juga adalah agama sebagai bagian yang dapat mewarnai tumbuh berkembangnya demokrasi.
Prof. Anwar Arifin (dlm bukunya Opini Publik) ia menerangkan bahwa demokrasi yang kita anut adalah demokrasi Pancasila, yang memberikan potret dari berbagai perbedaan itu menjadi satu kesatuan utuh dalam bingkai Pancasila, sehingga proses dari demokrasi berlangsung selalu memberikan cermin dari nilai perbedaan yang ada.
Sejak bergulirnya reformasi dapat memberikan kesuburan yang baik untuk tumbuh kembangnya demokrasi Pancasila, dan setelah reformasi, demokrasi yang kita impikan itu diperkuat lagi dalam konstitusi kita, yakni di atur dalam pasal 28 UU 1945 yang di mana memberikan ruang kepada warga negara untuk berkumpul, berserikat, menyampaikan pikiran dan pendapat.
Namun demokrasi yang diperkuat dengan konstitusi tersebut rasanya demokrasi kita hanya bersifat prosedural, di mana demkrasi yang dipahami sebatas pergantian kekuasaan lima tahunan semata, dipresepsikan masyarakat hanya menggunakan haknya suarahnya saat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Namun hak menyampaikan pendapat, krititkan di media, baik itu media mainstream, maupun di sosial media tidak begitu mendapat perhatian dalam kerangka demokrasi.
Dalam konteks aksiologi dari demokrasi ini banyak sekali pihak yang pada akhirnya berhubungan dengan hukum dalam proses penyelesain masalah yang berkaitan dengan hak menyampaikan pendapat, kritik, dan saran. Sehingga masyarakat melihat problem seperti ini pada akhirnya takut bersuarah dalam ruang demokrasi, di mana dalam ruang demokrasi ada nuansa sirkulasi komunikasi yang tidak produktif dan terkesan kaku saat rakyat menyampaipakan hak hak mereka selaku warga negara.
Potret panggung demokrasi yang seharusnya menjamin warga negara berani berserikat, berkumpul, menyapaikan pikiran baik kritik maupun saran dapat dilindungi (pasal 28). Akan tetapi malah sebaliknya, demokrasi hanya bersifat prosedural lima tahunan, namun abai dari hlhakikat demoktrasi yang lain.
Demokrasi harus dilihat sebagai saranah untuk membuka jalan pikiran warga negara, agar mereka bisa berpartisipasi dalam membangun suatu peradaban demokrasi yang baik. Kualitas suatu negara yang baik  maka dapat dipastikan ada praktek demokrasi yang baik pula, yang di mana di dalamnya terdapat kepastian ruang untuk menyampaikan saran, kritik dari warganya.
Jangan dilihat kritik dan saran dari masyarakat sebagai suatu ancaman, tapi dilihat sebagai hal yang positif untuk membangun tatanan dan kultur demokrasi yang baik. Artinya kritik dan saran dalam ruang demokrasi dapat mensuport majunya suatu bangsa dan menghidupkan partisipasi masyarakat untuk memberikan perhatian terhadap majunya suatu bangsa.
Masyarakat merasa diberi peran untuk berpartisipasi dalam mengontrol jalannya suatu pemerintahan, sehingga suatu pemerintahan mengalami kemajuan karena dapat mengakomodir aspirasi suatu masyarakat.
Namun ketika hak menyampaikan saran kritik dibungkam dengan alasan stabilitas suatu negara tidak stabil, atau karena dianggap sebagai suatu acaman atas jalannya proses pemerintahan, maka dapat dipastikan demokrasi yang kita elukan itu mengarah pada mokrasi yang tidak mencerminkan suburnya suatu demokrasi.
Sebab monokrasi terdapat kecendrungan kekuasaan mengendalikan demokrasi sesuai dengan seleranya, nah rakayat tidak ingin hidup dalam suatu negara yang demokrasi, tetapi sebagian hak demokrasinya terabaikan.