Attaturk - Palestina dan Inggris:
Sejarah, Konflik dan Kemerdekaan
Oleh : Sampe L. Purba
Latar Belakang
Pada awal abad ke-20, Kesultanan Utsmaniyah mengalami kemunduran dan kehilangan pengaruhnya di Timur Tengah. Meskipun aliansi dengan Jerman dan Austro-Hungaria pada Perang Dunia I membantu modernisasi angkatan bersenjata, infrastruktur, dan industri, kekuatan Ottoman di Terusan Suez menjadi perhatian strategis Inggris. Kondisi ini semakin memburuk setelah Perang Balkan (1912-1913), yang melemahkan kekuatan Ottoman dan memperburuk pengaruh mereka di wilayah tersebut.
Perang Dunia I dan Mandat Sekutu
Kekalahan Blok Sentral (termasuk Kesultanan Utsmaniyah) dalam Perang Dunia I mengubah peta kekuatan global. Sebagai akibatnya, Kesultanan Utsmaniyah kehilangan wilayahnya di Balkan dan Timur Tengah.
Pada tahun 1920, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) memberikan mandat kepada Inggris untuk mengelola Palestina, sementara Perancis mengelola Lebanon dan Suriah, yang menandai awal pengaruh besar negara-negara Barat di kawasan tersebut.
Nasionalisme Arab dan Peran Syarif Mekkah
Syarif Hussein bin Ali, yang berdarah campuran Arab-Turki, memimpin Pemberontakan Arab melawan Kesultanan Utsmaniyah dengan dukungan Inggris. Pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap dominasi Utsmaniyah dan ambisi untuk menciptakan negara merdeka bagi bangsa Arab.
Inggris menjanjikan dukungan terhadap kemerdekaan Arab melalui perjanjian seperti Sykes-Picot (1916), namun, setelah perang, Inggris juga berkomitmen pada kebijakan yang berkonflik dengan janji tersebut, seperti Deklarasi Balfour (1917), yang mendukung pembentukan "rumah nasional" bagi orang Yahudi di Palestina. Hal ini menyebabkan ketegangan antara negara-negara Arab dan komunitas Yahudi.