Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

The Tale of Sepatu Butut

2 September 2019   18:31 Diperbarui: 2 September 2019   18:38 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Story of my life (1) 

Tetiba saya mau tuliskan mozaik-mozaik etape kehidupanku secara tematik. Tidak berurutan, tergantung yang melintas saja. Kali ini bertema the tale of sepatu butut.

Hari itu, 17 Agustus 1987. Kapal KMP Kambuna itu menggulung sauh pelan pelan memutar haluan meninggalkan pantai Belawan, diiringi musik tiup, drum dan terompet yang memecah angkasa ... Vaya Condious ....vaya condious my love. Lagu yang mengaduk aduk dan mengharu birukan perasaan.

Berdiri berdesakan di pinggiran sandaran sisian kapal, 1.500 an orang penumpang menatap ke arah kerumunan ribuan pengantar. Ada orang tua, keluarga, sahabat dan kekasih yang lama lama terlihat semakin mengecil seiring jarak kapal yang semakin ke tengah. Tidak jauh di sebelah saya berdiri seorang wanita sesenggukan memegang erat ujung robekan sapu tangan sambil melambai ke arah pemuda di darat yang memegang belahan saputangan sebelah lagi.

Dari geladak atas kapal saya menyaksikan ibu saya berurai air mata. Diam di tempat dengan tangan yang setengah melambai. Pandangannya seperti kosong dan syahdu. Tidak berkedip. 

Memberangkatkan anak pertama ke rantau nan jauh di seberang lautan. Adapun Bapak, para sahabat dan keluarga dekat memberikan gestur menguatkan saya termasuk menunjuk ke arah langit dan melipat tangan. Maksudnya untuk berserah ke Tuhan agar selamat di perjalanan dan sukses di perantauan.

Mereka, terutama ibu saya sangat kuatir. Mereka pantas kuatir. Beberapa hari sebelum keberangkatan, ada kerabat yang datang dari Jakarta ketemu di kampung. Beliau cerita bahwa di kapal banyak copet, penjahat atau tukang sihir. Jadi harus hati hati. Dia menawari kalau mau ke Jakarta bareng saja berangkatnya. Bisa tinggal di rumahnya beberapa waktu.

Saya telah lama mengenalnya. Di atas umur saya beberapa tahun. Dia dahulu bersekolah ST di kampung kami (semacam sekolah menengah kejuruan). Kami undang dia makan ke rumah. Potong ayam. Kami senang dan menyesuaikan tiket dengan tanggal yang disebutkannya.

Kami bareng ke Medan. Saya dan orangtua menginap di tempat Saudara dari pihak ibu. Sementara kawan itu, permisi untuk suatu keperluan, dan janjian ketemuan di Belawan.

Eh...sesampai di Belawan beliau tidak kelihatan. Pada hal kapal sudah mau berangkat. Saya sih tidak panik, karena alamat utama tujuan sudah saya pegang. Dan saya bersyukur, tidak mau menitipkan uang bekal merantau saya untuk dipegang amankannya. 

(Pemirsa, saya melihat ybs di Jakarta beberapa tahun kemudian, hanya satu kali. Itupun dia tidak melihat saya. Ketemunya di tempat melayat. Yang meninggal itu, ya beliau).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun