Indonesia -- yang dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik, merupakan daerah yang kaya akan gunung api. Tidak kurang dari 127 Gunung api aktif, 69 dipantau secara intensif, dari 75 pos pengamatan. Gunung api kita bervariasi. Ada  yang menjulang ke angkasa langit biru, tetapi ada  juga yang tersembunyi beberapa meter di bawah permukaan laut, yang hanya dapat dikenali mata awam dari buih riak panas beraroma belerang di sekitarnya. Seperti anak gadis yang bersenandung malu malu di keabadian.
Para pengamat gunung api  dengan tekun memandangi puncak gunung yang sama setiap hari setiap malam berbilang bulan. Secara rutin berkala mengukur tremor, suhu, dan gejala vulkanik lainnya termasuk perilaku hewan sekitar, untuk menentukan status gunung apakah pada level aktif normal, waspada, siaga atau awas .Â
Menjelang liburan besar seperti Lebaran, Natal dan Tahun baru, ketika sebagian besar masyarakat kita bergembira ria berwisata ke laut, ke gunung atau sekedar ke mall, mereka - para abdi di gunung api ini, justru waspada dan siaga memastikan semua berjalan baik dan manageable. Â
Merekalah para pengabdi di jalan sunyi. Pak Kasbani -- Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi -- Kementerian ESDM, yang secara teknis membawahi gunung api, dengan bangga mengungkapkan, di antara para pegawainya, terdapat tidak kurang dari 60 orang Sarjana S2 -- S3 lulusan Universitas terkemuka dari luar negeri dan dalam negeri, setia mengawak gawangi profesi ini tanpa pamrih.
Mereka adalah orang orang hebat. Pak Kasbani sendiri, baru saja mendapatkan Anugerah ASN Â sepuluh terbaik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Teladan 2018, dari antara sekitar empat setengah juta ASN Republik Indonesia. Amazing bukan ?
Pak Ignasius Jonan -- Menteri ESDM, beberapa saat  setelah  bersafari one day full di berbagai event dengan jadwal ketat,  termasuk memberi kuliah umum Kemandirian Energi kepada para Taruna Muda Akademi Angkatan Udara Yogyakarta, di tengah gerimis tipis menembus temaramnya malam, mengunjungi Pos Pengamatan Gunung Api Merapi, di Kaliurang beberapa hari yang lalu.
Beliau paham, kehadiran seorang Bapak di antara anak-anaknya  akan memompakan semangat dan energi terbarukan. Pak Jonan, selalu menyempatkan diri mengunjungi pasukannya di pos-pos terdepan.Â
Berkali-kali. Ini mengingatkan saya kepada Jenderal Napoleon Bonaparte, yang mengunjungi pasukan terdepannya, tak peduli dihadang dinginnya salju dan terjalnya medan. Bung Karno, Presiden Pertama kita juga  tercatat mengunjungi Pos Pengamatan Gunung Merapi, pada tahun 1950, hanya satu tahun setelah Republik Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan full.
Di lereng Gunung itu, di antara hembusan tipis angin gunung, setelah menerima laporan status gunung berapi dan kesiapan  pasukan menyongsong liburan panjang dari SesDitJen Badan Geologi, Pak Jonan bercengkerama sambil makan malam, minum kopi dan membelah durian bersama anak-anaknya. Tidak berjarak. Ada ibu ibu setengah baya, ada anak anak muda yang mengawak pantau gunung-gunung aktif di Jawa Tengah dan Timur, seperti Gunung Slamet, Gunung Dieng, Gunung Sindoro dan Gunung Kelud.Â
Seorang anak muda, dengan mata berbinar malah meminta pak Menteri untuk menjewer kupingnya dengan jenaka. Anak muda ini pastilah akan sangat terkesan dengan momen itu seraya memamerkannya di WA grupnya. A life time moment. Kita bicara dalam bahasa cinta, tanpa suara tanpa sepatah kata - seperti lirik lagu Vina Panduwinata.
Di zaman Pak Jonan - sebagaimana beliau lakukan sebelumnya di Kereta Api, Pelabuhan dan Bandara terpencil - pos pos pengamatan gunung api direhab dan bangun secara manusiawi. Ada ruang display elektronik yang terhubung dengan Pusat Pengendalian di Bandung, ruang kerja yang manusiawi, juga beberapa bangku panjang di halaman luar. Itu semua membuktikan bahwa Pemerintah tidak melupakan anak anaknya, walau jauh terpencil ditemani suara burung hantu, imbo dan ayam hutan.