Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Memahami Pertimbangan Hukum Hakim Sarpin

21 Februari 2015   23:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Sampe L. Purba

Putusan Pra Peradilan atas permohonan KomJen Budi Gunawan (pemohon) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi – KPK (termohon) yang diperiksa, diadili dan diputus oleh Hakim Sarpin Rizaldi pada tanggal 16 Pebruari 2015 pada intinya menyatakan bahwa penetapan tersangka atas diri pemohon oleh termohon adalah tidak sah. Terlepas dari terbelahnya pendapat para ahli hukum dan awam hukum atas amar putusan tersebut, tulisan ini mencoba mengulas sisi pertimbangan hukumnya.

Tujuan Pra Peradilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, agar tindakan upaya paksa oleh penegak hukum (seperti penangkapan, penahanan maupun penghentian penyidikan dan penuntutan) dijalankan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. Tersangka bukanlah suatu objek yang harus mempertahankan diri dari suatu tuduhan (inquisitoir)., tetapi harus dimaknai sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan seimbang dalam pertarungan hukum (rechtsstrijdt) dengan aparat penegak hukum (aqusatoir).

Karena itu dalam pra peradilan yang diuji adalah proses (asas formal)., BUKAN substansi (hukum material) atas yang disangkakan. Asas formal yang harus terpenuhi ada tiga. Pertama apakah orang yang disangka memenuhi syarat subjektif sebagai objek sangkaan, kedua apakah peristiwa yang disangkakan adalah peristiwa pidana yang dimaksud, dan ketiga apakah lembaga yang mentersangkakan memiliki kewenangan,

Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana dalam lingkup peradilan umum. Terdapat tiga instansi resmi yang berwenang menangani tindak pidana tersebut, yaitu kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemeriksaan Korupsi. Agar tidak terjadi tumpang tindih atau pembiaran maka secara substantif harus dipahami dua hal, yaitu dasar lingkup kewenangan masing-masing instansi, dan mekanisme dalam hal ada suatu peristiwa pidana yang memiliki titik taut dalam lingkup kewenangan ketiga instansi itu.

Untuk memahami peristiwa hukum ini, kita perlu membaca dengan cermat lima undang-undang, yaitu Undang-Undang no. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme ( UU KKN), Undang-undang 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ( UU Kepolisian), Undang-undang 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP), Undang-undang no. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-undang 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ( UU Kehakiman).

Pasal 2 UU KKN membatasi kategori Penyelenggara Negara hanya tujuh jabatan. Kategori yang ketujuh disebut pejabat lain yang memiliki fungsi strategis.Di antaranya adalah pejabat eselon satu atau yang dipersamakan dengan itu di lingkungan sipil, militer dan kepolisian; jaksa, penyidik, panitera pengadilan, pemimpin dan bendaharawan proyek. PERHATIKAN. ! Semua jaksa adalah Penyelenggara Negara, tetapi tidak semua polisi merupakan penyelenggara Negara. Hanya Eselon satu dan Penyidik. Itulah bunyi undang-undang! Kenapa demikian ? Tanyalah pembuat undang-undang. Jangan salahkan hakim Sarpin.

Dalam Undang-undang KPK pasal 6 terdapat lima tugas KPK. Satu diantaranya (pasal 6 c) yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. CATAT. Itu adalah tugas, bukan kewenangan. Kewenangan terhadap pasal 6c diatur dalam pasal 11, yaitu :

a.melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan  tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b.mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c.menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Kenapa kewenangan tersebut ada segregasi dan segmentasi?. Seperti dalam awal tulisan ini, karena dua instansi lainnya juga memiliki kewenangan dalam menyelidiki, menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi. Salah satu tujuan hukum adalah untuk menyelenggarakan tertib hukum. Termasuk tertib dalam mengatur siapa berwenang melakukan apa dan dengan cara bagaimana.

Hakim Sarpin dalam pertimbangan hukumnya membahas dan mengulas satu demi satu terhadap kewenangan di atas, dengan memperhatikan tempat (locus), waktu (tempus) dan magnitude jumlah dan peristiwanya.

Siapakah aparat penegak hukum?. Tidak ada undang-undang yang menjelaskan hal ini. Pasal 6 Undang-undang Kepolisian menyatakan fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pengertian penegak hukum, dilakukan dengan pendekatan terhadap apa yang dimaksud dengan penegakan hukum. KUHAP dan UU Kepolisian dapat memberikan jawaban untuk itu. Dalam KUHAP dijelaskan dan didefinisikan kegiatan penegakan hukum, seperti penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan (termasuk pembelaan) di sidang pengadilan, dan eksekusi.

Sepanjang terlibat dalam kegiatan tersebut di atas, dapat dimaknai itu adalah aparat penegak hukum. Namun untuk itu harus dengan penetapan khusus. UU KUHAP pasal 1 berbunyi Penyidik adalah pejabat polisi Negara RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan. Penyelidik adalah pejabat polisi Negara RI yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.Di manakah penetapannya ?. Pasal 12 Undang undang Kepolisian menyatakan jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang pejabatnya diangkat dengan Keputusan Kapolri. Jabatan fungsional lainnya di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia ditentukan dengan Keputusan Kapolri.

Pertanyaan yang secara cynical diajukan sekalangan masyarakat adalah, apakah seorang polisi yang tugas pokok dan fungsinya tidak melakukan kegiatan penegakan hukum tetap dapat disebut penegak hukum?. Kiranya penjelasan pasal-pasal di atas dapat menolong memberi jawaban untuk itu. Analog misalnya, apakah semua orang yang merupakan anggota organisasi PSSI merupakan pemain sepak bola ?

Terhadap lingkup kewenangan pra peradilan yang sangat limitatif dalam KUHAP Pasal 77 – 81 yang mulia hakim Sarpin mendekatinya dari filosofi, doktrin dan fungsi hukum. Tujuan hukum adalah untuk memberikan perlindungan, kepastian hukum dan keadilan. Keadilan bagi penegak hukum dan pencari keadilan.

Berdasarkan UU Kehakiman pasal 10, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Selain itu hakim juga wajib menggali nilai-nilai yang timbul dalam masyarakat. Hakim harus dianggap tahu hukum (ius curia novit)., dan harus memberi keadilan dengan menggali fakta, berdasar hukum, menemukan hukum dan meyakininya. Ada ungkapan – berikan saya faktanya, saya akan memberimu hukum da mihi factum, dabo tibi ius. Atas dasar itulah hakim Sarpin mencoba menemukan hukum (rechtsvinding), untuk mengisi kekosongan hukum dalam menegakkan keadilan, mana kala ada pembatasan yang sangat definitif dan limitatif dalam suatu undang-undang.

Hakim adalah profesi yang oleh Undang-undang diberi kewenangan menegakkan keadilan, memberi kepastian hukum dan ketertiban hukum dengan membawa nama yang Ilahi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam memutus perkara, tidak saja berdasarkan fakta-fakta hukum, dan undang-undang, tetapi juga harus ditambah dengan keyakinan hakim. Itulah bunyi undang-undang kita.

Sepanjang menyangkut perlindungan terhadap terperiksa, tersangka dan terdakwa, KUHAP setidaknya memiliki tiga bolong besar yang harus ditambal dan disempurnakan. Yaitu yang pertama mengenai kriteria cukup dan memadainya alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, kedua berapa lama seseorang dinyatakan sebagai tersangka baru akan dilimpahkan ke pengadilan, dan ketiga dalam hal terdapat kekeliruan dalam penetapan tersangka di lembaga dan dengan cara bagaimana mengoreksinya.

Terlepas kontroversi di sebagian kalangan atas putusan Pra Peradilan di atas, Yang Mulia Hakim Sarpin Rizaldi telah menambal satu dari ketiga bolong tersebut. Sejarah akan mencatat itu.

Jakarta, 20 Pebruari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun