Mohon tunggu...
Sampean Sampean
Sampean Sampean Mohon Tunggu... Petani - paranalar.com

Pecinta Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jamuan Para Petani

20 Mei 2019   14:09 Diperbarui: 20 Mei 2019   14:29 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selama 2017-2019, aku melakoni kerja sambilan sebagai lelaki panggilan di tengah kikuk penyelesaian tesis. Lakon lelaki panggilan, aku perankan sebagai asisten peneliti Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB), sesekali juga dipanggil sebagai teman hidup peneliti yang lain. Di sinilah bermula, rangkaian perjalanan penelitian menikmati jamuan para petani di beberapa wilayah di Indonesia.

Kesaksian perjalanan penelitian, pikiranku berusaha meminang ide dari jamuan-jamuan petani yang lezat dan galak tawa yang hangat. Rangkaian perjalanan penelitian itu sebagai tapak tilas pertanian di beberapa wilayah Indonesia : Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Kota Cilegon, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lebak, Banten, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat mengenalkan wajah-wajah pertanian di wilayah tersebut, wajah-wajah yang muram, menua, bahkan mati tergilas arus industri. Cerita yang terungkai, lebur sebagai kenangan sepat, pahit, dan manis. Setiap wilayah punya cerita yang berbeda dengan masalah hampir serupa.

Cerita yang tersusun bagai mozaik ingatan, meruntuhkan wibawa sebagai orang terdidik. Aku datang sebagai pesohor, jawaban atas keluh-kesah yang terpendam dari lubuk para petani. Aku merampungkan cerita mereka dalam catatan lapang dan sebentuk laporan atas kehidupan yang mereka tirakati. Apa yang patut aku tuliskan tentang petani ? Petani bukanlah orang yang bodoh, mereka manusia pembelajar dan mencipta. Belajar terhadap getirnya perubahan iklim, belajar menghidupi kehidupan (menanam, memelihara, memetik), belajar atas kepahitan kemiskinan. Satu lagi, mereka menciptakan sendiri alat-alat pertaniannya, sebelum ekspansi teknologi modernitas.  Mereka selalu belajar dari pengalaman. Lalu, apa yang saya temukan dalam perjamuan para petani ? kata-kata yang puitis dan harapan hari esok, aku tidak pernah menemukan, akhir dari pertanian.

Kejatuhan Eksistensial 

Tiada yang lebih puitis dari jalan hidup seorang petani. Mereka menuntun hidupnya dari tempaan alam, bersua dengan tanaman, dan bermain dengan hewan ternaknya. Kasih sayang dan kepedulian disalurkan dalam merawat tanaman dan ternak. Sungguh ini jalan hidup yang mengharukan, menjadi petani adalah jalan tirakat.

Aku kerap kali malu memandang mereka, berpura-pura jadi pesohor. Sebetulnya, aku juga anak petani yang lupa cara memegang cangkul, sabit, dan bajak sawah. Aku satu dari sekian banyak pemuda yang ingkar dari induk rahim semang pertanian dan pedesaan.  

Pada kunjungan penelitian di beberapa desa pertanian di Indonesia, aku dijamu wajah-wajah petani yang sudah menua, mata yang pudar dan garis-garis wajah makin menebal. Tidak banyak anak muda yang memilih bekerja sebagai petani. Tahun 2018, Smeru Research Institut merilis data proporsi pekerjaan pemuda di beberapa sektor, rentan waktu tahun 2005 sampai 2015, sektor pertanian kehilangan anak-anak muda, sekitar 3.419.000 juta jiwa. Apapun, arti sebuah kehilangan, selalu meninggalkan kepahitan, kedukaan, dan kepasrahan. Tapi, di wajah yang menua itu, tidak pernah ada kata, putus asa. Mereka memiliki semangat yang berapi-api.

Harapan dan kepasrahan selalu diletakkan pada kelihaian tangan mereka mengolah lahan, membudidayakan tanaman, dan meruwat tanah. Mereka berpasrah di bawah terik matahari, bermandi peluh, dan bermasker lumpur. Jalan ini, berbeda dengan petani milenial : senang bermain gawai, lihai mencipta star-up, cerdik berdagang, dan pandai menanam tanaman hidroponik, cekatan menjelaskan agritech, dan memuja kemajuan. Mereka lupa bahwa bertani tanpa menanam dan meruwat tanah, hanya fiktif belaka. Di mana pun pertanian selalu butuh ruang (tanah dan lahan), bukan sekadar pintar menjual di start-up dan mengenalkan alat-alat pertanian.

 Kami anak muda milenial mengaku  bertani. Generasi yang berpikir maju, cepat, inovatif, kreatif, santai, dan berpendidikan. Generasi ini menjadi tumpuan dari masa depan bangsa di berbagai sektor termasuk pertanian. Generasi yang seharusnya terdepan dalam pengembangan pertanian, bukan hanya sekedar menggenggam pertanian dalam aplikasi. Situasi ini mengingatkanku nada satire yang dilontarkan ayahku, cocok direnungkan bersama "Kamu pintar membuat novel. Tapi, tidak tahu apa yang harus dilakukan, kamu hanya pintar mengarang dan tidak punya matematika (tidak memiliki perhitungan), kamu disekolahkan tidak semakin pintar, malah semakin bodoh". Lontaran kritikan itu ditujukan kepadaku sebagai seorang anak muda terdidik dan dibesarkan oleh institusi pendidikan, tidak mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan pertaniannya. Betapa tidak, beliau tidak mengenyam pendidikan formal sekalipun, ia buta huruf mampu membuat sendiri alat-alat pertaniannya mulai dari pestisida, pupuk organik, dan bahkan alat pembajak sawahnya.

Cerita singkat kejatuhan eksistensial di hadapan jamuan para petani, ada cerita pilu yang lain menggilas masa depan petani yakni arus industrialisasi, alih fungsi lahan, dan konflik agraria berkepanjangan. Cerita ini, aku temui di provinsi Banten, wilayah pertanian habis dilahap industrialisasi dan alih fungsi lahan, desa-desa pertanian, tinggal kenangan dan cerita, jejaknya sudah bertumbuh menjadi perumahan dan perindustrian. Lalu, anak-anak muda kehilangan hasrat bertani, memilih bekerja pada sektor industri  dan jasa sebagai buruh dan pegawai kantoran lebih menjanjikan.

Pertanyaannya, Di manakah masa depan pertanian diletakkan ? pemuda yang mencintai pertanian. Mampukah para petani memberi makan tujuh miliar penduduk dunia ? mampu. Inilah ikhtiar mengembalikan peran petani yang sesungguhnya sebagai manusia pembelajar dan pencipta. Bertani adalah jalan tirakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun