Apa perbedaan antara hambatan dan kesempatan? Perbedaannya terletak pada sikap kita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan; dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan. J. Sidlow Baxter.
Apa yang indah dari samosir dan sekitarnya? Ya betul, danau toba, geografisnya, dan segala ekosistemnya, itulah keindahan di sana. Namun, saya sudah salah judul kalau membahas keindahan danau toba, sebab itu bukanlah rahasia. Rahasia siswa – siwi Keras, itulah kata yang menggambarkan hidup di sana. Kalaupun saudara tidak sepakat, setidaknya itulah pengalaman saya. Apakah anda tau TK? Ya, Taman kanak-kanak. Dan pernah TK? Kalau ia, berarti kita sama. Hanya saja ada perbedaan, saya TK tanpa guru, dan itu bedanya dengan anda. Anda “takut jatuh karena di beritahu”, saya “jatuh dulu baru takut”. Itulah bedanya.
Bagaimana dengan SD? Anda punya guru? Buku? Atau mungkin pengajar privat? Kita sama, bedanya saya punya guru datang ke sekolah sekali sebulan, dan anda di datangi guru setiap hari. Kalau anda punya buku, saya punya hutan, ladang, dan hewan untuk di amati. Lalu anda tau kerbau dari buku, sementara saya mengetahuinya setelah menggembalanya. Masih belum cukup? Kalau anda sulit di atur tidur siang, makan siang, dan lainnya. Saya sulit di atur merawat kerbau. Ya, kita sama sulit di atur. Bedanya, anda sulit di atur untuk suatu hak tidur atau tidak, saya sulit di atur untuk tanggung jawab.
Lalu, setelah SMP bagaimana? Anda punya supir? Atau pembantu di rumah? Saya sudah nge kost, hidup sendiri, masak sendiri, dan sebagainya. Menurutku itulah kehidupan yang ku sebut “keras”. Tanggung jawab, disiplin, itulah pelajaranku seja kecil. Aku berhadapan dengan situasi yang sulit, itulah mungkin bekalku hingga saat ini. Jadi, dalam hal fasilitas, informasi saya jelaslah ketinggalan. Tetapi dalam hal kemampuan bertahan, bekerja kersa saya yakin lebih dari anda. Jadi kedudukan kita 1 – 1. Oke? Rahasia Petani Gersang, trandisional, itulah pertanian di sana. Ketika kembali ke belakang, sekitar 40 tahun yang lalu, di sana masih sulit menemukan gadong tirha (ubi kayu) yang besarnya sebesar pergelangan tangan. (berdiameter 5 cm). anda hanya akan menemukan gadong sedikit lebih besar dari jari tangan anda. Itulah gambaran gersangnya di sana.
“Merantau, dan pantang pulang sebelum berhasil” Menjadi pemandangan yang dapat di temukan setiap harinya. Dan kerasnya kehidupan akibat gersangnya samosir menjadi modal berharga yang tak pernah hilang. Kemudian, hingga sekarang anda tidak akan kesulitan menemukan orang samosir di seluruh kota di Indonesia. “ketika anda menempatkan masalah di bawah kaki anda, masalah itu akan menjadi jembatan” Ya, samosir memang dalam masalah “gersang”, tradisional, itu adalah masalah. Namun, satu sisi masalah tersebut menjadi jembatan menuju masa depan. Segala kesulitan yang di hadapi di samosir dulunya membentuk mental orang samosir untuk mampu bertahan hidup sekalipun di kandang harimau. Apakah itu berlebihan? Itu terserah pembaca, namun saya memiliki alasan tersendiri mengatakan mampu bertahan di kandang harimau.
Saya memiliki banyak kenalan, yang sekarang jadi guru, ataupun telah berhasil di perantauan. Mereka bercerita, mereka sekolah tanpa di biayai orang tua. Hidup, biaya sekolah, dan segala keperluan lainnya mereka cukupi sendiri. Sederhanya merantau hanya tanpa bawa modal. Apakah itu bukah hidup di kandang harimau?. Awalnya saya tidak percaya. Itu hanya cara mereka memotivasi anak sekolah supaya giat belajar. Begitulah saya menanggapinya. Namun, belakangan saya mulai mengumpulkan informasi. Dan saya bisa membuktikan bahwa mereka benar benar membiayai hidup mereka. Saya dapat membuktikannya dengan pembuktian matematika berikut.
Andaikan mereka sekolah dan hidup tidak dengan biaya sendiri. Itu berarti ada yang membiayai. Orang yang membiayai hanya dua kemungkinan. Pertama, keluarga terdekat. Dan kedua, orang tua mereka.
Kasus yang pertama, jika mereka di biayai orang terdekat. Siapakah itu? Nampaknya ini mustahil, karena belum ada sejarahnya orang batak di biayai oleh keluarganya (Hal ini sangat jarang dijumpai), setidaknya untuk saat ini.
Kasus yang kedua, jika mereka di biayai orang tua. Seharusnya orang tua punya penghasilan. Melihat fakta menemukan ubi sebesar tangan susah, itu membantah mereka di biayai oleh orang tua. Karena mereka tidak ada yang membiayai, berarti pengandaian salah. Haruslah mereka sekolah dengan biaya sendiri. Lalu, jika mereka membiayai sendiri, apa yang mereka lakukan? Jawabannya, menjual minyak tanah, mengantar Koran. Sepertinya itu masuk akal. Kemudian, orang orang yang sekolah dengan biaya sendiri tersebut sunggulah luar biasa. Bagaimana tidak, sedari kecil memiliki mental kerja keras, setelah dewasa memiliki pendidikan. Apakah ada yang kurang untuk sebuah kesuksesan. Itu kenapa anda tidak sulit menemukan orang orang pintar dari sana di seluruh institusi di negeri ini.
Jadi, apakah itu seorang pelajar, apakah itu masyarakat biasa, samosir mendidik semuanya jadi pekerja keras.
Namun, apakah sampai di situ? Sepertinya tidak berhenti di sana, ekonomi/pertanian yang sedikit membaik menimbulkan masalah baru ke depan. Semangat pekerja keras kini mulai memudar. Apa yang salah? Saya kembali ke dalam pegumpulan data. Dan hingga saat ini data yang saya peroleh menunjukkan, kemungkinan besar semangat kerja keras dari orang orang samosir memudar karena orang tua. Itu terjadi tanpa di sadari. Para orang tua mulai memanjakan anak anak, memberi keinginan anak meskipun bukan kebutuhan. Itulah yang saya sebut memanjakan. Saya tidak sedang melarang orang memberikan kasih sayang kepada anaknya. Namun, perlu memikirkan apakah itu kebutuhan anak atau ke inginan. Akibat dari sikap orang tua yang memanjakan anak tersebut, membuat anak anak tersebut mulai nyaman, tanpa harus berpikir banyak. Dan ketika kelak mempunya masalah, hanya mengeluh, menyerah. Dengan katalain kehilangan jatidiri sebagai pekerja keras.
Menurut teori evolusi Lamarck, organ tubuh yang sering di gunakan akan semakin berkembang, dan organ yang jarang di gunakan akan semakin menyusut.
Mudah mudahan, otak anak anak di Samosir jangan sampai menyusut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H