Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Partai Mega dan Prabowo Terpeleset, Gerbang Kritik buat Jokowi Terbuka Lebar

6 Desember 2020   16:03 Diperbarui: 6 Desember 2020   16:29 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TIDAK sampai sebulan, dua menteri yang berasal dari partai besar dipastikan bakal jadi pesakitan di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua menteri dimaksud adalah Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo (Partai Gerindra) dan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Peter Batubara (PDI Perjuangan). 

Seperti diketahui, Menteri KKP, Edhy Prabowo ditangkap KPK pada saat yang bersangkutan baru datang di Bandara Soekarno Hatta (Soeta) setelah kunjungan kerja selama seminggu ke Amerika Serikat (AS). Edhy ditangkap atas dugaan kasus suap perizininan ekspor benih lobster, Rabu (25/11/20). 

Dalam penangkapan tersebut sebenarnya tidak hanya Edhy Prabowo, tetapi ada beberapa orang lainnya yang ikut dalam rombongan. Termasuk diantaranya adalah isterinya sendiri---Iis Rosita Dewi. 

Belum juga kering bibir kita membicarakan tertangkapnya Edhy dan kolega, kabar keganasan KPK kembali berulang. Kali ini yang menjadi korbannya adalah Menteri Sosial---Juliari Peter Batubara.

Politisi PDI Perjuangan tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah karena diduga terlibat kasus korupsi program bantuan sosial (Bansos) yang dikelola oleh Kementerian yang dipimpinnya. 

Seperti banyak diberitakan oleh beragam media mainstream tanah air, baik cetak, online maupun televisi swasta nasional, yang dinyatakan tersangka dalam kasus program bansos tersebut tidak hanya Juliari. Akan tetapi ada beberapa oknum lainnya seperti MJS dan AW, AIM dan HS. 

Dikutip dari Kompas.com, Juliari dijerat pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. 

Kembali tertangkapnya salah seorang menteri oleh KPK sebenarnya ada perasaan optimis bahwa ternyata lembaga ini tidak selemah seperti yang telah disangkakan sejumlah pihak pasca revisi UU KPK nomor 30 tahun 2002 menjadi UU KPK nomor 19 tahun 2019. Namun, disisi lain terjadinya penangkapan terhadap para oknum koruptor seolah pola yang terus berulang. 

Artinya, maraknya penangkapan terhadap sejumlah oknum pejabat tersebut hampir selalu berdekatan dengan pesta demokrasi di tanah air. Sebut saja pesta demokrasi terdekat adalah Pilkada serentak 2020. 

Terlebih, tidak sampai sebulan ini bukan hanya dua menteri dan koleganya yang tertangkap KPK, tetapi juga Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna. Bahkan Cagub Sumatera Barat (Sumbar) yang diusung PAN dan Partai Demokrat, Mulyadi juga dinyatakan sebagai tersangka kasus tindak pidana pemilu oleh Bareskrim Polri. 

Tidak aneh bila sejumlah pihak menduga peristiwa-peristiwa tersebut di atas erat kaitannya dengan kepentingan politik. Tentu hal ini hanya praduga. Benar tidaknya masih membutuhkan pembuktian lebih jauh. 

Kembali pada tertangkapnya dua menteri Jokowi oleh KPK. Diakui atau tidak adalah sebuah kecelakaan politik bagi Partai Gerindra dan PDI Perjuangan. 

Betapapun kasus yang melilit kadernya di pemerintahan pusat sedikitnya akan mempengaruhi tingkat kepercayaan publik di daerah terhadap dua partai besar dimaksud. Celakanya, waktu yang dibutuhkan oleh kedua partai besar itu untuk memulihkan diri sangat mepet bila dikaitkan dengan Pilkada serentak. 

Dibutuhkan kerja ekstra keras, ketangguhan figur calon dan sedikit keberuntungan agar target kedua partai besar itu tercapai. Seperti diketahui, PDI Perjuangan menargetkan mampu memenangkan mayoritas dari jumlah 270 daerah peserta Pilkada. 

Gerbang Kritik Bagi Jokowi 

Tertangkapnya Edhy Prabowo dan Juliari Batubara tidak hanya merugikan dua partai besar, tetapi bagi Presiden Jokowi sendiri. Bukan mustahil, orang nomor satu di Indonesia ini bakal dianggap tidak mampu memilih figur bersih dan kompeten dalam menjalankan amanahnya. 

Terlebih, jauh hari sebelumnya atau tepatnya saat isu reshufle mencuat pasca Presiden Jokowi marah pada sidang kabinet paripurna beberapa waktu lalu,  kedua menteri ini adalah termasuk nama yang digadang-gadang pantas diganti. 

Edhy Prabowo dinilai kualitasnya tidak sepadan dengan menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti. Belum lagi kebijakannya dengan membuka keran ekspor benih lobster mendapat penolakan dari berbagai pihak. 

Sementara, Juliari juga masuk dalam daftar ganti berdasarkan catatan dari beberapa pengamat, karena dianggap program bansos untuk warga negara terdampak Covid-19 amburadul. Seperti tidak tepat sasaran dan keterlambatan distribusi. 

Namun begitu, Presiden Jokowi seolah tidak menghiraukan hal itu. Alih-alih melakukan reshufle, mantan Gubernur DKI Jakarta ini masih percaya penuh atas kinerja para menterinya. 

Kenyataannya sekarang, rasa khawatir sejumlah pihak ini terbukti. Kedua menteri yang masuk dalam bursa reshufle tersebut telah terjebak dalam pusaran kasus korupsi. 

Nasi telah menjadi bubur. Jokowi mau tidak mau harus segera mengevaluasi ulang terhadap jajaran kabinetnya. Mungkin sudah saatnya bagi dia untuk segera mereshufle kabinetnya. Jika tidak, saya rasa tertangkapnya Edhy dan Juliari akan menjadi gerbang kritik terhadapnya terbuka lebar. 

Sebuah keniscayaan, pihak-pihak yang selama ini bersebrangan dengan pemerintah akan menjadikan dua kasus korupsi menteri di kabinet Indonesia Maju (KIM) sebagai senjata buat menyerang Presiden Jokowi.

Untuk itu, seperti telah disinggung, tidak ada jalan lain bagi Jokowi untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap para menterinya. Kemudian melakukan reshuffle secara luas di kabinetnya, agar kasus-kasus memalukan ini tak terjadi lagi. 

Jika tidak, jangan salahkan masyarakat bila kepercayaannya akan terus merosot. Jokowi akan dianggap lambat menyikapi situasi yang sangat buruk ini. 

Terlebih, situasi saat ini dihadapkan pada masa pandemi dan resesi ekonomi, kondisinya bisa bertambah berat bila Presiden Jokowi lamban dalam bertindak.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun