Tapi, hal yang tidak disangka-sangka terjadi. Kedua waria itu menangis. Mereka merasa sakit hati dengan bentakan temanku itu.
"Hik ... hik ... hik ... salah eike apa? Eike kan cuma ngobrol, cinnn. sebel deh rempong banget. Koq, kamu hobinya sirsak sana sirsak sini," kata salah seorang waria.
Jujur mendengar bahasanya, aku dan temanku jadi tertawa. Karena selain lucu juga tak paham apa maksudnya. Akhirnya, karena sudah ga bakalan bener melanjutkan diskusi, kami pun memutuskan bergabung. Dan, rupanya disambut gembira oleh keduanya.
"Yuk, mari cinnn," kata mereka.
Setelah bergabung dalam satu meja, aku penasaran dengan apa yang dikatakannya tadi tentang "sirsak sana sirsak sini". Salah seorang waria, sebut saja Luna---bukan nama sebenarnya menyebut bahwa hal itu artinya " sirik di sana-sini".
Mendengar jawabannya, aku hanya tersenyum geli. Dan, kemudian kami pun ngobrol panjang lebar yang mengundang banyak tawa. Anehnya mereka tidak tersinggung. Sebaliknya malah senang.
Sekian lama kami merasa terhibur dengan obrolan-obrolan mereka yang kadang membuatku roaming. Salah seorang temanku tanpa diduga menanyakan alasan mereka melawan takdir dengan 'memaksakan diri" jadi seorang wanita.
Luna menjawab, perubahan prilakunya itu karena pergaulan yang dia dapat di Kota Bandung saat bekerja jadi buruh pabrik. Sepulang kerja dia kerap bergaul dengan para waria yang ada di lingkungannya, hingga lambat-laun terpengaruh dan akhirnya nyaman menjadi waria.
Sementara satunya lagi. Sebut saja Neli---bukan nama sebenarnya mengaku telah merasa jadi wanita sejak kecil. Dia kerap bergaul dengan anak-anak wanita.Â
Meski orang tuanya seringkali marah, Neli tak pernah mau mematuhinya. Jiwanya sudah merasa jadi wanita beneran. Sampai suatu hari, dia memutusian keluar dari rumah dan mengontrak. Semua itu dia lakukan demi terbebas dari omelan orang tua.