Rudy pasrah. Saat memasuki kantor pimpinan redaksi salah satu majalah lokal. Bayangan kemarahan bosnya seperti telah tepat di depan mata.Â
Langkah kakinya berat, tetapi dia paksakan masuk. Meski, dia tahu materi berita untuk headline yang dia emban belum beres. Karena, masih ada beberapa sumber yang belum dia dapatkan keterangannya.
"Sore, Pak," sapa Rudy, setelah tepat di depan bosnya itu. Jantungnya berdegup kencang saat si bos acuh dengan laptopnya.
"Silahkan duduk!" Â ucap di bos, masih tetap acuh.
Perasaan Rudy makin tidak karuan. Namun, dia paksakan juga untuk duduk tepat di depan sang bos. Jarak mereka sangat dekat, hanya dipisahkan meja kerja.
"Sekarang, coba kamu jelaskan hasil investigasimu. Ingat, tiga hari lagi deadline!"
Keringat besar dan kecil langsung menyerang sekujur tubuh Rudy. Dia paham betul sipat bosnya itu. Bakal marah besar jika dia tahu materi beritanya belum beres. Apalagi, berita tersebut akan dijadikan halaman utama.
"Anu, Pak. Saya ... saya ...," Rudy benar-benar berada dalam tekanan dan ketakutan luar biasa.
"Anu ... anu apa? Cepat jelaskan!" Â teriak si bos. Sorot matanya tajam memandangi Rudy yang tengah tertunduk.
"Maaf, saya belum berhasil mengorek informasi lebih banyak, Pak. Masih ada beberapa nara sumber belum berhasil saya temui."
Si bos langsung marah besar. Dia menggebrak meja kerjanya sangat keras, sehingga Rudy pun tampak kaget dan mukanya langsung pucat. "Ngapain aja kerja kamu. Saya tidak mau tahu, besok lusa berita itu sudah harus ada di meja kerja saya. Silahkan keluar!".