Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi "The King Maker", Luhut dan Prabowo Jadi Pionnya

16 Oktober 2020   20:11 Diperbarui: 16 Oktober 2020   20:16 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PETA kekuatan dunia telah banyak berubah. Dulu negara adikuasa dikuasai oleh dua negara, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. 

Hampir dari segala aspek, kedua negara ini kerap bersaing. Amerika Serikat (AS) terus berupaya menanamkan ideologi liberal kapitakistik. Sementara Uni Soviet berusaha meluaskan pengaruh komunisme ke seluruh dunia. 

Beragam cara ditempuh keduanya, antara lain menggelontorkan bantuan ekonomi dan propaganda politik. Tujuannya jelas, ingin memperoleh dukungan kekuatan dari banyak negara untuk mengukuhkan kedigdayaannya. 

Akibat saling berebut pengaruh atas negara-negara di dunia ini pula akhirnya mereka terlibat perang dingin. Namun, pada akhirnya perang dingin ini berakhir setelah pada tahun 1991 silam, Uni Soviet pecah menjadi beberapa negara. 

Dengan pecahnya Uni Soviet, Negara AS seolah menjadi raja diraja. Negara adikuasa benar-benar ada dalam genggamannya. 

Nyatanya rasa jemawa itu tak berlangsung lama. Perlahan namun pasti, China terus membuktikan dirinya sebagai negara maju dan kuat. Puncaknya terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Negara Tirai Bambu mampu menggantikan peran Uni Soviet, terutama dalam bidang ekonomi. 

China kini menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia baru penantang hegemoni Paman Sam yang sebelumya sulit ditiru apalagi ditandingi. Reformasi ekonomi yang mereka ciptakan telah membuat negara yang dipimpin Xin Jinping ini jadi negara adidaya. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia memanfaatkan situasi ini? Sebagai negara non blok, tentunya tidak bisa memihak salah satu pihak. Lagi pula, rasanya kurang menguntungkan bagi pemerintah jika harus memihak. 

Dari sektor ekonomi, Indonesia sepertinya masih sangat membutuhkan bantuan China. Sementara dari segi pertahanan, Indonesia pastinya masih sangat membutuhkan kerjasama dengan AS. Diakui atau tidak, Negara Paman Sam ini masih yang terbaik dalam hal pertahanan. 

Untuk bisa meraih keuntungan dari kedua negara adidaya tersebut, peranan Jokowi selaku presiden memang patut diapresiasi. Istilah kata, ia layak disebut King Maker. 

Dalam hal ini, penulis yakin bahwa Presiden Jokowi paham betul adanya persaingan diantara kedua negara adidaya tersebut. Salah melakukan langkah politik atau kebijakan, Indonesia bisa jadi ditinggalkan oleh keduanya. Dan, ini sebuah kerugian besar. 

Maka, saat Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto diundang oleh AS, Presiden Jokowi memberikan izin. Pasti, keberangkatan mantan Danjend Kopasus ini atas seizinnya. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa berangkat ke sana. Kecuali urusan pribadi. 

Sebenarnya bisa jadi berangkatnya Prabowo ke AS untuk menjalin kerjasama di bidang pertahanan tidak begitu disenangi China. Negara Kungfu Panda ini tentu akan terikat ruang geraknya apabila punya niat semena-mena terhadap Indonesia. Misal saat terjadinya niat pencaplokan terhadap perairan Natuna, beberapa waktu lalu. 

Bisa jadi ke depannya China akan berpikir dua kali apabila mereka berencana "kurang baik" terhadap Indonesia. Sebab mereka tahu bahwa Indonesia menjalin hubungan baik dengan AS. 

Namun demikian, sebagai gantinya Indonesia pun tetap menjalin hubungan baik dengan China. Khususnya kerjasama dalam bidang ekonomi. 

Sejauh ini memang kerja sama ekonomi Indonesi-China sudah berjalan dengan cukup baik. Presiden Jokowi mempercayakan masalah ini terhadap mantan jendral lainnya yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvest) Luhut Binsar Pandjaitan. 

Memang, hubungan bisnis dengan China ini kerap menuai kritik dari sejumlah kalangan. Namun, Jokowi seolah ndableg alias kerjasama ekonomi terus saja dilakukan. Presiden Jokowi jelas tidak ingin melepaskan keuntungan yang didapat dari kedua negara adidaya dimaksud. 

Selaku pemimpin negara, Presiden Jokowi tentu menginginkan roda ekonomi terus berkembang. Namun di sisi lain, sektor keamanan dan pertahanan negara pun tak kalah pentingnya.

Seandainya nanti ada bentuk-bentuk ketidak sukaan diantara kedua negara adidaya tersebut, Presiden Jokowi jelas tidak perlu repot berkilah. Sebagai negara non blok, tentu saja Indonesia tidak akan disalahkan menjalin kerjasama dengan negara manapun. Termasuk dengan China dan AS. 

Intinya di sini, Presiden Jokowi telah menunjukan kapasitasnya sebagai King Maker dengan menjadikan Luhut dan Prabowo sebagai pionnya untuk bisa mendulang keuntungan dari AS maupun China. 

Tentu yang dipaparkan ini hanya analisa sederhana sesuai dengan kemampuan penulis yang terbatas. Penulis percaya, bahwa pembaca budiman justru memiliki analisa lebih tajam dan terperinci.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun