Hanya saja, di tempat ini Bung Karno benar-benar dijadikan tahanan rumah oleh Presiden Soeharto. Beliau dilarang berhubungan dengan dunia luar dan dijaga ketat. Bahkan, keluarga dan kerabatnya sangat sulit untuk bertemu.Â
Meski demikian, Bung Karno tetap tegar dalam menghadapi semua itu. Beliau menegaskan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, bahkan ditahan, dan lama-lama akan mati sendiri. Namun, jiwa, ide, ideologi dan semangatnya tak akan bisa dibunuh.Â
Keteguhan Bung Karno tentu bukan isapan jempol semata. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan keteguhan dirinya tetap bertahan di Wisma Yaso meski kesempatan untuk keluar dari sana terbuka lebar. Alasannya, karena beliau sangat mencintai rakyat Indonesia dan tidak mau terjadi perang saudara.Â
Bagaimana itu bisa terjadi? Yuk, kita simak ulasannya!Â
Pada saat masih jaya, Presiden Soekarno memiliki pasukan yang sangat loyal terhadap dirinya. Pasukan tersebut adalah Korps Komando Angkatan Laut (KKO).Â
Dikutip dari chanel Youtube Merdeka.com, Komandan KKO, Mayjend Hartono dikenal sebagai loyalis Bung Karno. Kesetiaannya ini pernah dia ungkapkan dengan pernyataan tegas di kala itu. "Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO."
Tentu, arti menculik di sini adalah menjemput Bung Karno untuk keluar dari Wisma Yaso dan menetap di basis KKO yang terletak di Surabaya, Jawa Timur. Kesempatan itu sangat terbuka lebar mengingat pasukan KKO telah mampu melewati pengawalan ketat di Wisma Yaso dan tinggal mengajak Bung Karno keluar.Â
Namun, apa yang dikatakan Bung Karno patut dijadikan contoh oleh siapapun pemimpin di negeri ini. Dengan tegas, beliau menolak ajakan atau jemputan pasukan KKO tersebut. Dalihnya, tidak ingin terjadi pertumpahan darah antara pasukan KKO dengan TNI AD.Â
Bisa kita lihat jiwa besar Bung Karno dalam peristiwa tersebut. Meski dirinya sudah tak lagi menjabat presiden, dan bahkan cenderung diperlakukan tidak adil oleh pemimpin Orba, Presiden Soeharto.Â
Hati dan pikiran beliau masih kuat untuk rakyat, bangsa dan negaranya. Beliau lebih memilih mengorbankan dirinya daripada orang banyak.Â