Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Beda dengan Soeharto, Ini Sikap Wiranto Saat Terima "Supersemar" Versi Mei '98

1 Oktober 2020   14:41 Diperbarui: 1 Oktober 2020   15:08 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERJALANAN sejarah Indonesia setidaknya dua kali terjadi suksesi kepemimpinan yang diwarnai dengan kericuhan besar, sehingga mengancam kondusifitas keamanan pemerintahan dan negara. Pertama, saat masa-masa peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba), dan kedua pemindahan kekuasaan dari Orba ke era reformasi.

Seperti sudah kita pahami bersama, penguasa Orla adalah Presiden Sukarno. Beliau pendiri bangsa ini dan beliau pula yang membuat pondasi dasar-dasar negara Indonesia. Namun, semua jasa-jasa besar ini seperti tak berarti ketika bangsa dihadapkan pada situasi pelik. 

Diawali dengan terjadinya peristiwa G30S 1965 yang menimbulkan korban jiwa enam orang jendral dan satu perwira pertama TNI Angkatan Darat. Kemudian kekeuhnya Presiden Sukarno tidak ingin membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalang pembunuhan, membuat kepercayaan publik goyah. 

Situasi ini diperparah dengan situasi ekonomi bangsa morat-marit, karena konon kabarnya Presiden Soekarno lebih mementingkan angraran buat membeli senjata dan membiayai angkatan perang sebagai akibat berkonfrontasi dengan negara tetangga, Malaysia. 

Segala situasi rumit inilah yang akhirnya memantik kemarahan pemuda dan mahasiswa. Puncaknya pada bulan Januari tahun 1966 mereka melakukan aksi protes besar-besaran. Ada tiga tuntutan yang diajukan dalam aksi demonstrasi itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). 

Isi lengkap dari ketiga tuntutan dimaksud adalah : (1) Bubarkan PKI; (2) Rombak Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan Harga. 

Tiga tuntutan yang merepresentasikan kondisi kebatinan publik dan wujud pernyataan sikap atas distrust terhadap kinerja pemerintah ini tak lantas mendapat respon positif. Akibatnya aksi demonstran kian melebar dan kembali terjadi pada bulan Februari.

Kali ini tuntutannya lebih parah. Mereka tak hanya bicara soal Tritura, melainkan melebar pada isu tuntutan lain yang lebih besar. Meminta Presiden Sukarno yang sebelumnya telah didaulat sebagai presiden seumur hidup untuk turun dari jabatannya.

Situasi ini menjadikan posisi Presiden Sukarno dalam tekanan hebat, dan situasi keamanan makin tak terkendali. Ditunjuklah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Letnan Jendral (Letjend) Soeharto untuk mengendalikan semua itu. Maka, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). 

Siapa sangka, Supersemar ini akhirnya menjadi "senjata" Soeharto menuju suksesi kepemimpinan dan awal runtuhnya rezim Sukarno. Tak sedikit catatan sejarah yang mengatakan surat perintah dimaksud dimanfaatkan Soeharto untuk merebut kekuasaan hingga akhirnya menjadi penguasa Orba hingga hampir 32 tahun lamanya. 

Wiranto Menerima Surat Perintah Serupa 

Kurang lebih 32 tahun kemudian apa yang menimpa Presiden Sukarno harus dirasakan pula oleh Presiden Soeharto. Beliau lengser dari jabatannya dengan cara-cara tragis. 

Sebagaimana diketahui, setelah sukses menggeser Presiden Sukarno, lebih dari tiga dekade Presiden Soeharto menguasai Orba dengan politik membatasi setiap upaya untuk mengatur oposisi. Namun, pada bulan Mei 1998 rezim yang dibangunnya menuai hasil mengerikan. 

Kerumunan massa yang marah tumpah ke jalanan, membakar dan menjarah sebagai wujud tuntutan karena tidak ada organisasi politik yang layak bagi orang-orang untuk melampiaskan rasa frustrasi mereka yang hebat tentang ekonomi yang runtuh. Belum lagi, hampir persis dengan situasi 1966, ribuan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai aksi juga turun ke jalan menuntut Presiden Soeharto lengser. 

Situasi ini membuat posisi Presiden Soeharto dalam tekanan hebat, persis sama dengan yang pernah dialami Presiden Sukarno. Maka, untuk bisa mengendalikan keadaan, the smiling general "meniru" apa yang pernah dilakukan oleh presiden sebelumnya dengan mengeluarkan "Supersemar" versi Mei 1998 terhadap Panglima ABRI, Wiranto. 

Bedanya, pada saat Soeharto menerima mandat dari Presiden Sukarno 54 tahun silam dijadikan alasan dirinya menguasai situasi sepenuhnya demi kepentingan pribadi. Terbukti, dirinya mampu mengkudeta sang putra pajar dari kedudukannya sebagai presiden.

Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Panglima ABRI, Wiranto. Padahal, menurut pengakuannya dalam sebuah wawancara ekslusif dengan Aiman Wicaksono dalam chanel Youtube KompasTV, mantan Menkopolhukam era Presiden Jokowi ini memiliki peluang untuk melakukan kudeta. Sebab, tugas dia saat itu hanya untuk mengamankan situasi nasional termasuk pemerintahannya.

Tapi, alasan yang paling utama adalah Wiranto lebih mencintai Indonesia. Sebab, dia ingin mengubah negeri ini menjadi lebih baik bersama teman-teman reformis lainnya.

"Tidak ada sama sekali keinginan, kehendak, tindakan saya yang mengarah pada langkah-langkah untuk mengacau pada tahun 1998," kata Wiranto. 

Masih dalam kesempatan yang sama, Wiranto juga membeberkan alasan lainnya. Jika dia memaksakan kehendak pribadinya untuk berkuasa, sama halnya dengan meng-create perang saudara. 

Atas dasar alasan itulah, Wiranto akhirnya hanya bertindak sesuai dengan apa yang diperintahkan. Bertanggung jawab atas segala keamanan bangsa dan negara sampai akhirnya mengantarkan Wakil Presiden RI, BJ Habibie dilantik jadi presiden menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. 

Dari sini kita bisa tarik kesimpulan seberapapun besarnya peluang berkuasa, dikembalikan pada niat awal. Itulah yang terjadi pada Soeharto dan Wiranto. Selebihnya silahkan pembaca menilai sendiri. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun