Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belotnya Prabowo dan Fahri Hamzah Versus Said Didu

19 September 2020   20:27 Diperbarui: 19 September 2020   20:44 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Politik itu dinamis. Kemarin bersebrangan, sekarang bergandengan. Kemarin musuh, sekarang malah cenderung patuh." 

NARASI tersebut di atas memang bukan omong kosong belaka. Telah banyak contoh dalam perjalanan politik di tanah air, dimana asalnya lawan justru menjadi kawan politik.

Contoh paling fenomenal dan mengagetkan banyak pihak, tentu saja bergabungnya Partai Gerindra dengan koalisi pemerintah. Padahal hampir satu dekade lamanya, partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto ini merupakan musuh bubuyutan dalam setiap ajang demokrasi di tanah air. 

Dalam perjalanan sejarahnya, Partai Gerindra tidak hanya sekadar ikut-ikutan menempatkan diri sebagai partai di luar pemerintah. Partai berlambang kepala burung garuda ini memegang kendali penuh atau sebagai leader oposisi. 

Bersama partai politik lain, khususnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra terus memberikan tekanan serius terhadap aktivitas yang dilakukan pemerintah. Puncaknya tentu saja terjadi dalam dua kali Pilpres tahun 2014 dan 2019. 

Pada dua Pilpres tersebut di atas, Gerindra cs yang mendukung Prabowo Subianto menjadi rival utama kubu pemerintah yang dipimpin PDI Perjuangan dan Joko Widodo. Kedua kubu ini bersaing ketat memperebutkan puncak kekuasaan. 

Puncaknya terjadi pada Pilpres 2019, dimana masyarakat hampir terpecah belah, karena aroma persaingan begitu sengit. Cebong dan kampret sebagai pendukung masing-masing kerap hampir terjadi bentrokan. 

Karena faktor tersebut di atas tadi, hampir tak ada yang berani menduga kalau Prabowo Subianto memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah. Namun, nyatanya salah. Prabowo yang asalnya lawan politik, dengan sekejap mata berubah jadi kawan politik. 

Salah satu bukti yang makin menguatkan tentang prinsip politik adalah Fahri Hamzah. Siapapun yang selalu mengikuti perkembangan politik tanah air pastinya mahfum, bahwa mantan politisi PKS itu termasuk salah satu "maskot" oposisi. Sewaktu masih menjabat Wakil Ketua DPR RI, Fahri bersama koleganya dari Partai Gerindra, Fadli Zon kerap menyerang pemerintah dan Presiden Jokowi dengan kritikan-kritikan pedasnya. 

Siapa nyana, saat Fahri membentuk Partai Gelora bersama Anies Matta, malah berubah 180 derajat. Terbukti, dia bersama Partai Gelora turut mendukung anak dan menantu Presiden Jokowi yang akan bertarung pada Pilkada serentak 2020 mendatang. Dalam hal ini, Partai Gelora mendukung Gibran Rakabuming Raka yang maju pada Pilkada Solo dan Bobby Nasution pada Pilkada Kota Medan. 

Fahri versus Didu 

Turut mendukungnya Fahri dan Partai Gelora terhadap anak dan menantu Presiden Jokowi cukup mengundang reaksi keras dari sejumlah kalangan. Mereka rata-rata menilai bahwa Fahri dan partainya turut mendukung adanya politik dinasti di Indonesia. 

Kendati begitu, Fahri tak menganggap bahwa dukungannya terhadap anak dan menantu Jokowi tersebut adalah perwujudan dari melanggengkan dinasti politik. Sebab, menurutnya tidak ada dinasti politik di negara demokrasi. Proses politik di negara demokrasi, kekuasaan tidak diwariskan turun temurun berdasarkan hubungan darah, melainkan lewat proses demokrasi yang tidak ada jaminan untuk menang atau kalah. 

Bahkan, seperti dikutip dari Suara.com, telah mengajak debat terhadap siapapun yang menilai Partai Gelora telah melanggengkan dinasti politik. 

"Akhirnya jadi percakapan di pingggir jalan, percakapan orang yang tidak berkualitas. Jadi orang bodoh itu, tidak hanya di istana, tapi juga di pinggir jalan karena tidak berkualitas," ucap Fahri. 

Pernyataan Fahri ini rupanya memancing mantan Sekretaris Kementrian BUMN, Muhamad Said Didu untuk berkomentar. Melaui cuitan di akun twitter milik pribadinya, pria yang menjadi bagian deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini menyinggung tentang dinasti politik.

"Bung @Fahrihamzah yth, saya tetap berpendapat bahwa penguasa yang mencalonkan keluarganya untuk posisi jabatan politik saat masih berkuasa adalah perwujudan dinasti politik," kata Said Didu di akun Twitternya, Jumat (18/9/2020). Dikutip dari Suara.com.


"Biarlah saya dan yang berpendapat demikian anda cap sebagai orang bodoh. Selamat dengan "arah barunya"." Tambahnya.

Mendapati cuitan Said Didu, Fahri Hamzah tak tinggal diam. Dia pun segera membalasnya dan menjelaskan soal dinasti politik. 

"Bang @msaid_didu, Pertama itu teknis di lapangan, tidak terkait kerajaan atau dinasti. Kedua, dinasti itu pewarisan kekuasaan melalui darah. Sementara ini kan pemilu. Ada kemungkinan menang dan kalah. santai aja, jangan tegang menghadapi pilkada. Ini demokrasi lokal yang biasa," jawabnya. 

Itulah sikap yang dipertontonkan oleh masing-masing tokoh nasional tersebut di atas. Baik Said Didu mapun Fahri Hamzah penulis kira bukan orang sembarangan. Tentunya mereka memiliki sudut pandang berbeda dan kepentingan berbeda pula. Untuk itu jamak ketika terjadi silang pendapat. 

Anak dan Menantu Jokowi 

Dinasti politik atau istilah dinasti politik dalam iklim demokrasi di Indonesia sudah bukan barang baru. Hanya saja isu ini menjadi panas setelah ada kepastian bahwa putra sulung Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka tiba-tiba saja mencalonkan diri pada kontestasi Pilwakot Solo. 

Sorotan tajam atas majunya Gibran jelas tertuju pada Presiden Jokowi. Soalnya jauh sebelum Gibran terjun pada dunia politik, mantan Gubernur Jakarta ini pernah menyatakan bahwa anak-anaknya tidak tertarik pada dunia politik, tetapi pada dunia usaha. 

Sorotan tajam makin kuat mengarah pada orang nomor satu di Indonesia ini, setelah ramai dugaan telah ikut campur dalam proses terpilihnya Gibran mendapatkan rekomendasi dari PDI Perjuangan, menyingkirkan kandidat kuta lainnya, Ahmad Purnomo. 

Isu dinasti politik semakin kuat membelenggu kekuasaan Presiden Jokowi, setelah menantunya, Bobby Nasution juga "latah" dengan ikut-ikutan maju pada Pilwakot Medan. Dan, tak ada upaya dari sang mertua untuk melarangnya. 

Nasi telah jadi bubur, anjing menggonggong kafilah berlalu. Sekuat apapun diskursus publik tentang dinasti politik, tetap saja Gibran dan Bobby adalah bagian dari 270 calon kepala daerah yang akan terlibat pada kontestasi Pilkada serentak 2020 mendatang.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun