LEBIH dua dekade lalu, tepatnya 21 Mei 1998, seluruh rakyat Indonesia tersentak dengan keputusan bersejarah dari Presiden kedua Republik Indonesia (RI), Soeharto.Â
Ya, pada saat itu di Gedung Istana Merdeka, Jakarta, sang penguasan Orde Baru (Orba) selama hampir 32 tahun tersebut secara resmi dan dengan penuh kesadaran menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden.Â
Keputusan pengunduran diri The Smilling General--nama julukan Presiden Soeharto tersebut kemudian dikenal dengan istilah "lengser keprabon", yang artinya turun dari jabatannya sebagai pemimpin.Â
Mundurnya Presiden Soeharto menjadi puncak dari bermacam kerusuhan dan aksi protes di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir ketika itu. Kemudian diteruskan dengan aksi demo besar-besaran dari ribuan mahasiswa tanah air hingga akhirnya mampu menduduki Gedung DPR-MPR beberapa hari lamanya.Â
Kala itu, masyarakat bersama mahasiswa bahu membahu menggelar aksi protes dan menumpahkan segala unek-unek dan kekesalan atas kepemimpinan Presiden Soeharto yang dianggapnya otriter dan sarat dengan praktik-praktik Korupsi-Kolusi dan Nepotisme (KKN).Â
Terlebih, krisis moneter yang telah berlangsung setahun sebelumnya yang tak kunjung membaik, semakin menguatkan tekad manyarakat Indonesia untuk melengserkan Presiden Soeharto.Â
Perjuangan segenap masyarakat Indonesia dan mahasiswa tak percuma. Presiden Soeharto akhirnya mundur dan digantikan oleh wakilnya, BJ. Habibie.Â
Dengan serangkaian peristiwa dan gejolak aksi ribuan massa yang terus menerus mendesak Soeharto untuk lengser dari jabatannya, tak salah jika banyak yang beranggapan bahwa merekalah biang keladi lengsernya Presiden Soeharto.Â
Dan, hal tersebut di atas adalah fakta dan tidak bisa dipungkiri. Namun, di balik itu semua ada alasan lain yang jauh lebih mampu membuat Presiden Soeharto akhirnya memutuskan lengser.Â
Lantas, apa sebenarnya yang mendorong suami Ibu Tien ini mundur? Jawabannya ternyata adalah karena terjadinya polarisasi di antara kedua "anak emas" sang presiden. Yaitu Ketua MPR, Harmoko dan Menhankam Pangab, Jendral TNI Wiranto.Â
Sebagai anak emas Presiden Soeharto, justru Harmoko orang pertama yang meminta mantan majikannya itu untuk mengundurkan diri.Â
Permintaan Harmoko tersebut jelas bukan tanpa sebab. Sebagai Ketua MPR, Harmoko menjadi salah satu yang diprotes ribuan mahasiswa untuk mencopot jabatan Presiden Soeharto.
Dan, seperti dikutip dari Bisnis.com, sebelum lengsernya Soeharto, Harmoko telah menyanggupi tuntutan ribuan mahasiswa tersebut. Hal itu demi menghindari kemarahan demonstran.Â
Kesanggupan Harmoko ini ternyata ditentang oleh anak emas Soeharto lainnya, Jendral Wiranto.Â
"ABRI berpendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif," ucap Wiranto, yang saat itu menjabat Menhankam Pangab.Â
Menurut Wiranto, mundurnya Soeharto bukan satu-satunya opsi. Ia menilai kewajiban utama pemerintah saat itu adalah melakukan reshuffle menyeluruh. Dia menilai pendapat Harmoko tak punya kekuatan hukum yang mengikat bila ditarik ke Undang-Undang yang ada.Â
Dua sikap berseberangan dua anak emasnya ini membuat Soeharto bingung untuk ambil langkah. ia pun akhirnya mengundang menteri-menteri dan pejabat lain untuk mampir ke kantornya dan dimintai nasehat.Â
Lewat perbincangan bertahap, Soeharto akhirnya membulatkan tekad untuk memilih mundur.Â
Kemunduran yang barangkali sudah diduga banyak pihak, namun hal itu boleh jadi tak akan terlaksana bila tak ada kecamuk yang ditimbulkan akibat polarisasi Harmoko dan Wiranto.Â
Singkat cerita lengsernya langsung disambut suka cita oleh ribuan mahasiswa yang masih menduduki Gedung DPR/MPR dan segenap masyarakat tanah air.Â
Lengsernya Presiden Seoharto pula menjadi pintu gerbang bangsa dan negara Indonesia menuju era reformasi, yang masih berlaku hingga hari ini.Â
Jika dicermati, lengsernya Soeharto ibarat dejavu dari lengsernya Presiden pertama RI, Bung Karno.Â
Seperti halnya Presiden Soeharto, sebelum lengser dari jabatannya, putra sang fajar itu menghadapi situasi yang kurang lebih sama, yaitu dihadapkan pada aksi demo ribuan mahasiswa.Â
Artinya demonstrasi 1998 yang akhirmya mampu menggulingkan Presiden Soeharto, bukanlah demonstrasi mahasiswa besar-besaran pertama.Â
Sama dengan aksi demo mahasiswa 1998, tiga dekade sebelumnya demo besar-besaran mahasiswa yang terkenal dengan tiga tuntutan rakyat (Tritura) juga menjadi tonggak sejarah bangsa Indonesia.Â
Tritura menjadi titik pergantian rezim, dari kepemimpinan Bung Karno (Orde Lama) ke Soeharto (Orde Baru).Â
Adapun penyebab dari munculnya tuntutan dari para mahasiswa pada masa itu berdasarkan dari beberapa sumber yang penulis baca, tak lepas dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI.Â
Ini merupakan peristiwa yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia.Â
Pasca Gerakan 30 September 1965, rakyat begitu marah sehingga membuat keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, dan keadaan perekonomian makin memburuk.Â
Hal tersebut yang akhirnya memicu datangnya gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras. Namun, pemerintah tidak segera mengambil tindakan.Â
Padahal, keadaan negara Indonesia sudah sangat parah, baik dari segi ekonomi maupun politik. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan bakar minyak (BBM).Â
Oleh karenanya, pada awal tahun 1966, ribuan mahasiswa turun ke jalan dan menggaungkan tiga tuntutan rakyat. Yang isinya, bubarkan PKI, rombak kabinet Dwikora dan turunkan harga.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H