"Ambang Batas 20 dan 25 persen, Pilpres dikuasai cukong."Â
NARASI di atas dengan tegas dikatakan pakar hukum tata negara, Refly Harun, dalam beberapa kesempatan.Â
Bahkan, belum lama ini, bersama Ekonom Senior, Rizal Ramli, mantan Komisaris Utama (Komut) PT. Pelindo tersebut menggugat ambang batas Pilpres atau Presidential Threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Sebagaimana diketahui, PT yang berlaku sesuai UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 adalah pasangan calon baru bisa maju Pilpres apabila didukung partai politik dengan raihan 25 persen suara sah nasional atau 20 persen dari jumlah total kursi parlemen RI.Â
Bila PT tetap seperti aturan di atas, maka akan sangat sulit muncul pemimpin alternatif. Demokrasi hanya dikuasai oleh segelintir pemangku kepentingan dan rakyat memiliki pilihan yang sangat terbatas. Padahal, seharusnya kedaulatan ada di tangan rakyat.Â
Tengok saja dua perhelatan pilpres terakhir yang hanya memunculkan dua pasangan calon. Yakni pasangan kubu Joko Widodo (Jokowi) dan kubu Prabowo Subianto.Â
Alih-alih mampu menciptakan iklim demokrasi sehat. Dengan terjadinya head to head malah memunculkam perpecahan di masyarakat. Kelompok cebong dan kampret yang mewakili kedua pasangan meninggalkan luka Pilpres lebih permanen dibanding dengan 2004 dan 2009.Â
Demi iklim demokrasi lebih sehat, penulis tentu berharap, perjuangan Rizal Ramli dan Refly Harun tersebut membuahkan hasil. Karena apabila mereka berhasil menekan angka PT lebih rendah bahkan sampai nol persen, akan membuat persaingan menuju kursi Indonesia 1 dan 2 lebih meriah.Â
Lantaran yang bakal mengikuti kontestasi Pilpres dipastikan lebih dari dua pasangan calon. Sangat dimungkinkan adanya calon-calon pemimpin alternatif dan membuka kesempatan kompetisi demokrasi yang semakin sehat.Â
Hal itu sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahwa 'Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan'.Â
Kendati begitu, jika PT akhirnya bisa ditekan lebih rendah atau nol persen, tentu saja bakal ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan.Â
Yang dirugikan sudah pasti partai-partai raksa yang merasa sudah cukup atau hanya koalisi dengan satu partai lagi sudah cukup bisa mengusung pasangan calonnya, meski PT tidak berubah. Contohnya PDI Perjuangan, Gerindra atau Golkar.Â
Sementara untuk calon kandidat yang bakal dirugikan adalah tokoh-tokoh partai dengan elektabilitas tinggi. Contohnya Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.Â
Seperti diketahui, mantan Danjend Kopasus ini telah dua kali mencalonkan diri jadi presiden. Namun, selalu kalah oleh Jokowi.Â
Tak sedikit yang menilai bahwa Pilpres 2024 adalah kesempatan bagus bagi Prabowo untuk mewujudkan cita-citanya menjadi Presiden RI.Â
Pertama, Jokowi sebagai lawan beratnya dalam dua kali Pilpres sudah tidak mungkin mencalonkan diri kembali. Dengan begitu saingan yang ada nanti dimungkinian relatif lebih ringan.Â
Kedua, Prabowo rencananya akan didukung dua partai besar. Yaitu PDI Perjuangan dan partainya sendiri, Gerindra.Â
Secara hitungan matematis, koalisi dua partai besar ini akan sangat sulit untuk ditaklukan, mengingat telah memiliki basis massa cukup mengakar hingga ke daerah.Â
Ketiga, elektabilitas Prabowo berdasarkan hasil survei beberapa lembaga selalu menempati posisi teratas dibanding kandidat lain.Â
Jika disandingkan dengan calon wakil presiden yang tepat, sebut saja Ganjar Pranowo. Penulis rasa, bakal sulit bagi pasangan lain mampu mengalahkannya.Â
Namun, jika PT akhirnya nol persen, maka peluang Prabowo akan mengecil. Lantaran, lawan yang akan dihadapi hampir dipastikan jauh lebih banyak. Selain itu, bukan mustahil bakal muncul calon alternatif yang sangat diminati rakyat, yang sebelumnya tidak bisa mencalonkan diri akibat tak memiliki partai politik atau uang untuk membeli dukungan.Â
Jika Prabowo dirugikan, beda halnya dengan kandidat-kandidat lain yang selama ini tidak didukung partai politik kuat atau bahkan tidak sama sekali.Â
Banyak nama yang akan muncul meramaikan pesta demokrasi lima tahunan itu, salah satunya boleh jadi mantan Panglima TNI, Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo.Â
Berkaca pada Pilpres 2019 yang gagal nyapres, penulis cukup yakin bahwa syahwat politik Gatot masih tetap terjaga hingga saat ini. Untuk itu, pada Pilpres 2024 pria kelahiran Tegal, 13 Maret 1960 bisa manggung alias ikut nyapres.Â
Pasalnya dia tidak usah bingung mendapat dukungan partai politik besar yang tentu sulit di dapat. Dengan menempel partai gurem pun sudah cukup baginya mencalonkan diri.Â
Kendati demikian, PT nol persen bakal sulit terwujud. Selain mendapat pertentangan dari sejumlah partai, gugatan untuk meniadakan PT ke MK pernah dilakukan pada tahun 2018 lalu. Namun, hasilnya gagal.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H