Jadi, menjawab dari pertanyaan judul tulisan ini, adalah tergantung dan sejauh mana kerja keras dan ikhtiar kedua jendral ini mendapatkan popularitas dan elektabilitas yang tinggi.Â
Hal ini tentunya tidak bisa diraih dengan instant. Butuh aksi dan kerja nyata sejak dini. Hal ini perlu dilakukan supaya publik cepat merasa simpati, mengenal dan mengingatnya.Â
Namun, jika merujuk pada sejarah. Dibanding dengan Andika, peluang Gatot Nurmantyo menurut hemat penulis lebih memiliki kesempatan. Pasalnya, sosok ini bukan kali pertama ini masuk radar bursa pencalonan.Â
Pada Pilpres 2019, Gatot sempat digadang-gadang akan maju pencalonan. Hanya saja niatnya itu tidak kesampaian, karena tidak ada satupun partai yang melirik, apalagi mengusungnya.Â
Akan tetapi, setidaknya hal ini akan menjadi pengalaman dan pelajaran berharga bagi Gatot untuk mempelajari kelemahannya pada Pilpres lalu, dan memperbaiki bahkan merubah strateginya guna mampu mendongkrak elektabilitas dan popularitasnya.Â
Cukup BeratÂ
Namun demikian, menurut pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan, peluang Gatot Nurmantyo masih cukup berat.Â
Dikutip NKRIKU.com, Gatot memiliki banyak kendala untuk memuluskan niatnya menjadi presiden. Syarat pertama, kata Ujang, Gatot harus memiliki kendaraan politik.Â
Selain itu, Gatot yang telah pensiun dari dinas militer sejak Desember 2017, akan kesulitan karena tidak lagi muncul sebagai pejabat publik. Pasalnya, sosok capres harus memiliki bergain untuk diunggulkan.
"Kedua, soal jabatan. Dia gak punya jabatan lagi untuk bargaining pencapresan. Ketiga, soal popularitas dan elektatabilitas yang belum kelihatan," tuturnya.
Salam